1: Ali Shodiqin

Ali menyeruput es jeruknya yang tinggal bersisa balok-balok esnya saja. Melihat dengan tatapan membara ke arah sahabatnya di depannya, dia berkata, “Pak Bos sudah keterlaluan. Eksploitatif! Otoriter! Sok kuasa. Padahal ya, yang ngerti masalahnya itu kan kita-kita yang ngerjain. Dia, cuman datang rapat sekali langsung bilang arsitekturnya salah. Itu kerjaan dua bulan. Masa harus diulang lagi?”

“Ya kan kalo masalah arsitektur itu nanti ngefeknya ke jangka panjang. Mungkin dia nggak pengen kita berdarah-darah pas harus ngikutin keinginan konsumen besok-besoknya.” Si sahabat mencoba menenangkan Ali.

“Justru itu! Saya tiap kali mau ngoding, pasti akan selalu ublek-ublek referensi-referensi yang ada. Modul yang saya kerjain itu, saya udah baca sampe tamat semua karya-karya ahlinya. Bahkan langsung dari spek aslinya yang njlimet itu. Lha dia, baca paling cuman sekilas. Liat-liat maksimal sampai 2 atau 3 jam. Urusan dia bukan cuman ini aja kan? Saya itu mikirin ini bahkan sampai dibawa tidur. Sampe ngimpi berminggu-minggu. Lha dia itu ngerti apa? Saya sebut nomor spesifikasi standarnya aja dia gak ngeh itu soal apa. Mentang-mentang dia CTO, seenaknya sendiri ngacak-acak kerjaan orang.”

“Positive thinking aja. Mungkin maksud dia baik.”

“Mana ada?!” kata Ali sambil menggebrak meja. “Aku sudah lima tahun lebih di sini. Setiap kali naik gaji, cuma dikasih ratusan ribu. Receh. Bullshit itu jenjang karir. Selama lima tahun ini aku dah belajar macem-macem. Banyak sekali. Aku dah bikin banyak modul yang bisa dipakai di banyak aplikasi. Tiap kali ada krisis, aku yang turun tangan untuk nyelesaiin. Tapi, buktinya apa? Nggak ada penghargaannya sama sekali. Mungkin karena dia kalah pinter sama aku. Dia nggak paham seberapa pentingnya peranku. Kamu tahu sendiri kan? Coding di tempat kita itu berantakan minta ampun. Padahal tiap hari dirombak supaya rapi. Makan tuh rapi. Ya mana ada bisa rapi kalau yang ngerapiin skill-nya pas-pasan. Udah pas-pasan, buru-buru pula mikirnya. Ini mau sampai Hitler bangkit dari kubur juga nggak akan rapi.”

“Maklumlah, kita kan harus nyelesaiin tepat waktu ke customer.”

“Justru itu, harus rapi. Kalo nggak rapi, entar meledak. Namanya kerjaan buru-buru, pasti banyak bugnya, banyak masalahnya. Dan, itu sudah kejadian berkali-kali. Tapi, mereka nggak kapok-kapok juga. Heran saya. Apa mereka itu senang dianggap jadi pahlawan karena sering memadamkan kebakaran? Padahal, apinya mereka yang sulut sendiri. Dasar goblok.” Air liur Ali sampai menyemprot ke meja.

“Aku ngerti maksudmu, Al. Tapi, harus dimaklumi bahwa tidak semua orang kepikiran sampe ke sana. Aku aja nggak bisa bikin kode serapi kamu. Yang penting kodenya jalan tanpa masalah di customer.”

“Dah kamu bikin tes otomatis belum?”

“Udah dong. Malah aku dah lengkapin semua item-item tesnya”

“Dah cukup lah itu, Ji. Itu dah jauh lebih baik dari yang lain-lain”

“Yah, aku kan cuma berusaha sesuai kemampuanku. Tapi, Al, kamu kan tampaknya sudah nggak nyaman di sini. Kenapa kamu gak nyoba apply ke unicorn atau mana gitu yang lebih menghargai kamu?”

“Ah, nggak minat. Mereka itu rata-rata tesnya sok-sokan. Pake tes algoritma ala olimpiade komputer. Padahal, mana ada itu soal dipake di dunia nyata? Cuman pinter ngerjain soal aja. Abis masuk, selanjutnya apa? Eh, tolong geser tombolnya ke kiri dong 2 mili. Eh, warnanya bisa lebih cerah nggak. Eh, ini di profil pengguna bisa ditambahin bisa ganti foto profil nggak? Dah, cuma gitu-gitu doang”

“Lha justru itu. Kan enak kalo bisa begitu?”

“Apa enaknya sih Ji? Perusahaan dah gede gitu. Yang dikerjain buanyak sekali, tapi bukan hal yang bener-bener menantang. Palingan, di dalem cuman politik doang. Bukannya mikir kerja, malah mikir ngerjain orang.”

“Tapi kan, setiap perusahaan beda-beda?”

“Paling sama aja. Orang engineernya suka pindah-pindah kok. Dah, muter di situ doang.”

“Kalo gitu, kenapa nggak nglamar ke luar negeri aja Al?”

“Udah, nggak ada yang mau nglirik. Sekali ada yang ngelirik, dapat perusahaan yang korporat banget. Keahlian seseorang dilihat dari kemampuan seseorang mendalami sesuatu yang itu-itu aja sampe nglothok. Kalo nggak tau framework X itu errornya apa aja pas mau dipakai, dianggap gak ahli. Padahal ya, orang itu kan bisa belajar. Yang paling penting itu kemampuan memahami dan menganalisis permasalahan. Masalah detail kan bisa dipelajari sambil jalan. Belajar gak sampe sebulan juga dah jago.”

“Trus, mau kamu apa wis?”

“Mau aku tuh ya, tiap bulan dapat duit, tapi nggak usah kerja.”

“Gundulmu.”

Ali tertawa mendengar umpatan Aji. “Mau aku ya, namanya jadi software engineer berpengalaman, harusnya aku lebih dihargai. Baik dari segi wewenang maupun dari segi kompensasi. Ini perusahaan kayak nggak butuh orang pinter gitu.”

“Sebenarnya kan bisa-bisa aja. Asalkan kamu mau jadi team lead, apalagi manajer.”

“Terus aku harus ngajarin junior-junior itu? Ngabisin waktu. Mendhing aku kerjain sendiri aja, lebih cepet. Aku ngajarin junior itu perusahaan rugi. Harus bayar waktuku dan waktu si junior, jadinya malah jauh lebih lama dan sudah pasti lebih jelek. Sementara kalau aku paksa mereka nurut caraku biar bagus, nangis pasti mereka.”

“Kalau memang pemikiran kamu begitu, mau gimana lagi?” Aji mengangkat kedua bahunya, merasa kehabisan saran untuk Ali. “Ya udah deh, aku mau balik kerja lagi. Yuk, ikut gak?”

“Duluan aja.”

“Kamu mau ke mana?”

“Mau mampir bentar, mau ngopi. Lagi suntuk. Males kerja.”

“Ya udah, aku duluan, yuk”

“Ya…”

“Mbak, saya pesen cafe latte-nya ya. Two shots. Sama pisang goreng” Ali memesan minuman kesukaannya. Jarang sekali Ali datang ke kafe ini di siang hari. Biasanya, dia ke sini di malam hari, selepas jam 10 malam. Itupun di akhir pekan. Kafe ini memang agak unik. Di sudut-sudut ruangan, berjajar megah rak-rak bersusun berisikan buku-buku apa saja. Fiksi maupun non fiksi. Di sini adalah tempat Ali menenangkan dirinya di akhir pekan, sementara kawan-kawannya sibuk mencari gandengan.

“Monggo, mas.” Si mbak pelayan kafe datang lagi ke sudut favorit tempat Ali duduk. Dia meletakkan Cafe Latte Hot with Two Shots Espresso beserta sepiring pisang goreng keju cokelat ke atas meja di depan Ali.

“Ya, makasih mbak.” kata Ali sambil tersenyum. Diseruputnya minuman kopi itu dari gelasnya. Ces pleng. Sugesti semangat dan kesegaran yang berasal dari kopi pahit nan panas itu membuat wajah Ali seketika menjadi cerah. Brukk. Di samping Ali, tiba-tiba seorang laki laki botak berjenggot lebat, berkaos oblong, bercelana kolor, dan bersandal jepit melemparkan tasnya secara sembarangan. Raut muka Ali seketika berubah masam. Dia menatap tajam pria di sampingnya.

“Pak, maaf, bukannya masih ada meja lain yang kosong, ya?” sapa Ali.

“Lha mbok kowe sing lunga. Aku wis biasane lungguh kene.” Si bapak kemudian mengeluarkan laptop putih berlogo buah jeruk dari tasnya. “Aku arep nyambut gawe. Aja ngganggu ya. Tak kampleng nek ngganggu.”
Ali hanya ingin menikmati kopi sambil membuang perasaan suntuknya. Dia tidak ingin mencari masalah. Sementara itu, si bapak ini kelihatan seperti biang kerok. Ali hampir saja beranjak menyingkir ke meja sebelah kosong. Tapi, datang dua orang ibu-ibu berjilbab tiba-tiba menguasainya. Ilham memandang sekeliling mencari alternatif, namun, tak satupun ia temukan meja lain yang tak berpenghuni. Tampaknya, satu-satunya pilihan adalah segera menghabiskan kopinya dan pergi dari kafe ini cepat-cepat.

Betapa terkejutnya ketika tiba-tiba si bapak mengulurkan tangan ke arahnya, “Jenengku Diwangkara Agung. Aku tukang nulis roman picisan.”

“Saya Ali” jawab Ali menjabat tangan Pak Agung. Ternyata, orang ini adalah seorang seniman. Pantas saja wataknya aneh, begitu pikir Ali. Datang-datang langsung mengancam orang lain. Kemudian, secara tiba-tiba pula mengajak orang lain berkenalan. Mungkin, si bapak ini agak kurang waras. Tapi, tampaknya dia masih tahu soal duit. Masih faham bahwa kalau membeli makanan atau minuman di kafe ini artinya harus membayar. Artinya, kegilaannya belum parah.
“Kampret!” Ali tersentak mendengar umpatan si bapak, yang sekarang mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Ralat, mungkin bapak ini memang sudah parah gilanya. Ali harus-harus cepat-cepat pergi dari sini. Buru-buru dia memakan pisang goreng yang tersisa separuh di tangannya.

“Uhuk uhuk.” Pisang gorengnya terlalu berminyak. Memakannya buru-buru membuat Ali terbatuk. “Kowe rak wis tak omongi nek aja ngganggu tho? Sepisan maneh, awas…” kata Pak Agung dengan nada mengancam yang seram. Kemudian, dia mengeluarkan headset dan menangkupkannya ke kepalanya. Bukan, ternyata bukan headset. Tidak ada kabel menjulur. Sepertinya, itu semacam earmuff.

Ali semakin yakin untuk segera pergi. Tapi, cafe latte with two shots espresso. Mahal, tiga puluh sembilan ribu. Ali merasa sayang kalau tidak menghabiskannya. Lupakan soal pisang goreng, yang penting itu kopi tiga puluh sembilan ribu tidak boleh disisakan. Pelan-pelan Ali meneguk kopinya. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat, akan tetapi si kopi masih terlalu panas. Walaupun akhirnya habis juga. Dan, itu membuat Ali lega. ‘Saatnya pulang`, batinnya.

Belum sampai beranjak dari duduknya, Ali mendengar suara musik yang sangat keras. Rupanya, itu berasal dari smartphone yang ada di belakang laptop jeruk Pak Agung. Ali ragu-ragu antara ingin memberitahu Pak Agung atau tidak. Mungkin sudah ada dua puluh detik lebih smartphone itu berdering di telinga Ali. Ali khawatir bahwa itu telepon penting dari keluarga Pak Agung. Akhirnya, Ali memberanikan diri menepuk pundak Pak Agung. Pak Agung menoleh. Dilepaskanlah earmuff-nya. “Kowe ki pancen ra iso dikandhani kok.” Bukk. Kepalan tangan Pak Agung menyambar dagu Ali. Kepala Ali berkunang-kunang. Pandangannya gelap.

‘Seniman gila!’ Itulah pikiran pertama yang terlontar dari Ali ketika ia membuka matanya. Ia mengelus-elus rahangnya, teringat bahwa ia baru saja digampar orang tidak dikenal. Namun, ketika menatap langit-langit di hadapannya, ia mengerutkan dahinya. Ia tidak mengenal ruangan ini. Ali bangkit dari tempat tidur. Ketika melihat sekeliling, ia makin bingung. Dia yakin bahwa dia tidak pernah berada di sini sebelumnya. Akan tetapi, ruangan ini terasa seperti kamarnya. Dan, rumah ini, adalah rumahnya. Dia menggumam, “Ini di mana? Bagaimana aku bisa sampai di sini?”

“Uh, Aduuuh.” Rasa nyeri menyelinap di kepala Ali. Mungkin ketika dipukul hingga pingsan, kepalanya terantuk sesuatu. Tapi, ada sesuatu yang lain yang sedang terjadi. Lintasan demi lintasan ingatan mengaliri benak Ali. Seakan-akan, masa lalu yang sudah lama terlupa, kini teringat kembali, satu persatu. Mulai dari ingatan ketika balita, ketika anak-anak, ketika remaja dan jatuh cinta, ketika menghadapi dunia kerja. Tapi, tunggu dulu! Ingatan-ingatan itu bukanlah ingatan Ali, melainkan seseorang yang lain bernama Amir.

Ali tertegun lama sekali. Dia tidak tahu mana yang nyata dan mana yang bukan. Rumah ini, tempat tidur ini, dia merasa akrab sekaligus asing. Deja Vu. Mungkin ini adalah mimpi, pikirnya. Tapi, kalau ini memang mimpi, rasanya sangat nyata. Plak. Ali menampar dirinya sendiri. Ia meringis kesakitan. Mimpi di mana dia benar-benar merasakan sakit?

“Handphone, di mana handphone-ku? Ah, ini dia!” Diraihnya handphone tersebut, lalu dinyalakanlah kamera depannya. Dia ingin melihat wajah dirinya.

“Ini…”, Ali pucat melihat apa yang di hadapannya. Wajah ini adalah wajah yang sangat dikenalnya. Tapi, ini bukan wajah Ali Shodiqin. Ini adalah wajah Ahmad Amiruddin. Dia meraba wajah itu, seakan meyakinkan bahwa layar handphone di depannya tidak berbohong. “Aku… Amir?”

Ali kembali merenung. Sedikit demi sedikit ia berusaha menjelajahi ingatan Amir. Ahmad Amiruddin adalah anak tunggal dari Ahmad Zainuddin, pemilik saham terbesar dari Stereotron. Stereotron adalah perusahaan manufaktur elektronik yang tumbuh karena mendapat lisensi audio / video player dari perusahaan Jerman, yang membuat mereka bisa memproduksi DVD player dan Blu-Ray player sendiri. Dengan lisensi itu, mereka juga berhak melakukan penyesuaian dan perubahan untuk produk dalam negeri. Amir tidak pernah mau menginjakkan kakinya ke Stereotron. Dia merasa bangga pada dirinya. Dia merasa yakin pada kemampuannya sendiri. Bahkan dia tidak mau lagi tinggal serumah dengan orang tuanya. Mereka terlalu mengatur kehidupannya. Dia menikmati hidup seperti ini. Merdeka tanpa campur tangan orang tua. Pekerjaannya sebagai IT Manager di salah satu pabrik alat kesehatan masih cukup untuk membiayai gaya hidupnya. Setidaknya, sampai hari ini.

Akan tetapi, dia sangat yakin bahwa dirinya adalah Ali. Rasa sakit dipukul oleh orang gila itu masih membekas di ingatannya. Jangan-jangan dia pingsan setelah dipukul, kemudian tertidur dan bermimpi? Jika ini mimpi, mengapa semuanya terlihat tajam dan jelas? Bahkan tangannya bisa merasakan tekstur dari sprei tempat tidurnya.

“Tidak, aku yakin aku adalah Ali! Ini pasti cuma mimpi. Mimpi jadi orang kaya, siapa yang tidak mau? Hahahaha…” kata Ali meyakinkan dirinya sendiri. “Mimpi yang terasa begitu nyata. Lebih baik, aku menikmatinya sepuasnya sebelum aku terbangun. Hahahaha…”