Bab 1
Seorang perempuan berparas cantik berjubah mandi putih tebal terlihat dari jendela. Pandangannya menerawang kosong ke angkasa. Tangan kanannya mencengkeram kain di dadanya. Dia menghela nafas panjang. Sepasang tangan menyelinap ke pinggangnya. Perempuan tersebut hanya bergeming. Sesaat kemudian, perempuan tersebut berkata,
“Mas, kapan kamu nikahi aku?”
Laki-laki itu menarik tangannya, kemudian memutar menjauhi si perempuan.
“Bisa gak sih, kamu tidak merusak suasana?”
Perempuan itu menatapnya. Mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak ada kata yang keluar.
“Kalau begitu, kita putus!”
“Kamu mengancamku?” kali ini, nada si laki-laki mulai naik.
“Dimas… . Kamu sayang aku kan?”
“Tentu saja, Lia sayang…” kali ini suara Dimas melembut. Dia meraih tangan Lia.
“Hanya saja, kamu tahu posisiku kan? Bukannya aku tidak sayang kamu. Papaku tidak suka aku pacaran sama kamu. Aku… butuh waktu untuk meyakinkan dia.”
“Tapi, sampai kapan?”
Dimas mendekap Lia, lalu berbisik kepadanya, “Sabar sayang, pasti ada jalan”
Lia melepaskan diri dari dekapan Dimas. “Aku capek, aku tidak ingin terus begini.”
“Tidak lama lagi, Lia. Kita pasti bisa pacaran terang-terangan. Aku akan meyakinkan papaku”
“Apa buktinya? Kamu bahkan gak pernah nyobain ngomong sama papamu.”
“Tentu saja pernah! Cuman, sekarang bukan waktu yang tepat. Papa menjodohkan aku dengan anaknya om Awang, rekanan papa.”
“Kok kamu baru bilang?” Lia berteriak terkejut
“Tenang dulu, Lia. Ini bukan apa-apa, OK? Kita pasti akan bisa selesaikan masalah ini” Dimas menyentuh kedua pundak Lia.
Lia menepiskan tangan Dimas.
“Kamu nggak nolak perjodohan itu.”
“Bukan begitu! Buat papa, ini akan jadi merger terbesar se Asia Tenggara. Aku nggak mungkin membantah tanpa alasan kuat”
“Aku bukan alasan kuat buatmu? OK, Dimas. Fine! Kita bener-bener putus!”
“Serius, Lia? Setelah semua yang terjadi selama ini?”
“Aku tidak mau bertemu denganmu lagi”
“Lia, tenang dulu, jangan buru-buru”
“Pergi!” tegas Lia mengusir Dimas
“OK. Aku akan hubungi kamu lagi kalau kamu sudah tenang. Saat ini pikiranmu sedang kacau”
Dimas membereskan barang-barangnya sebelum akhirnya dia keluar dari kamar 404 Hotel Grand Prima Estetika. Lima detik kemudian, Dimas kembali masuk kamar. Wajahnya ketakutan.
“Lia, kita punya masalah. Tampaknya, … aku dikuntit paparazzi”
Seorang pemuda tengah memandangi kartu pengenal di tangannya. Di sana tertulis,
Ilham Prasetya
Attendee
idblockchain conference VII
Hotel Grand Prima Estetika
Jakarta, 22-24 Januari 2020
Ilham adalah seorang insinyur perangkat lunak. Berambut lurus sedikit jabrik, beraut muka tegas, dengan kesan sedikit keras, dan gigi sedikit tonggos. Badannya memang kurus, tapi jangan salah, dia tidak seperti kebanyakan buruh coding. Ototnya kekar, tanda bahwa dia tidak pernah absen dari pusat kebugaran. Seperti kebanyakan buruh coding lainnya, dia suka begadang, menyisakan 2 hingga 3 jam saja untuk tidurnya. Kalaulah ada insinyur perangkat lunak yang ideal, itu adalah Ilham. Dia bagaikan Cristiano Ronaldo-nya jagat perkodingan Indonesia. Dan, sudah pasti, siapa atasan yang tidak suka dengan orang maha pintar dengan etos kerja seperti Elon Musk dan Steve Jobs? Cuman, Sang Pencipta memang pelit sama Ilham. Wajahnya memang tidak pasaran. Sekali bertemu orang langsung hafal. Ya tapi, tidak bisa dibilang tampan juga.
Ilham berniat check-in terlebih dahulu sebelum mengikuti konferensi. Sekarang sudah jam delapan pagi. Tertulis di jadwal, acara konferensi dimulai tepat jam delapan pagi. Tapi Ilham tahu, bahwa konferensi akan diisi dengan pidato-pidato membosankan dari kementerian. Malas dia mendengarnya. Ilham berfikir, bekingan konferensi ini kuat juga, sampai bisa mendatangkan orang kementerian. Biasanya, ini acara bakalan diisi oleh para fundamentalis semi-anarki cryptocurrency. Tapi, dia penasaran dengan teknologi ini. Seandainya para fundamentalis ini hilang dari acara ini, tentu bahasannya akan jadi lebih menarik. Tapi, itu tidak mengapa. Paling tidak, jika ada satu dua orang ahli, dia bisa meminta kontak mereka dan berkorespondensi.
Ilham melihat dirinya dari pantulan pintu lift yang tertutup. Berkaos oblong, bercelana pendek, bersandal jepit. Ilham sedikit ragu apakah ini kostum yang pantas untuk hotel semewah ini. Tapi, dengan cepat keraguan itu ditepiskannya. Jika salah satu founder Unicorn startup pergi ke mana-mana dengan kostum begini, tentu saja dia juga pantas memakainya. Pintu lift terbuka, kemudian Ilham memasukinya. Dari jauh tampak kedua laki-laki separuh berlari menuju lift yang masih terbuka. Tampaknya, mereka peserta konferensi juga. Pandangan Ilham tak lepas dari kedua pria itu semenjak mereka membuat gaduh dengan langkah-langkah cepat mereka. Ilham diam saja. Pintu lift menutup sebelum kedua orang itu sampai.
Lift beranjak naik. Sampai di lantai 4, lift berhenti. Seorang gadis berjubah mandi putih menyerobot masuk ke dalam lift. Nafasnya terengah-engah. Dengan sigap gadis tersebut memencet berulang-ulang tombol untuk menutup pintu. Ilham menatap heran sesaat, sebelum kemudian membuang muka. Kamarnya ada di lantai 8. Masih 4 lantai lagi.
“Halo, kamu di mana? … Di mana? … Tangga darurat? … Ooh, ya udah gakpapa? Gak ketemu wartawan kan?” si gadis tampaknya sedang menelepon seseorang.
Lantai 8. Pintu lift terbuka. Ilham maju, bersiap ingin keluar. Tapi, tiba-tiba dia dikejutkan oleh kilatan cahaya putih. Sementara itu, lagi-lagi si gadis sibuk memencet-mencet tombol tutup pintu.
“Sebentar mbak, saya mau keluar”, kata Ilham dingin dan ketus.
Tangannya menghalangi pintu supaya tidak tertutup. Dia melangkah keluar. Tapi, di depannya ada sekitar lima orang. Hampir semuanya membawa kamera. Dengan cueknya, Ilham berusaha menerobos mereka.
“Eitt, tunggu dulu!” Gadis berpiyama putih yang ternyata adalah Lia itu berteriak.
Sayangnya sudah terlambat. Kali ini, ada dua atau tiga orang yang menahan pintu lift. Tiba-tiba, ada yang menarik Lia keluar.
“Apa hubungan anda dengan Lia Komala?”
“Di mana anda kenal Lia?”
“Apakah anda pacar Lia?”
“Apa yang anda lakukan di kamar hotel bersama Lia?”
Semua pertanyaan itu bertubi-tubi dan bersahut-sahutan mengusik telinga Ilham. Ilham seperti baru menyadari sesuatu.
“Maaf saya nggak kenal”
“Saya nggak tahu Lia itu siapa.”
“Kami kebetulan bertemu di lift.”
“Maaf, saya mau ke kamar saya.”
Makin lama, nada Ilham makin naik, hingga akhirnya dia hampir berteriak. Tangannya mendorong paksa orang-orang yang mengelilinginya. Tidak masalah, karena tidak terlalu banyak orang. Hingga dia melihat kamar nomor 809. Dibukalah pintu kamar dengan kartu elektronik yang ada di tangannya.
Para wartawan masih saja mendorong-dorongnya. Ilham kesal. Dibentangkanlah kedua tangannya untuk mendorong para wartawan usil itu. Setelah mendapatkan ruang yang cukup luas, Ilham lekas beringsut ke belakang, lalu masuk dan menutup pintu. Di dalam ruangan, Lia tersenyum canggung kepada Ilham.
“Kenalkan, Lia” Lia mengulurkan tangannya.
“Kamu yang dicari orang-orang itu kan?” Ilham tidak menyambut uluran tangan Lia.
“Kenapa kamu di sini? Ini kamar saya”
Justru malah wajah Lia yang kemudian gusar. Basa-basinya yang elegan tidak membuahkan hasil apa-apa.
“Kamu beneran gak kenal aku? Aku Lia Komala. Masa kamu gak tau?”
“Artis kan?.”
“Aku pemenang acara Penyintas Terakhir. Masa kamu tidak pernah nonton?”
Ilham menarik nafas panjang, tanda kesabarannya mulai menipis.
“Begini ya mbak. Saya tidak peduli mbak ini siapa. Saya datang ke sini untuk ikut konferensi. Saya tidak ada urusan dengan masalah mbak. Silakan mbak keluar dari kamar saya. Saya juga mau keluar habis ini.”
“Maaf, saya gak bisa.”
“Mbak…!” Nada Ilham mulai meninggi.
“Maaf, tapi kamu juga terlibat. Kamu nggak nyadar mereka tadi tanya apa sama kamu?”
“OK, kalau begitu mbak keluar sekarang dan jelaskan masalah ini ke mereka. Saya masih punya urusan lain.”
“Emmm… sayangnya tidak semudah itu.”
“Apa susahnya?”
“Mereka gak akan percaya”
“Apa? Kenapa?”
“Gini, dengerin aku dulu.”
Lia menarik nafas panjang sebelum kemudian menghembuskannya lagi. Ia berusaha menenangkan diri.
“Mereka mendapat cerita bahwa aku menginap di hotel ini bersama pacarku. Mereka mengejar kami. Untunglah kami berpisah dan pacarku berhasil melarikan diri tanpa ketahuan. Lalu… mereka memergoki kita berdua. Sehingga…”
Barulah Ilham sadar betapa besar masalah ini.
“Namamu Lia siapa?”
“Lia Komala”
Ilham mengambil hp nya, mengetikkan nama Lia Komala di mesin pencari. Sebuah artikel singkat dari wiki, menunjukkan bahwa Lia Komala adalah artis pendatang baru. Dia main dalam sinetron “New Bawang Merah Bawang Putih 2019”, yang mempunyai rating paling tinggi tahun itu. Penasaran, Ilham membuka website twitter dari browser untuk melihat trending topic Indonesia. Ilham sendiri tidak punya akun twitter. Nomor satu bertengger di trending topic adalah “Siapa Pacar Lia Komala?”
“Mati Aku!” Ilham bergumam. Dia terduduk lemas di atas kasur.
Dua puluh tiga menit kemudian, wajah Ilham terlihat sangat serius. Dahinya berkerut. Dia berkeras menemukan jawaban dari permasalahan ini.
“Satu-satunya cara adalah kamu harus mengaku yang sebenarnya. Tidak ada jalan lain.”
“Terus, aku harus bilang apa? Bahwa aku ketemu kamu di lift kemudian kita iseng masuk kamar bareng, gitu?”
“Kamu harus berkata yang sebenarnya. Semuanya. Katakan bahwa pacar kamu sudah pergi. Katakan juga bahwa kamu tidak punya tempat lain untuk sembunyi, jadi kamu masuk kamar ini”
“Gak bisa gitu dong.”
“Tapi itu yang sebenarnya.”
“Artinya karirku bakalan hancur.”
“Kalau tidak begitu, maka hidup saya yang akan hancur. Kita kenal baru berapa menit yang lalu, tapi mbak sudah merusak masa depan saya. Ibu saya akan sangat kecewa kalau dia tahu hal ini. Dia bakal mendengar berita bahwa anaknya berduaan di kamar hotel dengan artis. Tidak bisa tidak, kau harus bilang yang sebenarnya.”
Ilham mengulurkan tangannya dengan ragu-ragu, sebelum kemudian menangkap pergelangan tangan Lia. Ilham menarik Lia menuju pintu kamar hotel.
“Aduduuh sakit, pelan-pelan! Mau kemana?”
“Pokoknya mbak harus cerita yang sebenarnya kepada mereka. Saya tidak mau tahu.”
“Ttutunggu…”
Ilham berhenti, kemudian berbalik dan melepaskan tangan Lia. Lia mengelus-elus tangannya yang tadi ditarik paksa oleh Ilham.
“Tunggu. Biar aku berfikir dulu apa yang akan mau kukatakan.” kata Lia sambil lanjut mengelus-elus tangannya.
“OK, aku sudah siap”
“Baik”
Ilham kembali menarik tangan Lia. Kali ini, sedikit lebih lembut. Pintu hotel di buka. Dan, benar saja. Di luar para wartawan masih menunggu. Mereka bergegas mengerumuni sepasang lelaki dan perempuan. Bahkan kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Mungkin sekitar tiga atau empat kali yang tadi.
“Kalian semua salah faham. Lia akan menjelaskan semuanya” Ilham berusaha mengeraskan suaranya. Ia masih memegangi tangan Lia.
“Rekan-rekan wartawan semua. Jadi, sebenarnya pria ini adalah… suami saya.”
Ilham menoleh kaget kepada Lia. Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba Lia memeluknya sambil kemudian bilang,
“Dia pekerja IT. Dia tidak nyaman bertemu orang banyak. Maaf, saya menyembunyikan hal ini dari kalian.”
Beberapa detik kemudian, barulah otak Ilham mulai bisa berpikir normal. Dia menarik Lia kembali masuk ke dalam kamar.
“Apa yang barusan kau lakukan?!” bentak Ilham
“Sorry, tapi itu satu-satunya jalan..” Lia merengek.
“Dan, … bagaimana kamu tahu aku kerja di IT?”
Lia menunjukkan ID card yang dari tadi dipegangnya. Spontan Ilham memegang lehernya, tapi tidak ada apa-apa di sana.
“Tampaknya, … aku terpojok.”
Suara Ilham memang terdengar tenang, tapi hatinya menyimpan kemarahan yang sangat.
“Lalu, … setelah ini apa?”
“Itu…, aku minta manajerku ke sini.”
“Kamu tampaknya puas sekali rencanamu berhasil.”
“Apa?”
Lia merasakan keanehan pada nada bicara Ilham
“Terus, pacar kamu gimana?”
“Belum tahu.”
“Biar aku tebak. Aku jadi suami pura-pura kamu. Sementara itu, kamu akan tetap bertemu pacar kamu. Bermesraan di kamar hotel seperti hari ini.”
“Bukan begitu…”
Ilham tak mendengarkan. Ia terus saja bicara.
“Pacarmu itu pasti orang terpandang kan? Dia tidak boleh ketahuan. Jangan-jangan dia sudah punya tunangan? Atau malah sudah punya anak istri. Kamu perempuan simpanannya?”
“Dia gak seperti itu!” Lia berteriak kencang
“Ah, jadi kalian saling mencintai. Tapi, kalau saling mencintai, mengapa sembunyi-sembunyi? Tampaknya aku salah. Dia bukan pria seperti itu memang. Kamu tidur dengan dia supaya dapat job kan? Dia sugar daddy kamu.”
Plakk. Sebuah tamparan keras mengenai pipi Ilham. Sangat keras, sampai-sampai tangan Lia sakit.
“Bajingan kamu!”
Ilham tampak tidak terpengaruh dengan tamparan dan umpatan Lia.
“Kamu cantik. Tapi, bukan berarti semua pria bakalan tergila-gila sama kamu. Kamu memaksaku terlibat dalam sandiwara gila ini. Maaf, tapi aku tidak tertarik. Wanita idamanku adalah seorang wanita shalihah dan berjilbab. Kami berdua akan saling mencintai karena Allah. Sedangkan kamu? Pezina cocoknya cuma sama pezina”
“Diiaam!”
Lia menampar Ilham untuk kedua kalinya, tapi Ilham dengan sigap menangkisnya. Lia terduduk, meringkuk. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Kemudian, isak tangis pun terdengar. Awalnya jarang-jarang. Lama-lama, jadi makin sering dan makin panjang.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang mengobrol di kamar hotel Grand Prima Estetika, nomor 809. Sementara itu, tak jauh dari mereka, seorang laki-laki memegang HP-nya secara landscape. Wajahnya tampak tidak antusias, walaupun suara yang keluar dari HP-nya adalah lagu perang yang semangat, disertai dengan ledakan sesekali.
“Rencana kamu selanjutnya apa?” si laki-laki bertanya kepada si perempuan
“Belum tahu”
“Kamu gegabah tau nggak?”
“Aku panik, Der”
“Tapi, ide kamu bagus juga. Artis perempuan yang sudah menikah daya tariknya akan kalah dibandingkan dengan yang masih lajang. Tapi, paling tidak kamu bisa mempertahankan citra sebagai perempuan baik-baik yang polos.”
“Aku tahu.”
“Habis ini, mungkin job akan lumayan berkurang. Tapi, kalau untuk dapetin kontrak-kontrak iklan atau MC, masih bisa lah.”
“OK”
“Masalahnya, dia mau nggak?”
Deri menoleh kepada laki-laki yang masih memegang HP.
“Ilham kan?”
“Ya”, jawab Ilham tanpa mengalihkan pandangannya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Apanya?” Ilham asal bertanya. Dia tidak fokus
“Soal kamu dan Lia. Apa lagi?”
“Tidak mau.”
“Tidak mau apa?”
Ilham menaruh HP-nya dengan sedikit kesal.
“Sudah saya bilang, saya tidak mau terlibat dengan urusan kalian”
“Kamu sudah terlibat. Besok pagi, teman-teman kamu, saudara-saudaramu, orang tuamu akan tahu bahwa kamu sudah menikah dengan Lia”
“Aku bisa jelaskan ke mereka. Kalian tidak akan bisa menjalankan rencana kalian kalau saya tidak setuju. Pada akhirnya, itu akan jadi masalah kalian, bukan masalah saya.”
“Yakin mereka bakalan percaya? Kamu sudah terlanjur terlihat berdua dengan Lia di kamar hotel. Kalau kamu ngotot gak mau, paling tidak mereka akan melihatmu sebagai pacar tidak bertanggung jawab”
“Saya bukan selebritis. Siapa peduli? Yang penting, keluarga dan teman-teman saya bakalan percaya dengan saya.”
“Oh ya? Sekarang kamu coba telpon ibumu. Aku mau tahu dia akan bilang apa”
Ilham tampak ragu-ragu, sebelum kemudian menjawab,
“Gak harus sekarang.”
“OK, … . Kamu kerja di IT kan? Gajimu sebulan berapa? 5 juta? 10 juta”
“Apa hubungannya gaji sama masalah ini?”
“Bagaimana kalau kamu kuberi uang. Kamu minta berapa? 100 juta? 200 juta?”
Meledaklah tawa Ilham
“Kamu pikir semua orang mata duitan? Dikasih 1 Milyar pun aku tidak mau.”
“OK, 1 Milyar. Tawaran terakhir”
Ilham menggeleng sambil tersenyum mengejek.
“10 milyar”
Tiba-tiba Lia menyahut
“Lia, jangan ngawur. Itu nggak sepadan”
“Kita masih bisa cari job lagi. Dalam setahun paling juga balik modal”
“Itupun kalau kita bisa dapat kontrak sinetron kayak kemaren. Bisa dibilang, kemarin itu rejeki nomplok”
“Bisa lah. Daripada karirku hancur?”
“Eh, tapi kamu bilang itu buat ngelunasin rumah kan?”
“Dicicil aja, masih bisa kok”
Ilham diam saja. Hatinya mulai goyah. Sepuluh milyar bukan jumlah yang sedikit. Dia bisa menjalankan sebuah startup IT tanpa pemasukan sama sekali selama 1 - 2 tahun. Itu pun dengan asumsi bahwa startup tersebut sudah bertenaga penuh. Sementara, kalo masih awal-awal, paling baru 5 - 10 orang. Dia bisa mengembangkan produk yang sesuai keinginannya, tanpa campur tangan user yang sok tahu. Dia tidak harus menerima proyek-proyek receh yang bikin sakit kepala karena user banyak maunya.
“OK. 10 milyar. Aku setuju”
Justru Lia yang kemudian gelagapan.
“Tapi,.. sebenarnya.. itu terlalu banyak buat aku. Bisa diturunin dikit gak?”
“10 milyar. Tidak kurang satu sen pun”
“Ini orang mata duitan juga ternyata.” Deri bergumam di belakang Lia.
Ilham pura-pura tidak mendengar.
“Bagaimana? Ini tawaran terakhir.”
“OK. Aku mau!” Lia buru-buru menimpali
“Tapi ada syaratnya.”
“Masih ada syarat lagi?”
“Jangan khawatir. Ini bukan soal uang. Yang pertama, aku ingin kita benar-benar menikah. Lengkap dengan saksi dan wali. Soal buku nikah, kamu bisa bayar petugas KUA untuk menuliskan tanggal pernikahan kita adalah tiga bulan lalu. Ato mau gimana terserah. Itu gampang diatur.”
“Katanya kamu tidak mau menikah denganku?”
“OK. Boleh saja kita cuma nikah pura-pura. Tapi, aku tidak bisa tinggal serumah sama kamu.”
“Mana ada pasangan yang tidak tinggal serumah? Pasti wartawan akan curiga. Apalagi semua orang sudah tahu kalau kita menikah.”
“Di rumah itu kita cuma berdua. Kalau kita tidak benar-benar menikah, aku tidak tahu hal buruk apa yang akan terjadi.”
“Siapa yang mau sama pria jelek seperti kamu? Dasar, semua laki-laki sama saja.”
“Kita akan tidur di kamar terpisah. Itu tidak masalah buatku. Kita tidak perlu memenuhi kewajiban sebagai suami istri. Yang penting, kita berdua benar-benar menikah.”
“Aku masih tetep gak ngerti. Tapi, ok lah. lanjut.”
“Yang kedua. Aku tidak ingin ada kontrak apapun. Misal, kontrak yang menyatakan setelah satu tahun, maka aku akan otomatis bercerai denganmu. Atau kontrak soal kita tidak boleh berhubungan badan, atau sebagainya.”
“Tapi, bagaimana seandainya kamu melanggar kesepakatan?”
“Kita tidak sedang dalam drama kawin kontrak. Kalaupun iya, aku tidak mau berbuat kesalahan yang sama. Kamu tahu kan bagaimana rahasia kawin kontrak biasanya terbongkar? Karena adanya kontrak.”
“Tapi, bagaimana kalau kamu melarikan diri? atau membocorkan rahasia kita?”
Ilham terdiam berfikir sejenak.
“Ucapanmu ada benarnya. Intinya adalah, aku tidak mau ada kontrak disangkutpautkan dengan pernikahan kita. Itu berbahaya. Tapi, kita bisa menyamarkannya dengan perjanjian pranikah.”
“OK, ini maksudnya perjanjian pranikah gimana?”
“Jadi gini. Perjanjian pranikah ini bertujuan untuk melindungi kita berdua sekaligus meningkatkan kesuksesan pernikahan ini. Misal, ada klausa yang bilang, kita tidak boleh selingkuh dengan orang lain. Misal ya, misal. Kalau aku terbukti selingkuh, bermalam di hotel dengan wanita lain katakanlah, maka aku akan kena denda 10 milyar. Garansi uang kembali.” kata Ilham sambil tersenyum.
“Masuk akal. Jadi, maksudmu kalaupun ketahuan, orang lain akan menganggap ini sebagai perjanjian pranikah biasa? Aku juga bisa masukin syarat-syarat lain, misal soal pisah harta, jadi kamu gak bisa ganggu uangku. Begitukah?”
“Betul sekali”
“Kalau aku ketahuan selingkuh, apa yang terjadi? Aku tidak punya uang lagi.”
“Ya udah. Artinya itu kita otomatis bercerai. Atau, tetap saja kamu tulis 10 milyar. Toh itu uang tidak tercatat di mana-mana. Anggap saja aku simpankan uang itu untuk kamu. Kenapa, kamu masih ingin menemui pacarmu itu? Ingat, saat ini karirmu sedang terancam.”
“Tidak. Kita sudah putus”
“Oh ya?”
“Iya”
Ilham tidak bertanya lagi. Mereka masih bertemu pagi ini, dan sekarang sudah putus? Kapan putusnya? Ilham merasa aneh, namun memutuskan untuk tidak membahasnya lagi.
Deri kemudian angkat bicara
“OK, kalian sudah sepakat ya. Saya butuh waktu untuk mengurus surat-surat yang diperlukan. Kalian mau ketemu lagi kapan?”
“Besok”
“Lia, yang bener aja!”
“Ya kan ini masih pagi. Masih sempet lah.”
“Mepet tapi”
“Mepet tapi bisa kan? Siang atau sorenya kita bisa langsung konferensi pers di kantor manajemen. Biar cepet beres urusannya”
Deri mendengus kesal
“OK. Baiklah”
Deri dan Lia akhirnya meninggalkan kamar Ilham. Beberapa waktu kemudian suara ramai orang mengobrol di luar kamar menghilang. Pagi ini adalah pagi yang melelahkan untuk Ilham. Dia datang untuk mengikuti konferensi blockchain. Juga untuk tidur bermalam di hotel selama 3 hari. Sedikit bermewah ria, dibandingkan dengan kamar kosnya yang sebenarnya luas dan mewah, namun tak pernah diurusnya. Tak disangka, justru dia dapat istri di sini