Bab 8

“Aku nggak berminat.” Itulah jawaban Ilham kepada Lia ketika di suatu sore Lia memaksanya untuk ikut datang ke sebuah acara amal.

“Nggak bisa! Pokoknya kamu harus ikut!”

“Kamu kan bisa datang sendiri, tho? Ngapain aku harus ikut?”

“Nggak bisa cuman aku doang. Aku harus nampilin kesan baik di depan investor bahwa keluarga ngedukung karir aku. Fadhil bilang itu investor bakalan dateng di acara.”

“Aku nggak suka pesta. Lagipula, kalo kamu memang bener-bener pengen dapet peran di filmnya Fadhil, harusnya kamu dari sekarang belajar akting supaya nantinya lolos audisi, bukannya malah pergi ke pesta. Lagian kalo kamu mau melobi investor hanya bermodal kesan baik, memangnya mereka bakalan ngasih peran ke kamu cuma-cuma?” Fadhil mulai menceramahi Lia.

“Udah deh, gak usah bilang itu lagi. Bosen aku dengernya. Pesta ini juga penting. Relasi juga penting, gak bisa cuman ngandelin kemampuan aja. Lagipula, aku diundang ikut audisi aja udah syukur. Kan, gak semua casting itu terbuka setiap orang boleh ikut.”

“Nggak ah. Kamu aja sendiri. Nggak ada bedanya mau aku dateng atau ndak.” Ilham masih tetap menolak.

“Kamu gak suka liat aku bangkit lagi ya? Kamu benci aku jadi artis kan? OK, aku nggak akan maksa kamu ikut.” tiba-tiba nada Lia berubah dingin.

Ilham menatap Lia yang kini memunggunginya. Suasana menjadi hening tiba-tiba. Ilham menghela nafas. “Iya iya, aku ikut. Dah, gak usah marah. Tapi kali ini aja ya, besok-besok aku nggak akan mau ikut lagi.”

Lia tersenyum lebar, “Beneran? Jangan boong ya. Thanks banget!” kata Lia yang kemudian beranjak mencium pipi Ilham. Ilham menghapus bekas ciuman Lia, merasa terganggu dengan tingkah lakunya.

“Acaranya kapan?” Ilham bertanya
“Malem ini.”

“He? Mana sempat kalo malem ini? Gak bisa Lia!”

“Kamu barusan janji!”

“Ya tapi aku nggak punya baju buat ke pesta! Aku tidak punya kemeja satu pun. Kalaupun ada pakaian formal, itu baju koko. Kamu mau aku datang ke pesta pake baju koko?”

“Nggak masalah. Kita bisa mampir beli pakaian dulu. Lagipula, aku juga butuh pakaian baru untuk acara ini.”

“Kamu bisa nggak sih nggak mepet-mepet begini kalau mau ada acara? Kita bisa telat kalo begini caranya.”

“Lebay deh. Waktunya masih banyak gitu. Kalo langsung berangkat waktunya masih sisa kok.”

“Tapi kan nggak enak serba mendadak begini. Lain kali bisa nggak ngasih tau aku seminggu sebelumnya?”

“Udah, jangan bawel. Mending kita siap-siap berangkat sekarang. Entar telat beneran, ribut lagi.”

Ilham hanya bisa diam mendongkol. Tapi, kali ini dia tidak bisa membantah kebenaran kata-kata Lia. Untung bagi mereka, bahwa perjalanan mereka lancar tanpa hambatan ketika menuju ke sebuah butik langganan Lia.

“Kamu membuang 2 juta lebih hanya untuk pergi ke pesta?” kata Ilham yang berkali-kali menarik kerahnya untuk melonggarkannya.

“Eh, itu udah murah tau.” jawab Lia sambil beranjak ke kamar pas.

“Kalo cuman mau ke pesta, bukannya nyewa aja bisa ya?”

“Seorang Lia Komala menyewa baju buat ke pesta, apa kata netizen entar?” kata Lia dari balik kamar pas.

“Tapi, apa ini nggak berlebihan?”

“Ini namanya investasi. Harus mau berkorban dong biar bisa dapet hasil besar.”

Lia menyibak kamar pas, melangkah keluar percaya diri dengan gaun pesta pink selutut. “Gimana, cantik nggak?”

Ilham terdiam sejenak sebelum mengatakan, “Jangan pake itu. Ganti yang lain.”

“Kenapa? Bagus gini kok.”

“Kayaknya nggak cocok sama tema pestanya. Ganti yang lain aja.” Lia mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti. Sementara itu, Ilham tampak memikirkan sesuatu. Akhirnya, ia berkata, “Ato, pake kardigan ato apa gitu.”

“Ooh, itu toh maksudnya.” kata Lia sambil tertawa. “Baju pesta ya gini ini. Ini udah termasuk sopan, tau.”

“Ya tapi, untuk pesta kali ini kayaknya terlalu berlebihan…”

“Udah ah, cabut yuk, katamu gak mau telat?”

“Tunggu! Minimal, kamu bisa beli kardigan untuk jaga-jaga. Nggak usah dipake nggak papa.”

“Kamu ngotot banget sih?”

“Ya mana ada ke pesta amal pake pakaian begitu?”

“Emang kamu pernah ikut acara kayak gini? Aku udah beberapa kali. Percaya deh, aku lebih ngerti.”

“Lia! Aku nggak nyaman kamu pakai pakaian begini.”

“Ribet banget sih.”

“Lia, plis ya? Ato aku nggak usah ikut aja nih?” ancam Ilham

“Kok kamu gitu? Ok deh, aku ambil! Tapi nggak bakalan aku pake!” kata Lia sewot.

“OK.” Ilham cuma menjawab pendek


“Kamu dah tau ya?” Lia berbisik, bertanya kepada Ilham, tapi nadanya seolah menyalahkannya.

“Tau apa?”

“Tau siapa yang bikin acara ini.”

“Nggak. Dari mana aku bisa tau?” jawab Ilham acuh tak acuh.

“Trus, maksud kamu ribut-ribut di butik tadi apa?”
“Ya aku nggak suka aja, isteriku dilihatin banyak orang.”

“Yee, namanya artis jadi idola semua orang itu wajar dong. Tapi, beneran kamu nggak tau?”

“Tau apa?” Ilham bertanya polos.

“Kalo yang dateng ke sini banyakan artis hijrah”

“Nggak spesifik, tapi kira-kira tau. Soalnya Imaji Films memang kebanyakan filmnya bertema religi. Novelnya Fadhil novel religi juga, kan? Jadi, kemungkinan yang ngadain acara ini memang dari situ.”

“Kamu kenapa gak bilang?! Kalo kamu tadi bilang, aku nggak bakal salah kostum gini kan? Walopun aku dah tutupin, tetap aja…”

“Aku pikir kamu sengaja. Supaya jadi pusat perhatian atau gimana gitu…”

“Mana ada!”

“Ya aku nggak tau. Lagipula, itu cuma tebakanku aja. Kamu bilang sendiri, kamu yang lebih tahu soal acara begini.”

Percekcokan bisik-bisik mereka dikejutkan oleh suara seorang laki-laki, “Lia, kamu beneran dateng rupanya. Sama siapa nih?”

“Eh, Fadhil, kenalin ini suami gue, namanya Ilham. Dia kerja di IT. Mas, ini Fadhil yang sering aku ceritain itu.” Lia merangkul lengan Ilham. Tapi, Ilham menarik lengannya.

“Ini, … mas Ilham kan? Lama nggak ketemu. Nggak ngira ketemu di sini. Gimana kabar antum?”

Ilham menunduk, tapi ia tetap menjawab, “Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri gimana?”

“Yah, begini lah mas. Namanya juga usaha.”

“Tunggu dulu. Kalian dah pada kenal?” Lia tiba-tiba menyela.

“Mas Ilham ini kakak angkatan saya waktu kuliah di Jogja dulu. Kami memang beda fakultas, tapi sering ketemu karena ikut organisasi kemahasiswaan yang sama.”

“Oh ya, organisasi apa?” tanya Lia penasaran

“Namanya ALMAUN. Aliansi Mahasiswa Islam Antar Universitas”

Lia menggelengkan kepalanya, “Nggak pernah denger.”

“Masa sih? Dulu kami sering muncul di koran lho. Dulu, kami adalah penggerak utama yang menyebabkan reformasi bisa terwujud.” Fadhil menjelaskan dengan bangga.

“Tapi kan, reformasi kan dah dua puluh taun lebih? Kayaknya, kalian gak setua itu deh?” Lia membantah.

“Walau begitu, tetap saja jaman kami reformasi masih segar dalam ingatan. Kami tetap setia mengawal jalannya reformasi dan membela hak-hak rakyat tertindas.”

“Ooo…” jawab Lia yang sebenarnya masih tidak mengerti.

“Dulu mas Ilham itu idola saya…” Fadhil mengatakan itu sambil tersenyum.

Ilham tidak menanggapi. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Mas Ilham ini orangnya pemberani. Dia pernah ngajak debat mahasiswa fakultas kami. Mereka kalah argumen, terus nggak tau mas Ilham bilang apa gitu, terus dia dipukuli. Untungnya kita pas ada di dekat situ, terus kami bawa mas Ilham rame-rame ke rumah sakit. Mbak Tiara sampe harus…”

“Menurutku kamu lebih hebat.” potong Ilham tiba-tiba. “Di antara temen-temen kita, kamu yang paling konsisten di jalurnya. Dulu kamu ketua MAHAPENA Jogja kan? Sekarang, novel kamu diangkat jadi sinetron. Aku pikir, setelah kegagalan novel pertama kamu, kamu menyerah dan kembali ke jalan yang lurus.” kata Ilham tersenyum sinis.

Ilham kembali melanjutkan, “Kalo di ALMAUN mungkin aku pernah senior kamu. Tapi, di MAHAPENA, aku cuman anggota biasa.”

“Mas anggota MAHAPENA? Masa sih Mas, ana kok nggak ingat?”

“Lho, iya dong. Waktu pelatihan di wisma ormas Islam di lereng Merapi itu, aku ikut. Kamunya yang nggak datang.”

Fadhil masih mengerutkan dahinya. “Kalo memang anggota, harusnya ana ingat. Setiap pekan kita selalu ngadain pertemuan di selasar gedung pusat kampus kita. Harusnya ana pernah liat antum di sana…”

“Kamu lagi ada proyek dosen ke Vietnam atau apa gitu. Aku ikut acara yang di selasar itu, tiga atau empat kali, tapi habis itu males. Lagipula, habis itu aku langsung keterima kerja di Jakarta.”

“Ooo, maaf Mas. Ana nggak tahu kalo antum pernah ikut di MAHAPENA juga.”

“Gakpapa, Ketua memang begitu.” sindir Ilham. “Eh, sudah ya, itu acaranya mau dimulai. Itu tuan rumah udah halo-halo pake mikrofon. Nggak sopan kalo kita ngobrol sendiri.” Ilham memutar tubuhnya, berjalan menjauhi Fadhil. Lia terpaksa mengikuti, karena tangannya dicengkeram kuat oleh Ilham.

“Aduh, sakit! Lepasin ah.” Lia memprotes Ilham. Ilham akhirnya melepaskannya setelah mereka menjauh dari Fadhil. “Kalian ada masalah apa sih?” tanya Lia penasaran

“Nggak ada.”

“Trus, kenapa mas kayaknya nggak suka gitu sama dia?”

“Fadhil orangnya jaim. Aku nggak suka orang jaim.”

“Jaim gimana? Orang ramah gitu kok dibilang jaim.”

“Ya itu. Ramah itu jaim.”

“Terserah deh. Betewe, mahapena itu apaan?”

“Majlis Halaqah Penulis Amatir.”

“Hah? Apa?”

“Eh, Lia, ini acara amal apa sih?” tanya Ilham yang tidak mengindahkan permintaan Lia untuk mengulangi jawabannya.

“Ini, semacam penggalangan dana untuk anak autis gitu. Bu Dewi Puspita yang di depan itu tuan rumah sekaligus penyelenggara acaranya. Cucunya autis, makanya dia bikin semacam komunitas buat support group gitu.”

“First world problem.” Ilham berceletuk pelan.

“Eh, gimana?”

“Nggak, nggak papa. Itu cucunya yang di sebelahnya kan? Udah besar kayaknya. Berapa umurnya?”

“16 atau 17 taun gitu. Katanya dia nggak disekolahin di sekolah formal. Full home schooling gitu sih.”

Ilham cuma menghela nafas panjang.

“Kenapa sih?” tanya Lia yang semakin bingung dengan sikap Ilham.

“Nggak ada apa-apa. Emangnya kenapa?”

Lia menatap Ilham tajam. Pandangannya penuh selidik.

“Lia, aku mau ngambil makan. Kamu mau ikut nggak?”

“Hmm? Oh, ya udah ayuk. Aku juga mulai laper nih.”

Lia sedang sibuk menikmati sepotong kue red velvet, yang diambilnya dengan garpu kecil di tangannya sesuap demi sesuap. Namun, seenak apapun kue itu, tetap saja potongan-potongannya akhirnya menyangkut di tenggorokannya. Lia berbalik untuk mengambil segelas air putih, tapi tiba-tiba saja dia sudah berada dalam lingkaran orang-orang yang sedang bercengkerama. Ada Bu Dewi dan cucunya di situ.

“Ayok, Verdi, salim sama om dan tante” perintah Bu Dewi kepada cucunya, lembut tapi tegas.

Pemuda yang dipanggil Verdi berjalan berkeliling ke semua orang. Satu persatu setiap orang disalaminya tanpa mau mengajak mereka berkontak mata, termasuk juga Lia.

“Verdi.” Mungkin sudah setengah lusin lebih ia menyebutkan namanya pada orang-orang.

“Lia.” kata Lia sambil buru-buru meletakkan garpu di tangan kanannya.

“Kamu…” Bu Dewi mengerutkan dahinya, berusaha mengingat-ingat sesuatu.

“Ini Lia Komala, eyang. Artis pendatang baru itu loh.” Seorang perempuan muda menyahut.

“Oo.. iya iya. Yang tiba-tiba nikah itu ya?” celetuk Bu Dewi.

“Iya eyang.” jawab Lia pendek. Dia merasa jengah melihat satu dua orang tersenyum sinis kepadanya.

“Selamat datang di acara ini, Lia. Terima kasih sudah turut mendukung. Verdi ini berbeda dari anak-anak lain. Dengan adanya acara amal seperti ini, mudah-mudahan anak-anak lain seperti dia bisa disembuhkan dan bisa bersosialisasi layaknya orang-orang lainnya.”

Lia cuma tersenyum. Dia memang datang ke sini untuk “beramah-tamah” dengan Bu Dewi. Tapi, disergap keadaan seperti ini membuatnya tiba-tiba susah bicara.

“Verdi itu anak baik Eyang. Saya yakin terapinya bakalan sukses. Apalagi, dengan didampingi para ahli seperti sekarang.” Seorang pria setengah baya menanggapi.

Bu Dewi tersenyum puas mendengarnya. “Verdi ini pintar matematika. Dia sekarang sudah bisa mengerjakan soal-soal kalkulus universitas. Kalau disekolahkan di sekolah biasa, mungkin dia sudah lompat kelas tiga kali.”

Satu dua seruan kagum terdengar. Sementara itu Verdi yang menjadi bahan pembicaraan diam tanpa ekspresi, menunduk sambil memainkan kancing bajunya.

“Maaf, tapi jenis autisme seperti Verdi tidak bisa disembuhkan.” Semua orang menoleh ke arah suara laki-laki yang dengan lancang menyahut itu.
“Maaf, tapi anda siapa ya?” tanya Bu Dewi yang berusaha melembutkan nadanya.

“Saya Ilham, suaminya Lia” kata pria itu memperkenalkan diri sambil menoleh ke istrinya. Namun, sang istri justru menatap tajam ke arahnya. Mulutnya berkomat-kamit. “Kamu apa-apan?” atau “Kamu ngapain sih?”. Tidak jelas yang mana, tapi Ilham segera faham maksudnya. Namun, dia tampak tidak peduli.

“Jadi begini Bu, kebanyakan autisme itu terjadi entah karena cacat bawaan lahir atau karena kelainan otak. Maaf, tapi seumur hidup Verdi akan tetap jadi anak autis.”

“Kamu sembarangan kalo ngomong. Saya itu sudah bertahun-tahun berkonsultasi sama psikiater.”

“Saya tidak sembarangan ngomong. Lagipula, Verdi itu bukan savant, kalau itu yang menjadi harapan ibu. Dia cuma anak pintar biasa yang bisa lompat tiga kelas karena disekolahkan di rumah. Banyak yang bisa begitu. Selain itu, savant jenius itu muncul gara-gara dia autis. Ibu berharap dia tetap jenius sementara autisnya bisa disembuhkan, begitu? Mereka datang dalam satu paket. Kalau yang satu tidak ada, maka yang lain juga tidak ada. Tapi, sekali lagi saya bilang, Verdi itu bukan savant. Dia cuma autis.”

“Kamu kurang ajar!” Bu Dewi akhirnya melepaskan amarahnya.

“Maaf Bu, suami saya memang kadang bicaranya ngawur.” Lia menyela, kemudian menarik keras tangan Ilham. Setelah apa yang terjadi, dia tidak punya muka lagi untuk tetap berada di sini. Mereka berdua pergi meninggalkan lingkaran pembicaraan itu.

“Kita pulang sekarang!” kata Lia dengan nada membentak.

“Tunggu sebentar.”

“Apa lagi?!” kata Lia kesal

“Aku belum sholat. Kalau kita pulang sekarang, nggak sempat”

“Sholat di luar aja kenapa sih?”

“Di sini aku tadi lihat mushollanya bagus. Di sini aja. Lagipula, waktunya tinggal 15 menit lagi. Udah mepet.”

“Kamu tau nggak, kamu tadi dah malu-maluin aku. Aku nggak mau tetep di sini.”

“Yang dipakai buat acara kan cuma di daerah situ saja kan. Tempat yang lain juga masih banyak. Itu di belakang masjid ada taman kalau mau jalan-jalan. Ya sudah, aku mau sholat dulu.” Ilham menjawab acuh tak acuh.

Mungkin ada lebih dari selusin level lebih berhasil ditamatkan Lia di Candy Crush, sembari dia menunggu Ilham. Dia kembali menoleh ke arah serambi masjid dengan tak sabar. Apa yang dilakukan Ilham hingga selama ini? Memang sih, tidak berapa lama setelah Ilham berpamitan, azan terdengar. Sambil mendongkol, Lia kembali harus menunggu. Dia tidak ingin mengganggu Ilham dengan meneleponnya, bahkan setelah lebih dari setengah jam berlalu. Tapi, ini sudah keterlaluan lamanya! Lia membatin. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk menelepon Ilham. Akan tetapi, dia tidak bisa dihubungi. Lia menyeka dahinya, lalu beranjak untuk menghampiri masjid tempat Ilham sholat.

Mendekati serambi masjid, Lia memelankan langkah. Dengan sedikit canggung, dia melangkah ke dalamnya, sambil menengok ke sekeliling. Di ujung sana, tampak Ilham sedang duduk bersila. Lia menggeram sambil mengepalkan tangannya, melangkah cepat-cepat menghampiri Ilham. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Ilham tidak sendirian. Dia tampak akrab berbicara dengan seseorang di sampingnya, sambil sesekali tertawa bersama. “Verdi?” batin Lia memekik. Lia kembali melangkah mendekat, kali ini dengan lebih pelan, berusaha tidak mengejutkan mereka.

“Kalau aku kuliah, beneran aku bisa kenalan sama calon jodohku, om?” kata Verdi setengah berteriak. Matanya menatap antusias.

“Kalau kamu terus homeschooling, lalu caranya kamu kenalan sama cewek gimana?”

Verdi terdiam. Serius ia memutar otak mencari jawaban. “Dikenalin sapa papa mama?” jawabnya tak yakin.

“Bisa…” Ilham manggut-manggut. “Tapi, yang mau menikah itu kan kamu. Masa yang milih orang tua kamu. Kalau ternyata kamu tidak suka bagaimana?”

“Tapi om, siapa yang bakalan mau sama aku? Aku nggak seperti orang normal pada umumnya.” ada sedikit kesedihan di nada bicara Verdi.

“Banyaak! Kamu itu ganteng, pinter, kaya lagi. Udah gitu, kamu orangnya tulus. Cuma cewek bodoh yang nggak mau sama kamu.”

“Bener om?”

“Serius. Lagipula, kuliah itu utamanya bukan soal cari jodoh. Utamanya, orang kuliah buat cari kerja. Kamu tidak butuh itu. Tapi, dengan kuliah kamu bisa bertemu dengan bermacam-macam orang, dan belajar bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka.”

“Aku tidak mau bertemu orang-orang.” Wajah Verdi tiba-tiba menegang.

“Kamu takut? Kamu nggak suka sama orang-orang itu tadi?”

Verdi hanya diam menatap Ilham.

“Sama. Aku juga nggak suka pesta kok. Orang-orang yang nggak suka pesta itu banyak. Nggak cuma kamu aja.”

“Tapi om, aku kan…”

“Kamu sadar nggak sih kalau apa yang kamu punya itu kelebihan?” potong Ilham tiba-tiba. “Kamu suka sekali sepakbola. Kita tadi sudah panjang lebar ngomong soal El Loco. Kamu bilang kamu ingin seperti dia. Pelatih terbaik dunia sampai bilang kepada dia, ‘Kamu bahkan jauh lebih paham soal taktik saya daripada saya sendiri’. Coba, apa itu namanya kalau bukan bakat luar biasa?”

“Eyang ingin aku jadi matematikawan.”

“Tapi kamu gak suka kan?”

Verdi menggeleng.

“Ver, kamu bisa jadi hebat kalau kamu mencintai sesuatu. Karena seberat apapun, kamu akan tetap menjalaninya sambil tersenyum. Mau lima tahun atau sepuluh tahun juga tidak masalah.”

“Kalo gitu aku akan kuliah di jurusan olahraga!’ kata Verdi setengah berteriak.

“Aku tidak yakin bagaimana jalurnya untuk menjadi pelatih profesional…” Ilham berkata ragu-ragu.

Tapi, ketika Ilham menoleh ke Verdi, tangannya sudah sibuk memencet-mencet tablet yang sedari tadi dipegangnya. Ilham mati gaya diabaikan Verdi. Dia memutar pinggangnya yang mulai pegal, ketika kemudian tatapan matanya tertuju kepada sosok yang sudah dikenalnya.

“Lia? Kok sampe sini? Kenapa nggak telpon aja tadi?”

“Telpon apaan? Orang HP kamu mati!”

“He?” Secara refleks Ilham merogoh HP-nya. “O iya, tadi pas sholat kumatiin, lupa aku hidupin.” kata Ilham santai. “Ya udah yuk, pulang.”

Lia cuma bisa menghela nafas mendengar tanggapan Ilham. Wajahnya ditekuk.

Ketika mereka berdua di dalam mobil, Lia tidak bisa menghentikan rasa penasarannya untuk bertanya kepada Ilham, “Kamu kok bisa ngobrol akrab gitu ama Verdi?”

“Memangnya kenapa? Cuman ngobrol aja kan?”

“Aku pikir kamu gak suka orang autis.”

“Kalau maksud kamu pas sama bu Dewi, itu karena aku tidak suka dengan caranya memperlakukan Verdi.”

Lia menatap Ilham. Pandangannya menanti penjelasan.

“Verdi itu bukan anak kecil! Dia sudah 16 tahun! Kamu tadi gak liat bagaimana dia diperlakukan?” bentakan Ilham membuat Lia tersentak. “Autis itu bukan berarti idiot. Bukan berarti juga mereka tidak punya perasaan. Apalagi, Verdi termasuk yang high functioning. Tiga dari empat anak autis itu high functioning. Artinya, mereka masih bisa hidup normal dengan orang lain. Cuma, mereka memang harus dibantu.”

Melihat tatapan Lia yang kosong dan tidak fokus, Ilham menghentikan penjelasannya. “Ya udah yuk, kita pulang.”

“Tunggu dulu, aku masih pengen tau soal Verdi.”

“Katanya gak suka obrolan yang berat-berat…”

“Iih, lanjutin aja napa sih. Aku penasaran nih.”

“Jadi, kebanyakan orang tidak faham hakikat autis yang sebenarnya. Orang taunya autis itu ya Rain Man, atau Good Doctors, atau Temple Grandin. Temple Grandin yang paling akurat, tapi itu tidak mewakili semua spektrumnya.”
Lia cuma terdiam dengan tatapan yang sama. Tapi, dia tetap menyimak.

“Pada intinya adalah orang salah mengerti bahwa autisme itu orang yang punya kecerdasan luar biasa di bidang tertentu, sementara mereka itu sebenarnya cacat mental. Mereka dianggap sebagai setengah manusia, atau kayak robot gitu. Mereka dianggap kayak alien yang tidak kenal asmara.”

Ilham akhirnya lega melihat tatapan Lia yang akhirnya mulai berubah.

“Yang pertama, autis itu tidak semuanya cerdas. Sebagaimana tidak semua aktris itu bakalan sukses kayak Revalina atau kayak kamu. Itu semua cuman sensasi agar karakter autis itu jadi dramatis. Verdi itu tidak jenius. Kalo orang disuruh homeschooling, apa susahnya lompat 3 kelas? Aku juga bisa kalau begitu. Dia sebenarnya tidak suka matematika, tapi dipaksakan sama orang tuanya. Bu Dewi pengen cucunya cerdas seperti di film, tapi juga pengen cacat mentalnya sembuh. Dia tidak peduli perasaan Verdi. Dia egois.”

“Yang kedua, autis itu yang cacat cuma empati kognitifnya, dan bukan empati afektifnya. Gampangnya begini. Autis itu cuma bisa memahami apa yang tertulis dan apa yang dia dengar. Dia nggak bisa tahu ketika orang ngomong itu wajahnya lagi marah, lagi bosen, lagi buru-buru, lagi takut, atau lagi sedih. Bahkan kadang dia nggak bisa membedakan itu semua dari nada bicaranya. Makanya, kalau ngomong sama mereka harus jelas banget. Tapi, itu bukan berarti mereka tidak punya perasaan. Bukan berarti mereka kayak robot yang tidak tahu rasanya disakiti. Mereka marah, sedih, dan juga jatuh cinta. Bahkan, orang autis adalah orang yang paling tulus di antara orang-orang di sekitarnya.”

“Iya gitu?”

“Rata-rata iya. Kalo gampangnya sih, orang autis itu ibarat punya akal ibarat orang dewasa tapi punya hati ibarat anak-anak. Mereka rata-rata pinter walau bukan jenius. Tapi, karena kecerdasan sosial mereka yang kurang, mereka biasanya jadi orang yang tulus dan mudah percaya. Ya kayak anak kecil gitu lah. Tapi, itu bukan berarti mereka bodoh. Mereka tahu kalau di-bully. Mereka tahu kalo diperlakukan lain. Mareka tahu kalau kamu bersikap lembut bak bu guru TK sama mereka. Bagi mereka, itu menyakitkan.”

“Trus, baiknya gimana?”

“Pura-pura nggak tahu.”

“He? Apa?”

“Ya gini deh, kalo kamu misalnya punya teman yang sebelah matanya cacat gitu. Memangnya apa yang bakal kamu lakukan? Kamu berusaha nggak nyebut-nyebut cacatnya kan? Kalo cacatnya itu mengakibatkan kekurangan, kamu akan berusaha mengakomodasi dia dengan tidak mengajak bicara dari sisi di mana dia tidak bisa melihat. Tapi, kamu tidak akan menyebut-nyebut matanya yang buta sebelah.”

“I see.”

“Ya kecuali kamu sahabat dekat. Ya biasalah, kamu tahu.”

Lia mengangguk.

“Paling itu aja. Kalau ciri-ciri lainnya yang kecil-kecil, misalnya mereka itu dari cara jalan aja udah aneh. Gerak-gerik tubuhnya tidak seperti orang biasa. Kaku, tidak luwes. Terus, kalo mereka ngomong, mereka kadang nggak menatap lawan bicaranya. Atau justru malah menatap padahal seharusnya tidak. Terus, banyak sekali yang punya obsesi berlebihan terhadap satu bidang. Ada juga yang tidak. Makanya, ini tidak pasti. Dan, autis itu kayak spektrum. Ada yang autis berat sampai bahkan gak bisa ngomong, ada yang ringan, yang masih bisa bersosialisasi. Bahkan, tidak jarang yang seumur hidupnya tidak pernah ketahuan kalau dia autis.”

“Kamu kok bisa tahu banyak soal autis gitu sih, Mas?” Lia menatap curiga.

“Aku pernah punya junior kayak Verdi. Dia ini pinter, tapi ngomongnya susah. Tapi, kalau dalam bentuk tertulis, dia berubah banyak. Jadi lebih agresif dan percaya diri. Sayangnya, dia arogan minta ampun. Nggak bisa kerja bareng orang lain. Akhirnya dia dipecat. Aku sedih, tapi mau bagaimana lagi?”

“Emang kalo autis itu cenderungnya arogan yah?”

“Sebenarnya nggak juga. Mereka cuma buta sama tingkatan sosial aja. Mereka nggak ngerti siapa yang harusnya jadi bos, dan gimana cara menghormati mereka. Mereka nganggepnya semua setara gitu aja. Arogan itu pilihan. Juniorku ini memang arogan banget.”

“Pas ketemu sama Verdi, atau pas ketemu sama junior kamu itu, kamu merasa mereka itu kayak adik kamu gitu yah?”

Ilham terkejut dengan pertanyaan Lia yang tiba-tiba. Dia mengerutkan dahi. “Iya. Semacam itulah.”

“Oo… gitu. Ya udah yuk, pulang. Dah malem.”

“OK”. Ilham menginjak gas mobil mereka, yang kemudian beranjak meninggalkan tempat parkir.

Krucuk… krucuk… . Begitu bunyi perut Lia beberapa menit kemudian. Sambil mengelus perutnya dia berkata, “Mas… berhenti cari makan yuk? Hehehe…”

“Bukannya tadi kita sudah makan?”

“Nggak sempet tadi. Cuma berapa suap doang, habis itu udah. Sia-sia deh semuanya. Udah ngeluarin duit banyak buat dandan, dapet makan aja nggak. Kamunya siih…”

Wajah Ilham menegang, “Lia, Aku …”

“Apa?”

“Aku minta maaf!”

Lia terhenyak.

“Aku tahu, aku sudah membuatmu malu. Aku tidak tahan dengan apa yang dilakukan Bu Dewi. Tapi, yang kulakukan sebenarnya jauh lebih dari itu. Semua usahamu untuk datang ke sini… Aku sudah menghancurkan karirmu. Bukannya membantumu, aku justru menutup jalanmu.”

Lia ragu-ragu untuk menjawab, sebelum akhirnya tersenyum sambil berkata, “Santai aja kali. Aku tahu kok kalo maksud mas baik. Eh, awas, hati-hati!”

“Heh? Oh…” Ilham sedikit membanting setirnya ke kanan.

“Tapi Lia, kamu bilang ini satu-satunya kesempatan kamu.”

“Nggak papa, Entar juga ada jalan.” Lia menjawab pendek, tak yakin dengan jawabannya sendiri. “Eh, mas, jangan deket-deket. Agak ke belakang aja gakpapa” katanya tiba-tiba, mencoba mengingatkan Ilham.

“Tapi, kamu bener nggak marah?”

“Enggak, nggak papa. Serius.”

“Aku masih merasa bersalah padamu.”

“Aku tidak marah!” tiba-tiba Lia berteriak. “Stop! Stop! Berhenti!”. Ilham mengerem mendadak. “Pindah! Kamu duduk sini!” bentak Lia kemudian. Ilham bengong melihat perubahan sikap Lia yang mendadak. “Cepetan!” lagi-lagi Lia membentak. Mereka akhirnya bergeser tempat duduk.

“Aku lebih senang kamu begini, daripada pura-pura tidak marah kayak tadi.”

“Diem! Jangan ajak aku ngomong sampe kita di rumah.” kata Lia masih dengan nada tinggi.

Sepanjang perjalanan, Ilham terus memandangi Lia dengan tatapan sayu.