Bab 1
Mata kirinya bengkak, sementara seluruh wajahnya berbekas kebiruan. Kedua lengannya dicengkeram erat oleh dua pria kekar berkulit gelap di sampingnya, sambil memaksanya untuk tetap dalam posisi berlutut. Di depannya, berdiri seorang pria cebol berkumis tipis yang hanya setinggi posisinya berlutut. Si cebol kemudian mengangkat dagunya dengan paksa. Sambil tertawa mengejek ia bertanya, “Mana sihirmu, he?”. Orang yang ditanya diam saja tidak menjawab. Ia justru membuang muka, melepaskan dagunya dari pegangan si cebol. Wajah si Cebol berubah gusar. “Eh, kau berani ya…” Bukk. Dilesakkanlah sebuah tendangan ke perutnya. Namun, dia hanya meringis saja, menolak untuk tunduk pada orang-orang ini.
“Paman!” Dari arah belakang, terdengar teriakan seorang anak kecil berbaju rombeng. “Kalian, lepaskan paman! Atau… atau aku akan…” Sambil berkata begitu, diacung-acungkannya sebuah gelang kulit bersamak bersematkan permata merah ke arah orang-orang yang sedang menyiksa si paman. Orang-orang itu terhenyak. Mereka yang mengitari paman yang ditawan menyibak. Mereka mundur beberapa langkah ke belakang, menyisakan si Cebol dan dua orang yang memegang erat si tawanan. Si tawanan merasakan bahwa tekanan pada kedua tangannya mengendur. Dia lalu meronta, menggeliat mencoba melepaskan diri. “Bejo, lemp…” Uhukk. Kembali sebuah tendangan mendarat di perutnya. “Diam kau!”
Wajah anak yang dipanggil Bejo itu dipenuhi ketakutan. Tapi, setapak demi setapak dia maju mendekati si paman yang sedang ditawan. Rupanya, si Cebol melihat gelagat itu. “Jangan takut! Dia cuma menggertak!” Namun, anak-anak buah si Cebol masih terdiam di tempatnya. Cebol geram melihat tingkah anak buahnya pengecut. “Tunggu apa lagi? Cepat tangkap dia!” Kembali si Cebol membentak. Mendengar bentakan pemimpinnya, mereka bergegas mengerumuni si anak. Hanya saja, mereka tidak segera meringkus anak itu. Mereka cuma bersiap siaga, masing-masing dengan menggenggam parang di tangannya. Anak kecil itu, melihat bahwa dirinya telah terkepung, mulai kehabisan akal. Yang bisa dia lakukan cuma mengacung-acungkan gelang itu berkeliling ke orang-orang yang sedang mengepungnya. “Bejo, lempar ke sini!” Teriakan sang paman menyadarkan Bejo. Dia melemparkan gelang itu ke arah si paman yang sedang ditawan. Melihat hal itu orang-orang yang mengepung Bejo merangsek maju. Bejo berjongkok merunduk, pasrah terhadap keselamatan dirinya.
Gelang kulit itu melambung tepat ke arah pria yang sedang ditawan itu. Sayangnya, sebelum mencapai tujuannya, gelang itu terhenti di udara. Si Cebol berhasil menangkapnya. Ia lalu tertawa terkekeh. “Rupanya, ini rahasia kekuatanmu. Tanpa ini, kau tak akan bisa berbuat apa-apa.” katanya sambil tersenyum mengejek. Tawanan itu tidak menjawab. Dia memejamkan mata. Tiba-tiba, permata merah di gelang yang dipegang si Cebol itu berpendar. “Aaaah..!” Rasa panas menyengat tangannya. Serta merta ia melemparkan gelang keramat itu ke tanah. Dia memegangi tangannya yang kini melepuh. Sejurus kemudian, dua orang yang memegangi lengan tawanan itu terlempar ke udara. Pria itu kini bebas. Dia berjongkok ke tanah, lalu mengambil gelang bersematkan permata merah itu dengan tenang. Dipakainya gelang itu di tangan kanannya. Sang penyihir telah menemukan kekuatannya kembali.
Akan tetapi, kegentingan belum berakhir. Dari jauh, dia melihat bahwa orang-orang itu telah menangkap Bejo. Nyawanya terancam oleh parang tajam yang menempel di lehernya. Bejo yang sedari tadi ketakutan kini mulai menangis. Sungguh situasi yang berbahaya. Kalau mau panik, inilah saat yang tepat bagi si penyihir. Tapi, penyihir itu bersikap tenang luar biasa. Pelan-pelan tangannya diarahkan ke Bejo. Melihat hal itu, si Cebol yang masih merintih kesakitan kemudian menggertak, “Jangan macam-macam kalau mau anak itu selamat.” Si penyihir menatap tajam, walau akhirnya dia menurunkan tangannya. “Tangkap dia! Ambil gelangnya!” Perintah si Cebol menggelegar, membuat para pengikutnya tersentak. Tanpa menunggu lebih jauh, mereka bergerak cepat menghampiri si penyihir. Lagi-lagi, si penyihir memejamkan mata. Rupanya hal ini juga tidak luput dari perhatian si Cebol. “Jangan macam-macam!” Sayangnya, seruan si Cebol terlambat. Bejo sudah berdiri tegak. Di sekitarnya, para peringkusnya tergeletak kesakitan. Selangkah demi selangkah, si penyihir menghampiri Bejo. Para pengepungnya tak berani mendekatinya. Setiap kali si penyihir melangkah, mereka makin terdesak mundur. Ketika si penyihir tinggal berjarak dua langkah dari Bejo, ia berkata, “Ayo kita pergi.”
Bejo ragu-ragu. Tapi, kemudian ia berkata, “Paman. aku tidak mau.” Si penyihir mengerutkan dahinya. Dia tidak mengerti keinginan Bejo. “Paman Sanjaya, mereka inilah yang telah membunuh orang tuaku.” kata Bejo kemudian menjelaskan.
“Oh? Jadi, karena itukah mereka mengejar kita?” Si penyihir bertanya dingin.
“Bukan. Mereka tidak kenal siapa aku. Kalau soal itu, pamanlah yang menjadi incaran mereka.” Mendengar itu, si penyihir menyadari sesuatu. Dia lalu memperhatikan baju yang sedang dipakainya, sebuah jubah putih panjang. Di punggungnya, tersulam gambar matahari emas yang cukup besar. Pantas saja, pikirnya. “Lalu, mau kau apakan mereka?” Tangan si penyihir menunjuk ke arah si Cebol. Kedua mata si Cebol seketika membelalak.
“Semuanya, lari…” Para penjahat itu sejenak kebingungan melihat pemimpin mereka lari terbirit-birit. Bagusnya, mereka segera sadar. Mereka berlari berhamburan ke segala arah. Yang paling penting mereka menjauh dari penyihir ini.
Malang, tubuh-tubuh yang berlarian ke segala arah itu bagai menumbuk dinding tak kasat mata. Satu demi satu, mereka kembali terpental ke belakang. Tidak hanya itu, dua tiga orang yang sedang tergeletak kemudian bergulung-gulung. Seakan-akan, dinding siluman itu makin lama makin menyempit, menggelindingkan mereka. Beberapa yang lain menahankan tangannya berusaha menolak dinding siluman di hadapan mereka. Tapi, mereka semua terdorong tanpa daya ke belakang.
Sekawanan penjahat yang dipimpin si Cebol itu semuanya berjumlah tujuh belas orang. Kini, mereka semuanya terikat dengan erat, terkumpul menjadi satu. Bejo berdiri tegak di hadapan mereka. Tangannya mengepal, sorot matanya menyala-nyala. Sementara itu, Penyihir Sanjaya sedang duduk santai bersila. Tangan kirinya memegang cermin kecil, memperhatikan setiap sudut wajahnya yang bengkak biru lebam dipukuli para penjahat itu. Pelan-pelan, tangan kanannya mengusap wajahnya. Ia merintih tertahan, tapi ia tetap meneruskan usapan wajahnya hingga sempurna. Dia kembali melihat wajahnya dengan cermin kecil itu. Dia tersenyum kecil tanda puas. Sesaat kemudian, dia seperti teringat sesuatu. Dia menekan kuat perutnya. Hampir saja ia berteriak kesakitan. Mulutnya terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Dia lalu memejamkan mata. Permata merah di pergelangannya berpendar berkelap-kelip, seirama gerakan tangan si penyihir yang mulai mengurut perutnya pelan-pelan.
“Jangan bunuh kami!” teriakan bercampur isak tangis tiba-tiba menggema. Itu suara Si Cebol. Teriakan itu disusul teriakan-teriakan lain yang serupa. Bagaikan paduan suara sumbang yang tidak serempak, semuanya menyanyikan nada tangis yang sama. Rupanya, Bejo sedang mengangkat sebuah parang tinggi-tinggi, bersiap-siap mengayunkannya ke kepala Si Cebol. Dengan satu hentakan, diayunkan kuat-kuat parang itu mengincar leher si Cebol. Si Cebol memejamkan mata, pasrah. Namun, rasa nyeri yang ditunggu-tunggunya tidak datang. Ketika membuka matanya, dilihatnya parang yang harusnya mengambil nyawanya sudah tergeletak di tanah, sementara anak kecil di depannya memegangi pergelangannya.
“Siapa bilang kamu boleh membunuh mereka?” ucap Sanjaya datar. Dia kemudian bangkit dari duduknya menghampiri Bejo. “Membunuh adalah pekerjaan besar. Aku tidak mau seorang anak rusak jiwanya karena membunuh orang lain”.
“Aku tidak peduli! Pokoknya aku mau dia mati!” Bejo berteriak membantah Sanjaya.
“Benar itu yang kamu mau? Kalau begitu, aku mau kau melihat sesuatu.” Selesai berkata begitu, Sanjaya menengadahkan tangan kanannya. Sinar terang memancar dari telapak tangannya. Bahkan di hari yang terang terik seperti ini, sinar itu tetap tak kalah cahayanya. Sinar terang itu kemudian mengeluarkan semburat pelangi. Lamat-lamat, muncullah bayangan-bayangan di atas tangan Sanjaya. Bayangan-bayangan itu kemudian menegas, membentuk kembali sosok Bejo yang akan mengayunkan parangnya ke arah si Cebol.
“Kalau kamu benar-benar membacoknya, darah akan muncrat dari lehernya. Dia akan mengejang, melotot, sebelum akhirnya mati. Karena kamu masih anak-anak, bacokanmu tidak akan sampai memutus lehernya, tapi hanya akan terhenti setelah membentur tulang lehernya. Kamu hanya akan menyobek tenggorokannya saja. Karena itu, lehernya akan menganga lebar.” Dengan santai, Sanjaya menjelaskan bayang-bayang yang menari-nari di atas tangannya.
“Hoekk..” Bejo memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat. “Hoooekkk…” Tidak cukup sekali, perutnya seakan-akan berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan semua isinya. Dia terengah-engah. Tubuhnya lemas. “Sudah… cukup paman…” katanya terbata-bata.
Sinar bayang-bayang di atas tangan Sanjaya tiba-tiba menghilang. “Kalau kamu membunuh mereka karena hawa nafsu, apa bedanya kamu dengan mereka? Mereka membunuh orang tuamu karena harta, sementara kamu karena dendam. Apakah kamu mau menjadi orang hina sebagaimana orang yang paling kamu benci?” Bejo menunduk. Hatinya meronta dengan amarah, namun ia menyadari kebenaran di balik kata-kata Paman Sanjaya.
Sanjaya kemudian menatap wajah si Cebol lekat-lekat. “Kalau aku tidak membunuhmu, apakah kau mau berjanji tidak akan berbuat jahat lagi?”
“Sa..saya berjanji! Saya bersumpah tidak akan merampok lagi. Saya tidak akan membunuh atau memperkosa lagi. Saya akan hidup jadi orang baik-baik, Tuan.” Dengan nada yang penuh kesungguhan, Si Cebol berusaha meyakinkan Sanjaya.
“Hmm… kamu berbohong.” Sanjaya masih memperhatikan wajah si Cebol penuh selidik.
“Benar tuan, saya tidak bohong” setengah menangis ia berusaha meyakinkan Sanjaya.
“Begitukah? Aku tidak percaya. Tapi, tidak adil kalau aku menuduhmu tanpa bukti. Baiklah, kamu aku lepaskan. Kalau suatu saat aku melihat kamu berbuat jahat lagi, aku akan mengambil nyawamu.” Si Cebol merasakan bahwa tali yang mengikat tangannya tiba-tiba lepas dengan sendirinya. Ia girang bukan main. “Tidak, tidak akan tuan. Terima kasih tuan.” Sambil berkata begitu, dia membenturkan dahinya beberapa kali ke tanah.
Sanjaya berbalik badan, muak melihat pemandangan itu. “Bejo, ayo pergi.” Akan tetapi, Bejo masih berdiri terpaku pucat. Tiba-tiba, sesosok tubuh menyergap dari belakang. “Mampus kau!” Trang. Sebuah parang terbanting di tanah. Di sebelahnya, menggelinding sebuah bulatan kepala. Itu adalah kepala si Cebol.
“Sudah kubilang, kau pembohong.” Sanjaya lalu melayangkan pandangannya ke arah anak-anak buah si Cebol. “Kalian…” Dia ingin bilang sesuatu, namun ditundanya. Dirogohnya saku jubahnya. “Pergilah kalian ke Niskantaka Loka. Bawalah ukiran kayu bergambar pohon beringin ini kepada Ki Ageng Ismaya. Bertobatlah, dan jangan berbuat jahat lagi.” Dia melemparkan benda yang digenggamnya ke arah mereka. Tapi, mereka tidak menjawab. Mereka masih terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Yang jelas, kini ikatan mereka sudah terlepas.
Sanjaya menoleh kepada Bejo, “Bejo, aku lapar. Ayo kita cari makan”. Bejo hanya mematung. Matanya terus menatap kepala Si Cebol. “Paman, mengapa kau lepaskan mereka? Mereka yang membunuh orang tuaku, bukan orang cebol ini.”