Apa itu Ilmu?

Apa itu Pengertian?

Saya ini programmer yang ilmunya cuma ampas dari Matematika. Matematika itu ilmu simbol dengan keteraturan yang hampir sempurna. Konsistensinya tak terbantahkan dan keruntutannya tidak bisa dipungkiri. Simpulan-simpulan matematika itu sesuatu yang pasti. Karena itu, saya pasti emosi jika suatu saat bertemu dengan orang filsafat. Belum juga mulai diskusi, dia bertanya, "Pengertiannya apa dulu?". Lalu saya mencoba menetapkan suatu pengertian. Ternyata, tidak berhenti sampai di situ. Dia bertanya, "kalau begini, masih masuk nggak?". Lima belas menit kemudian, pasti saya sudah minggat sambil mencak-mencak. Kena saya dikibulin sama orang filsafat.

Kata-kata filsuf yang bikin saya kesel tadi ada benarnya, tapi ya nggak gitu juga. Anda sudah bisa mengerti dua paragraf tulisan saya ini tanpa harus menetapkan pengertian masing-masing kata yang ada. Untuk setiap kata yang saya pilih, boleh jadi anda punya pengertian yang berbeda. Bahkan ketika kata-kata ini tersusun menjadi kalimat-kalimat dan paragraf-paragraf, anda tetap punya pengertian yang berbeda dari makna yang saya maksudkan. Tapi, itu jarang jadi masalah. Karena kita semua memakai akal sehat. Bahasa kerennya, "common sense". Saya dan anda sama-sama kira-kira. Dan kira-kiranya saya dan anda, biasanya sudah lumayan pas. Kita tidak perlu berdebat pengertian.

Tapi, saya mengamati bahwa pengertian menjadi penting ketika kita berada di pihak yang berseberangan. Pihak yang mendukung cenderung mengambil pengertian yang seluas mungkin. Sementara pihak yang menolak cenderung mengambil pengertian yang sesempit mungkin. Contoh yang gampang. Orang yang mencemooh dangdut membayangkan dangdut itu selalu dinyanyikan oleh biduan berpenampilan seksi dengan syair-syair bernuansa jorok. Orang yang mendukung dangdut selalu bawa-bawa Rhoma Irama. Ya nggak nyambung kan? Kadang-kadang memang ketidaknyambungan itu disengaja, hanya karena membela diri pengen menang. Tapi, kalau ditinjau dari sisi filsafat, debat seperti itu patut ditertawakan. Ngomong dua hal yang berbeda kok sampai berkelahi.

Ketika saya ngomong sama anda, maka sejatinya adalah saya berusaha mengirimkan suatu makna kepada anda. Sayangnya, saya ngomong sama anda harus melalui bahasa. Sayangnya, bahasa apapun tidak selalu bisa menangkap makna yang saya maksud dengan tepat. Misal, saya ngomong sama istri saya, "Airnya tolong dimatikan!". Istri saya dengan begitu yakinnya menutup keran di kamar mandi. Padahal, yang saya maksud itu pompa air, bukan keran. Karena itu, dibutuhkan klarifikasi agar jelas. Dibutuhkan keterangan-keterangan pendukung supaya tepat. Karena itu, di sini saya menulis dengan boros kata. Saya bukan penyair yang suka petak umpet makna dengan pembacanya.

Apa Itu Ilmu?

Ilmu adalah pemahaman terhadap sesuatu yang mempunyai tingkat kepastian yang tinggi. Saya tidak akan mendefinisikan ilmu sebagai pemahaman terhadap sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Tidak. Menurut saya, hakikat segala sesuatu itu tidak terlalu penting. Segala apa yang diketahui manusia itu terbatasi oleh inderanya. Entah inderanya itu diperluas dengan yang namanya teleskop, mikroskop, atau segala jenis-jenis pengukuran. Segala ilmu yang mungkin dimiliki manusia, pasti akan terbatas oleh apa yang bisa dia amati. Jadi, ya peduli amat soal hakikat. Kalau tidak bisa teramati, ya tidak usah dibahas dan dipikirkan. Anggap saja tidak ada.

Lalu, memiliki tingkat kepastian tinggi itu misalnya bagaimana? Ya, misalnya ilmu mekanika klasik. Dengan ilmu mekanika klasik, maka kita bisa membuat mobil dan kulkas. Ketika mekanika kuantum datang untuk menyanggah mekanika klasik, bukan berarti mekanika klasik runtuh. Kan, mobil dan kulkas masih ada? Artinya, mekanika klasik itu ilmu. Dia mempunya tingkat kepastian tinggi. Ada lagi ilmu yang nilai kepastiannya kalah tinggi dibanding mekanika klasik, tapi masih termasuk ilmu juga. Misalnya, ilmu nyetir mobil matic. Kalau ketemu mobil matic, disetir dengan ilmu nyetir seperti ini, pasti jalannya begini. Jadi, yang penting punya nilai kepastian tinggi. Mau itu ilmu yang cuma mencoba menjelaskan apa yang terjadi kayak Fisika ataukah itu ilmu rekaan manusia semisal Kalkulus ataupun C++, ndak masalah.

Dengan begini, ilmu sihir itu belum jadi ilmu. Minimal, ilmunya tidak terakui. Entah kalau besok ada sekolah sihir macam Hogwarts, nah baru deh sihir itu bisa ilmu. Kalau sekarang, sihir tidak bisa dipelajari dan dipertunjukkan dengan konsisten. Artinya, sihir memiliki tingkat kepastian yang rendah. Begitu juga ilmu ramal saham. Walaupun belajar puluhan tahun dengan teori segudang, kalau tidak bisa mempertunjukkan secara konsisten kepastian ilmu ramal saham, maka ramal saham tidak bisa disebut sebagai ilmu. Walaupun ramal meramal bisa jadi ilmu juga. Seperti misalnya, saya bisa meramal besok matahari terbit dari arah timur. Ilmu itu!

Jenis-jenis Ilmu

Ilmu itupun ada jenis-jenisnya. Dengan mengetahui jenis-jenisnya, kita jadi tahu mana ilmu pasti, mana ilmu setengah pasti, dan mana yang berkhayal. Berkhayal itu memahami sesuatu yang nggak bisa dipastikan. Misal, berkhayal kalau manusia dan alam semesta itu semuanya cuman mimpi kayak di Matrix. Bisa aja, tapi nggak bisa dipastikan. Makanya, nggak penting untuk dibahas. Ilmu itu yang pasti-pasti aja.

Ilmu inderawi

Dikatakan ilmu inderawi karena ilmu ini didapatkan melalui penginderaan. Apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan adalah ilmu inderawi. Begitu juga dengan kepanjangannya, misal penggaris, timbangan, teleskop, mikroskop, stetoskop, osiloskop dan segala sekop sekop yang lain. Mereka itu adalah alat ukur yang jauh lebih baik daripada indera asli kita, tapi tetap saja mereka cuma kepanjangan dari indera kita untuk mengetahui segala sesuatu melalui pengamatan.

Ada yang ngotot mengatakan kalau indera itu bisa salah. Contohnya, ketika orang memakai kacamata hitam, semuanya jadi terlihat lebih gelap. Atau, ketika tangan yang sudah dihangatkan dan tangan yang sudah didinginkan dicelupkan ke air bersuhu normal, tangan yang satu merasakan hangat sementara tangan yang lain merasakan dingin. Atau, yang paling jelas lah. Bagaimana dengan fatamorgana? Bagaimana dengan pensil yang patah ketika dicelupkan ke dalam segelas air? Artinya, indera kita tidak bisa dipercaya dong?

Ini adalah pemikiran orang-orang yang sok mutlak sok iyes tapi malah salah besar. Setiap cara pengamatan apapun akan memiki ketidaktepatan dan kemelesetan tertentu. Kalau kita ambil contoh tangan tadi. Coba saja tangan kita ditempelkan ke besi yang merah menyala. Pasti melepuh. Atau, didinginkan pake nitrogen cair. Langsung lumpuh. Itu tandanya panas dan dingin tetap ada. Cuma, tangan kita adalah alat yang jelek untuk mengukurnya. Itulah mengapa kita di dunia modern ini memiliki berbagai macam perpanjangan indera. Masalah jadul kayak gini tidak perlu dibahas lagi.

Saya akan bahas soal fatamorgana dan pensil patah di bagian lain. Kurang cocok kalau dibahas di sini.

Ilmu yang berasal dari berita

Kalo ilmu inderawi itu didapatkan dengan mengamati secara langsung, berita didapatkan dari orang lain. Karena didapatkan dari orang lain, maka nilai kebenarannya bergantung pada apakah orang lain itu bisa dipercaya. Kalo ada satu orang mengaku melihat alien, mungkin kita akan menertawakan dia. Kalau yang mengaku melihat itu 5 orang, kita mulai ragu-ragu apakah alien itu benar ada atau tidak. Kalau yang mengaku melihat itu ada seribu orang, maka kita akan langsung percaya bahwa alien itu ada.

Adalah hal yang bertentangan dengan akal jika kita ngotot kalau alien itu tidak ada sementara seribu orang mengaku melihat langsung. Apalagi kalau kita ngotot pake teori-teori sok ilmiah macam "histeria massal" atau apalah itu. Banyak orang mengalami, berarti kejadian itu bener. Titik.

Lain cerita kalo ternyata ada seratus ribu orang memberitakan hal yang sama, tapi setelah diusut mereka semua sumbernya cuma satu orang. Kita tetep bisa dapat ilmu dari ini. Yaitu, satu orang mengaku melihat alien. Itulah kebenarannya. Tapi, apakah satu orang ini benar-benar melihat alien atau tidak, tidak ada yang tahu.

Jadi, ngomong soal berita ini kita akan selalu menghadapi dua hal, kebenaran asal-usul berita tersebut dan kebenaran isi berita itu sendiri. Suatu berita yang benar asal-usulnya tidak berarti isi beritanya benar. Suatu berita yang asal-usulnya tidak jelas, bukan berarti isi beritanya tidak benar. Tapi, yang jelas berita tersebut tidak bisa dipercaya. Artinya, untuk menentukan kebenaran isi berita kita harus pakai cara lain.

Ilmu logika

Ini adalah ilmu yang semua orang langsung tahu tanpa perlu dibuktikan. Contohnya, bahwa bapak selalu lebih tua dari anaknya. Atau, lagi-lagi saya sebut, ilmu bahwa dua tambah dua sama dengan empat. Mau pake bahasa apapun dan pake sistem bilangan apapun, dua tambah dua ya empat. Kalo biner, ya 10 tambah 10 sama dengan 100. Itu cuma beda bahasa saja. Tapi, pada dasarnya sama saja.

Contoh lain lagi, biar lebih mikir. Kalo Igun itu sama dengan Wawan, dan Wawan itu sama dengan Tyo, maka Igun itu sama dengan Tyo. Gak jadi mikir? OK, kalo gitu satu lagi. Semuanya itu lebih banyak dari sebagian. Tunggu, tunggu dulu. Jangan marah dulu. Satu contoh lagi: dua jumlah yang sama ditambahkan dua jumlah lain yang sama akan menghasilkan dua jumlah lain lagi yang sama.

Ya begitulah. Ilmu ini kalo diterangkan malah jadi ngeselin karena saking jelasnya. Tapi, kalau kita membahas sesuatu yang mulai susah, menerangkan ulang hal-hal yang sudah terang benderang ini kadang perlu. Makin rumit masalah, hal yang terang jadi terasa remang-remang. Padahal, kalau mau dirunut dengan sabar, akhirnya ya ke situ-situ juga.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kita semua tanpa sadar memakai logika. Mau itu ketika ngoding, ketika belanja di pasar, bahkan juga ketika milih pacar. Ada orang yang tidak memakai logika sama sekali. Namanya adalah orang gila. Ada pula orang yang terlalu menghayati logika, sehingga omongan-omongannya menjauh dari akal sehat. Namanya, orang "gila" logika.

Kita bisa mendefinisikan logika dengan apapun, tapi akarnya akan sama. Orang yang berfikir bahwa dua ditambah dua sama dengan empat adalah orang yang punya logika. Orang yang berfikir bahwa orang itu tidak mungkin mati dan hidup sekaligus itu adalah orang yang memakai logika. Orang yang bisa menghasilkan kesimpulan yang sahih dari fakta-fakta yang tersedia adalah orang yang punya logika. Apa itu kesimpulan yang sahih? Ini contoh gampangnya. Semua manusia akan mati. Saya manusia. Saya akan mati. "Saya akan mati" adalah kesimpulan yang sahih. Semua manusia akan mati dan saya manusia adalah fakta-fakta yang tersedia. Sederhana bukan? Karena itu, orang yang menolak kebenaran logika adalah orang yang sesat. Pasti sesat. Atau, anggap saja gila juga boleh.

Jadi, logika ini sebenarnya tertanam secara alamiah di sebagian besar manusia. Nyatanya, setiap orang kalau dikasih soal-soal Matematika SD dan SMP, bisa menyelesaikan. Atau yang gampang aja deh. Kalo orang bisa jual beli di pasar, maka dia punya logika. Jadi, sebenarnya logika ini gampang sekali. Aneh kalau ada orang yang menolak logika.

Tapi, kadangkala memang kita ini perlu belajar logika secara khusus. Tujuannya cuma satu, supaya akal kita ini jernih dan tajam dalam mempertimbangkan berbagai masalah. Misalkan gini. Semua programmer itu pinter. Gunawan bukan programmer. Kalau anda menebak kesimpulannya adalah "Gunawan nggak pinter", maka anda salah besar. Ini salah satu alasan pentingnya belajar logika.

Contoh lain, ada pak dokter mewanti-wanti pasien-nya, "Sampeyan berhenti ngrokok ya. Paru-paru sampeyan bisa rusak". Si pasien menjawab, "Lha itu, pak dokter sendiri ngebul gitu". Ya sudah, dokternya dongkol gak bisa jawab. Pasiennya diusir. Tahun depannya, si pasien mati kena kanker paru-paru. Nah, ini, gara-gara gak belajar logika. Jadinya, nyawa melayang.

Mendayagunakan Ilmu

Menggabungkan Ilmu

Dalam praktiknya, ilmu-ilmu di atas lebih sering digabungkan. Saya beri satu contoh. Seorang pemuda menunjuk kepada lelaki setengah baya, "Ini anak saya". Kita ngomong sama dia, "Jangan bercanda!". Sejatinya, kita menggunakan indera untuk mengetahui bahwa ada dua orang, yang satu muda, yang satunya lagi tua. Kita mendapatkan berita bahwa "si tua adalah anak dari si muda". Kita menggunakan logika, "anak tidak mungkin lebih tua dari bapaknya". Kita mengambil kesimpulan, bahwa ini tidak mungkin terjadi. Pasti ada yang salah. Kita memutuskan, bahwa berita itu adalah bohong. Karena, indera jauh lebih mungkin untuk benar.

Beginilah yang namanya ilmu itu dibangun. Ilmu apa saja, mulai dari fisika, biologi, kedokteran, biologi, pertanian, peternakan, pokoknya sebut ilmu yang bisa disebut. Tapi, ilmu ini tidak mencakup seni lho ya. Kalau seni kan, hasil penilaiannya adalah bagus atau jelek, indah atau tidak indah, enak atau tidak enak. Kalau ilmu ini objektif, jadi nilainya adalah benar dan salah. Jadi, kita nggak ngomong cantik, tapi hidungnya mancung. Mancungnya seberapa, bisa diukur. Kita nggak ngomong enak, tapi kita ngomong asin. Asinnya seberapa, bisa diukur. Karena itu, masak itu gabungan seni dan ilmu. Nggak hanya ditakar bahan-bahannya dan dilakukan prosedurnya dengan benar, tapi juga dicicipi. Bukan ini ilmu yang saya maksud sekarang.

Persepsi bukan Ilmu

Nah, mari kita bahas soal pensil patah ketika dicelupkan dalam segelas air. Kita semua tahu, itu karena pembelokan cahaya dari udara melewati kaca dan air di dalam gelas. Akibatnya, batang pensil yang tercelup tidak nyambung dengan yang tidak tercelup. Di sini, indera kita tidak salah. Indera kita sudah bener. Yang salah adalah persepsi kita. Dengan informasi yang kita terima, kita membangun persepsi "pensilnya patah". Padahal itu salah. Sesuatu yang salah jelas bukan ilmu.

Begitu juga dengan fatamorgana. Perbedaan kerapatan udara membuat cahaya membelok. Harusnya gurun pasir yang tampak, malah terlihat seperti telaga yang memantulkan pemandangan langit. Lagi-lagi, bukan indera kita yang salah. Yang salah adalah persepsi kita. Pantulan pemandangan langit kita artikan sebagai telaga. Dan, begitu juga dengan tukang sulap yang menghibur dengan tipuan mata. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Mengapa Sesuatu yang Jelas Harus Dirumuskan?

Ini namanya klarifikasi. Anda mungkin merasa ini sudah jelas. Tapi, sebelum saya ngomong begini, saya ndak yakin kita punya pemahaman yang sama soal ilmu. Nah, sekarang karena pemahaman kita sudah kira-kira sama, kita bisa ngobrol ngawur ngalor ngidul tentang yang lain-lain.

Ada juga yang akrab dengan pembahasan ini, tapi menyebutnya dengan istilah-istilah yang lain. Tapi, saya tidak mau berpusing ria ngomong tentang sesuatu yang kita lakukan tiap harinya seolah-olah itu bahasan tingkat tinggi dari negeri antah berantah.

Ada pula yang tidak setuju dengan pembagian model saya. Ada yang menggabungkan antara ilmu yang benar dari sananya dengan ilmu inderawi misalnya. Karena, pada dasarnya mereka berdua tidak bisa diketahui kecuali dengan inderawi. Silakan, tidak masalah. Toh, intinya sama. Pada kenyataannya, penerapannya juga beda-beda tipis. Alur berpikir kita nggak akan jauh beda dengan berbedanya pembagian.

Nah, sebelum ada yang protes mengapa saya tidak memakai referensi, saya mau bilang kalau pake referensi justru tidak sah. Ini sesuatu yang kita lakukan secara alami setiap harinya secara hampir tanpa sadar. Jadi, cuma perlu diperjelas saja tanpa harus menyandarkan diri pada filsuf-filsuf sok pinter itu.