Lagi-lagi Soal Ilmu
Dalam bentuk-bentuk yang sederhana, ilmu itu memang kelihatan gampang dan gamblang. Tapi, kalau memang gampang, mengapa orang-orang masih ribut dan bantah-bantahan? Kalau ilmu itu memang cara mencapai kebenaran, mengapa banyak orang bertikai soal apa yang benar? Jawaban gampangnya, adalah karena kita beda soal apa yang benar bahkan sebelum mulai ribut. Juga karena kita salah dalam menggunakan logika kita. Manusia itu bukan komputer. Kesalahan logika itu umum terjadi. Paling tidak tiga kali sehari saya salah logika.
Beda soal apa yang benar ini panjang pembahasannya. Apa yang dialami seseorang itu beda dengan apa yang dialami orang lain. Beda pengalaman artinya beda beda pengetahuan yang masuk. Beda pengetahuan yang masuk, beda pula kesimpulan yang dihasilkan. Yaa, gampangnya cerita soal tiga orang buta mengenali gajah itu lah. Satu orang bilang panjang kaya tali, orang lain bilang besar dan bundar kaya pohon, orang terakhir bilang lebar dan tipis kaya teratai. Nah, saya ingin mengurai soal ini lebih lanjut.
Ilham, Mimpi, dan Hantu
Ilmu dari luar bisa didapatkan manusia melalui indera atau melalui berita. Tapi, ada juga orang yang mengaku dapat ilham. Tiba-tiba saja ilmu baru mampir di kepalanya. Ilmu ilham ini pada dasarnya sama saja dengan khayalan kalau tidak ada buktinya. Misal, ilham soal kejadian yang akan datang. Kalau apa yang terilhamkan itu terjadi, maka itu ilmu. Kalau tidak terjadi, maka itu bukan ilmu. Saya tidak menolak ilham. Saya besar di lingkungan di mana anomali terhadap kejadian alam kadang-kadang muncul. Tapi, saya tidak akan menerima ilham kalau tidak sesuai dengan ilmu-ilmu lain yang jauh lebih pasti.
Sayangnya, ilmu ilham ini nggak asyik karena tidak bisa diulang. Tidak seperti ilmu Fisika yang hampir selalu kejadian. Hanya karena seseorang sekali dapat ilham yang terbukti, maka tidak berarti bahwa ilham-ilham berikutnya bakalan benar juga. Bahkan, ada juga ilham yang tidak bisa dibuktikan. Misal, ilham bahwa di surga tidak ada hape dan internet. Atau, ilham bahwa saya itu adalah reinkarnasi dari Prabu Brawijaya. Mau dilacak bagaimanapun, bakalan susah itu.
Selain ilham, ada pula mimpi. Sebenarnya, mimpi itu ilham juga. Hanya saja datangnya pas kita lagi tidur. Seringnya, kalau mimpi ada ceritanya. Bahkan ada gambarnya juga kayak film. Kalau ilham itu bisa jadi nggak. Tahu-tahu kita ngerti gitu aja.
Lain lagi dengan hantu. Misal, ada orang yang setiap hari melihat gadis kecil di sampingnya. Tapi, tidak ada orang lain yang bisa melihatnya. Sebenarnya, kita bisa membuktikan apakah dia hantu beneran atau cuma kita yang schizophrenia. Schizophrenia artinya si anak kecil itu cuma ada di otak kita. Maka, dia hanya mungkin tahu apa yang kita tahu. Maka, kita bisa tanya si gadis kecil sesuatu yang kita tidak tahu. Sesuatu ini tentu saja mudah dicek kebenarannya. Kalau dia bisa menjawab dengan benar, maka gadis kecil itu memang hantu. Saya jadi penasaran, teman-teman gaibnya John Nash di film "A Beautiful Mind" itu hantu atau khayalan ya? Kita cuma tahu kalau mereka itu tidak tambah tua.
Kenapa saya tiba-tiba ngomong soal ilham dan hantu? Saya cuma ingin menunjukkan, bahwa sebenarnya ada hal-hal yang tidak bisa dicerap oleh indera manusia. Mau pake alat apapun! Dan, bisa jadi itu nyata. Dulu, orang tidak perlu percaya dengan sinar ultraviolet. Tapi, mau percaya mau tidak, sinar ultraviolet itu tetap ada. Begitulah kenyataan alam semesta. Apa yang kita tahu di alam semesta ini belumlah segala-galanya. Yang paling penting adalah kita jangan mengklaim adanya sesuatu kalau tidak ada buktinya. Kita ini ibarat orang buta yang meraba gajah. Apa yang kita raba itu betul adanya, tapi itu belum semuanya.
Sepasti Apakah Ilmu Pasti Itu?
Salah satu istilah generasi tua yang saya tidak suka adalah "ilmu pasti". Soalnya, yang dimaksud itu sebenarnya ilmu alam. Harusnya, mau itu ilmu alam ataupun ilmu manusia, kalau tingkat kepastiannya tinggi ya disebutnya ilmu pasti. Tapi, sebenarnya, ilmu pasti itu sepasti apa sih?
Sayangnya, setelah selama bertahun-tahun mengamati, ilmu yang pasti itu cuma matematika dan logika. Tapi, itupun ahli Matematika Pak Godel bilang kalau Matematika itu tidak bisa membuktikan diri kalau dia konsisten. Lantas bagaimana? Ya, sebenarnya tidak masalah. Ucapan Pak Godel itu tidak lantas membuat matahari jatuh ke bumi. Logika, matematika, dan hukum sebab akibat tetaplah yang paling pasti. Coba saja kita pengen menolak hukum sebab akibat. Bahwa segala yang terjadi belum tentu ada sebabnya. Runtuhlah kemanusiaan kita. Alias kita bakal jadi gila. Kita itu nggak bisa mikir sama sekali kalau nggak pake hukum sebab akibat.
Sekarang, kita lanjut pada alam semesta yang teramati. Ilmu alam yang diturunkan dari pengamatan semuanya adalah kebiasaan yang dirumuskan. Biasanya matahari terbit dari timur, maka itu jadi ilmu astronomi. Biasanya benda jatuh ke bawah, maka itu jadi ilmu gravitasi. Saking terbiasanya kita sama apa yang kita amati, maka kita menganggap yang bertentangan dengannya tidak masuk logika. Sebetulnya masih masuk-masuk saja, tapi hampir-hampir tidak mungkin karena kita tidak pernah melihat yang seperti itu.
Mari kita beranjak lebih jauh. Kita mau berfikir rada filsafat dikit, untuk menunjukkan betapa gilanya mereka dan betapa warasnya kita. Saya melihat istri saya tidur di kamar. Lalu saya keluar kamar untuk ke toilet. Ketika saya masuk lagi ke kamar, saya melihat perempuan yang mirip banget sama istri saya. Tapi, saya tidak yakin kalau itu istri saya yang sama dengan sebelum keluar kamar tadi. Gila kan? Orang filsafat itu suka berfikir sampai ke pojokan-pojokan yang tidak masuk akal. Soalnya, mereka itu ngotot mencari hakikat segala sesuatu. Ya nggak bisa, manusia itu cuma mampunya segini.
Terakhir, ada ilmu berita. Kalau ini, rada lebih gampang. Kebenaran berita itu bergantung dua hal, yaitu apakah isinya benar dan apakah asalnya benar. Sayangnya, dua-duanya nggak saling berhubungan. Berita yang benar bisa jadi asal-usulnya tidak benar. Berita yang tidak benar bisa jadi asal-usulnya benar. Misalnya begini, Pak Bejo bilang anaknya mati bunuh diri. Itu asli, wong Pak Bejo sampai bilang sendiri di TV. Tapi ternyata, pembantunya melihat kalau anaknya ternyata mati dibunuh Pak Bejo sendiri. Nah, si pembantu ini sudah jelas tahu mana yang benar. Soalnya, dia melihat sendiri. Melihat sendiri itu selalu lebih pasti daripada cuma mendengar berita. Apalagi melihat rame-rame, itu lebih pasti lagi. Nah, kalau kita tahunya cuma berita, maka kita pada akhirnya hanya bisa yakin kalau berita ini asal-usulnya benar. Kita tidak tahu apakah beritanya sendiri juga benar.
Tapi, menolak berita termasuk kategori gila juga. Misal, menolak kalau presiden pertama Indonesia itu Soekarno. Atau, menolak keberadaan sebuah kota bernama Salatiga. Atau, menolak berita bahwa mantan kita sudah menikah dengan pria yang lebih kaya. Itu makin jelas lagi gilanya.
Kalau kita melempar koin, maka kemungkinannya ada dua, angka atau gambar. Dibilang bahwa probabilitas munculnya angka adalah setengah. Tapi, lemparkan koin seribu kali. Apakah kita bakalan mendapatkan tepat 500 kali angka? Kemungkinan besar justru tidak. Inilah probabilitas. Tidak tepat memang, tapi bisa jadi cara yang masuk akal untuk menebak masa depan yang tidak pasti.
Probabilitas itu satu dari sekian banyak cabang statistika. Dengan statistika inilah kita jadi bisa menghitung tingkat kepastian sesuatu dengan angka. Tapi, ingat bahwa statistika ini sering sekali mengukur hal yang salah. Atau, justru sengaja disajikan dalam bentuk yang menyesatkan. Walau demikian, tetaplah statistika ini penting. Percobaan-percobaan ilmu alam itu butuh ilmu statistika. Ya, paling tidak untuk menghitung nilai rata-rata suatu konstanta dari sekian kali percobaan.
Antara Orang Berakal dan orang Berilmu
Saya sering kali menggunakan istilah yang mirip-mirip, logika, matematika, akal, dan ilmu. Tapi, pada dasarnya saya pengen menjelaskan satu hal saja, yaitu berfikir yang benar. Artinya, berfikir yang menghasilkan kesimpulan yang paling mendekati kebenaran. Caranya sederhana, yaitu dengan cara mengikuti yang lebih pasti di atas yang tidak pasti. Mengapa jadi orang berakal itu penting? Ya, karena, siapa yang tidak ingin benar? Manusia itu pada dasarnya pecinta kebenaran. Sudah jelas salah pun dia bakalan tidak terima kalau dibilang salah.
Berakal itu beda dengan berilmu. Berilmu itu artinya tahu. Orang yang hafal bagian-bagian anatomi tubuh manusia itu orang berilmu. Orang yang mengerti macam-macam obat dan akibatnya bagi tubuh manusia itu orang berilmu. Orang yang bisa nyetir mobil itu orang yang berilmu. Sementara akal, adalah soal bagaimana dia memanfaatkan ilmu-ilmu yang dia punyai.
Contohnya begini. Saya mau pergi ke rumah Wawan. Rumah Wawan di pelosok Bantul, sementara rumah saya di pusat keramaian Sleman. Jalan menuju rumah Wawan ada dua, langsung menerobos kota Yogyakarta, atau melalui jalan lingkar yang memutari kota Yogyakarta. Orang yang tidak berilmu, tidak tahu sebesar apa kota Yogyakarta. Bisa jadi dia menganggap bahwa kota Yogyakarta itu cuma sebesar Klaten. Langsung saja terobos kotanya, toh cuma macet sebentar. Orang berilmu, tahu kalau Yogyakarta itu besar dan banyak perempatannya. Orang berakal yang berilmu akan memilih melewati jalan lingkar, apalagi jika dia naik mobil yang nyaman digunakan dalam kecepatan tinggi.
Lalu, bagaimana orang berakal yang tidak berilmu? Ini susah memang. Katakanlah dia cuma punya ilmu sedikit saja. Bahwa menerobos kota berpeluang macet, lewat jalan lingkar jelas lebih jauh tapi berpeluang lebih cepat. Bagi orang yang tidak berilmu, semuanya remang-remang. Mau berfikir sekeras apapun, kalau tidak punya ilmunya, akan susah menghasilkan keputusan yang benar. Keputusan terbaik bisa jadi melewati jalan melingkar. Di banyak kota, melewati jalan melingkar bisa lebih cepat karena menghindari macet. Tapi, ada cara yang lebih baik. Kita bisa tanya sama ahlinya, yaitu sama Google Maps. Ada yang bilang, ah Google Maps itu nggak selalu benar. Goblok! Antara Google Maps dan asumsi dia, mana yang lebih mendekati kebenaran?
Iya, lawannya berakal itu goblok. Goblok itu terjadi kalau orang memilih yang tidak pasti padahal dia tahu ada yang lebih pasti. Padahal, bisa jadi orang goblok ini ilmunya banyak. Misal, jika ada sarjana kedokteran lebih percaya sama dukun. Atau, kalau ada sarjana Fisika yang percaya kalau bumi ini datar. Mungkin kita akan merasa janggal. Tapi, ini nyata saudara-saudara!