AccelByte Terlalu Baik untuk Saya
Sudah enam bulan lebih saya meninggalkan AccelByte. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Harusnya, apa yang saya dapatkan itu sudah lebih dari cukup. Punya pekerjaan di kampung halaman, dekat dengan orang tua, punya rumah di dekat jalan lingkar, apa lagi yang kurang? Memang, sepanjang karir saya, masa-masa di AccelByte adalah masa yang paling nikmati. Saya merasa menjadi diri sendiri seutuhnya. Seakan-akan, tinggal menggelinding saja tahu-tahu tiap bulan uang datang sendiri. Akan tetapi, saya merasa ada yang kurang. Saya merasa tidak menggunakan seluruh bakat, kemampuan, dan pengalaman saya. Saya ada di comfort zone.
Gelombang Pertama Perubahan
Di blog saya yang lain, saya berkali-kali bercerita soal burnout di perusahaan di mana saya bekerja paling lama. Sebenarnya, burnout itu salah saya juga, karena tidak memelihara kesehatan jiwa ketika saya bekerja. Tapi, bagaimana lagi? Saya memang terlambat belajar programming. Baru semenjak semester satu kuliah saja saya mulai belajar. Akan tetapi, saya sudah terlanjur jatuh cinta. Itulah mengapa sebelum burnout, saya selalu memperturutkan hawa nafsu saya ketika bekerja. Akibatnya, tidak hanya extra mile, bahkan extra 10 miles pun saya lakoni. Suatu saat, saya kelelahan. Saya mengusahakan yang terbaik, tapi salah arah. Saya merasa usaha saya tidak dihargai, dan saya merasa semua yang saya lakukan dengan susah payah adalah kesia-siaan. Mungkin karena pada dasarnya saya dan perusahaan sejak dahulu beda filosofi, tapi karena saking pintarnya saya, maka saya selamat selama bertahun-tahun. Yah gimana lagi, namanya kerja sama orang, kita harus berkompromi. Tidak bisa seratus persen sesuai keinginan kita.
Perusahaan saya yang ini punya gaya mereka suka berfikir yang besar-besar, yang radikal, tapi tidak suka untuk berfikir fundamental dan incremental. Mereka tidak suka detail, mereka suka dengan konsep dan prototype. Mereka melupakan production quality. Mereka melupakan maintainability. Pernah, beberapa bulan saya memegang sebuah produk yang saat itu menjadi cash cow dari perusahaan. Produk ini penuh dengan technical debt, sehingga untuk menambahkan satu fitur kecil saja, saya harus jungkir balik keluar keringat lima kali lebih banyak dari yang seharusnya. Itu sembilan tahun lalu, entah sekarang. Mungkin sudah rapi, bersih, dipoles pake pelitur sehingga kinclong. Wajar kalau saya dianggap tidak perform di sini. I hate the code base so much. Akhirnya, saya dipindah ke divisi lain setelah itu.
Di kali yang lain, kira-kira empat atau lima tahun lalu, saya ditugaskan meneliti sebuah mekanisme mekanika fluida di tataran mikroskopik. Di situlah, saya belajar bahwa tegangan permukaan itu punya pengaruh yang signifikan jika dibandingkan dengan tekanan. Ada juga pengaruh temperatur. Saya sangat semangat. Saya belajar mulai dari dasar, mulai dari first principle. Setiap hari, saya menulis diary tentang apa yang saya pelajari hari itu. Hampir saja saya menyentuh persamaan Navier-Stokes, tapi tiba-tiba keterlibatan saya dihentikan. Lagi-lagi, saya dianggap terlalu lama, sementara kita butuh deliver secepat mungkin. Akhirnya, produk ini diselesaikan dengan berbagai macam teknik akrobat yang tidak jelas maksudnya apa. Solusinya tidak fundamental. Saya menduga keras bahwa solusi ini rapuh dan susah ditingkatkan. Bagaimana tidak? Mereka tidak mengerti mengapa solusi ini jalan pada awalnya, bagaimana lagi mau ditingkatkan? Memang gaya perusahaan ini adalah sebuah paradoks. Mereka suka berfikir besar dengan ide-ide radikal, tapi tidak mau menganalisis secara radikal juga. They want to change the world, but they don’t want to know how the world works. It doesn’t seem to make sense to me.
Terakhir kali saya mengambil arah yang tidak sesuai perusahaaan, adalah ketika saya mengerjakan sebuah green field project. Kali ini, saya akui memang saya yang salah. Perusahaan tidak suka ketika saya membuat library atau framework baru untuk mempermudah pekerjaan kami. Untuk itulah, saya menyelipkannya ke dalam project. Saya membuat dua hal sekaligus. Yang pertama saya mengembangkan HAL untuk keluarga mikrokontroler yang kami pakai. Karena, seperti biasa contoh-contoh dari vendor busuk semua. Saya ingin teman-teman memprogram aplikasi dan tidak bersusah payah dengan mengutak-atik driver ketika besok-besok kita mengembangkan aplikasi baru. Yang kedua saya membuat UI yang autogenerated, hanya karena saya tidak mau mengetik satu demi satu secara manual setiap perintah yang dikirimkan ke alat, untuk setiap alat yang ada. Maksud saya, saya tidak mau buat beginian lagi di masa depan. Cukup buat sekali saja, untuk selamanya. Saya salah perhitungan. Usaha yang dikeluarkan terlalu banyak dibandingkan dengan target yang harus dicapai. Untuk pertama kalinya, saya dimarahi oleh atasan saya.
Berkali-kali ketidakcocokan ini sebenarnya sudah terjadi, tapi saya tetap bertahan. Saya serasa melawan arus dengan idealisme saya. Tiga contoh tadi adalah idealisme di bidang engineering. Ada juga idealisme di bidang sumber daya manusia. Saya penganut meritokrasi waktu itu. Saya mengusulkan sebuah sistem yang mencoba memberikan kompensasi yang adil sesuai dengan performa dan kompetensi engineer. Tapi, ternyata sistem yang ada waktu itu (entah kalau sekarang) terlalu mengandalkan tawar menawar dari sisi yang ekstrem. Selama bertahun-tahun, saya meloloskan banyak orang. Akan tetapi, saya selalu menolak setiap kali mereka meminta gaji yang tidak proporsional jika dibandingkan dengan rekan-rekan yang sudah ada. Saya tidak masalah jika ada orang yang gajinya jauh lebih tinggi dari saya. Akan tetapi, dia harus bisa menunjukkan kalau dia layak mendapatkan hal itu. Sepertinya, hal ini tidak disukai oleh divisi SDM di perusahaan. Mungkin, mereka akan menilai saya sebagai orang yang tidak kooperatif. Betul, saya salah di sini karena saya bertindak tidak sesuai kepentingan perusahaan. Akan tetapi, ya gimana lagi, waktu itu saya masih terlalu idealis.
Di titik ini, saya adalah orang yang menyukai persaingan. Ini sesuai dengan budaya perusahaan yang mengedepankan tanggung jawab pribadi. Tentu, saja, tetap ada yang namanya kerja sama tim. Akan tetapi, pada akhirnya penilaian akan sumbangish pribadi yang lebih berperan, dan bukannya soal musyawarah yang menghasilkan keputusan bersama yang menghasilkan produk yang lebih bernilai. Persetan dengan added values, yang penting personal goals. Perusahaan tampaknya mulai menyadari hal ini, sehingga mereka memecah sasaran pencapaian menjadi dua, yaitu pencapaian pribadi dan pencapaian bersama. Ini lebih baik, akan tetapi masih tetap kental dengan nuansa persaingan dan tanggung jawab pribadi.
Di sinilah saya kemudian merasakan burnout. Aspirasi saya masih tinggi, tapi segala usaha yang saya keluarkan tidak bisa mencapai hasil yang optimal. Saya seperti mencoba berlari di atas lumpur, berat dan susah untuk maju. Saya merasa mampu untuk melakukan jauh lebih baik dari ini. Tapi, entah mengapa saya tidak bisa maju. Bahkan, untuk sekedar berangkat ke kantor pun enggan. Tapi, saya ingin mencapai sesuatu. Saya butuh pengakuan.
Tiba-tiba saja, saya tersadar. Meritokrasi, persaingan, tanggung jawab pribadi, dan perasaan “saya layak mendapat semua ini” semuanya itu tidak ada artinya. Semua yang saya kerjakan, baik dengan sungguh-sungguh atau asal-asalan, tidak ada artinya. Semua pemikiran mendalam saya, baik ketika dalam kondisi prima maupun dalam kondisi tidak prima, tidak ada gunanya. Saya kemudian berfikir, bahwa pekerjaan saya itu tidak penting. Perusahaan tidak penting. Semua aspek yang saya jadikan pegangan dalam meniti karir akhirnya runtuh. Mulai saat itu, yang penting bagi saya adalah bagaimana saya bekerja dan bagaimana saya bergaul dengan rekan-rekan kerja saya, baik di dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Mereka ini ibarat tetangga kita, bahkan lebih dekat dari itu. Mereka bersama kita selama delapan jam setiap hari, waktu terpanjang dalam potongan-potongan hari kerja kita.
Di akhir masa kerja saya di perusahaan itu, saya mengkampanyekan work life balance. Saya menggarisbawahi fakta bahwa lembur membuat orang kelelahan dan berbuat lebih banyak kesalahan daripada waktu normal. Ketika kita lembur, maka kita sebenarnya sedang menulis bug, bukan menulis fitur. Ketika kita lembur, seakan-akan IQ kita turun 20 poin. Saat inilah saya memutuskan bahwa work life balance menjadi prinsip utama saya dalam melakukan pekerjaan saya. Saya pernah mengalami chronic burnout dan tidak akan mau mengalaminya lagi.
Kembali ke Taman Bermain
Kalau saya diminta menceritakan AccelByte, maka saya akan menjawab bahwa AccelByte itu seperti taman bermain. Ini bukan berarti bahwa bekerja di AccelByte itu gampang, jangan salah. AccelByte itu bekerja dengan kecepatan tinggi dengan menggunakan teknologi terbaru untuk menyelesaikan masalah-masalah menarik di industri game. Akan tetapi, harus saya akui bahwa kerja di AccelByte itu terasa alamiah bagi saya. Memang saya harus bekerja keras setiap harinya, tapi saya tidak harus berfikir hal-hal yang saya tidak mau fikirkan. Setiap ada keputusan bisnis, saya tidak mau berfikir. Saya akan selalu lempar ke atas. Jabatan saya turun, tanggung jawab lebih kecil, tapi gaji tetap. Siapa yang tidak suka seperti itu?
Satu hal yang membuat saya betah di AccelByte adalah “I feel like I am among friends”. Tidak ada ngotot-ngototan di sini, karena semua mencari kebaikan bersama. Tidak ada sasaran pencapaian pribadi, karena yang penting adalah sasaran pencapaian kelompok. Jika ada masalah, pihak manajeman pasti menanggapi. Entah setuju atau tidak setuju, mereka mempertimbangkan dengan serius setiap masukan yang datang. AccelByte percaya dengan the best tool for the job. Karena itu, fasilitas yang diberikan untuk tim engineering biasanya selalu lebih dari cukup. Mereka juga percaya dengan agile, bukan karena fanatik tapi karena itulah satu-satunya cara yang mereka tahu untuk melakukan peningkatan produk secara cepat dan rutin. Memang sih, masih banyak masalah dalam penerapannya. Akan tetapi, budaya mereka yang terbuka terhadap kemajuan dan perubahan membuat AccelByte menjadi perusahaan yang manajemennya paling bagus di antara perusahaan-perusahaan lain di mana saya pernah kerja di dalamnya. Jauh bedanya dengan yang lain, mungkin satu atau dua tingkat di atas pesaing terdekatnya.
Di sisi engineering, yang membuat saya suka dengan AccelByte adalah mereka beriman terhadap technical debt, sementara perusahaan sebelumnya kafir terhadapnya. Karena itu, sering sekali terdengar kata-kata refactor to move faster, walau kadang-kadang salah kaprah. Refactor itu seharusnya tidak mengubah interface, akan tetapi yang sering terjadi di sini API sering berubah karena API yang lama dipandang tidak mencukupi. Padahal, tadinya itu cuma gara-gara penamaannya yang sembrono saja. Mereka juga percaya dengan test driven development dan CI/CD. Itu berarti, mereka menganggap kualitas adalah masalah serius dan bukan tanggung jawab SDET dan QA saja. Developer harus punya automated tests, SDET juga harus ada. Setelah itu, masih ada tes frontend yang dilakukan oleh QA. Bayangkan, tiga lapis pengujian. Hebat kan?
Yang paling saya suka dari AccelByte adalah penguasaan masalah di bidang yang mereka kerjakan, dan kerennya lagi masalahnya itu lumayan unik. Niche kalau istilah bulenya. Jika saya menilai suatu perusahaan sebelum bergabung ke dalamnya, saya selalu memperhatikan masalah ini. Selain penguasaan masalah, yang kedua adalah niat baik dari top management. Tanpa ada niat baik, maka semua apa yang kita usahakan ibarat melawan arus yang deras. Pada akhirnya, kita akan kelelahan dalam keadaan tidak mendapatkan hasil apa-apa. Memang yang namanya niat baik itu sangat susah dinilai, tapi akan kelihatan dari kebijakan-kebijakan perusahaan yang dikeluarkan. Atasan kita boleh ngomong apapun, tapi dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, kita akan bisa melihat benang merahnya. Makanya, kadang-kadang kita bisa tertipu. Tapi, itu gunanya masa percobaan bukan? Niat baik dan penguasaan masalah tidak cukup untuk membuat perusahaan itu jadi baik. Boleh jadi, bakalan ada banyak masalah di sana sini. Akan tetapi, bagi saya pribadi, asalkan punya dua itu, perusahaan itu bisa saya toleransi. Saya bakalan bisa betah lama di sana.
Sebuah Pemicu Takdir
Suatu saat, di pertengahan Januari tahun 2020, Pak CEO AccelByte mengumumkan kabar mengejutkan. AccelByte sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga perlu pengetatan anggaran. Beberapa benefit yang tadinya dengan nyaman dinikmati, kini ditiadakan. Tim dari negeri seberang dipangkas dan disisakan satu orang saja. Saya ketakutan. Lebih takut daripada ketika di kantor sebelumnya, ketika tiba-tiba semua karyawan tetap dialihkan menjadi karyawan kontrak atau karyawan tetap dengan gaji tetap sebesar UMK. Saya tahu, bahwa tidak seharusnya saya takut. Teman saya yang sepuluh tahun bekerja di LG dengan nyaman dan santai, akhirnya terpaksa harus pindah karena kantor LG tutup. Kenalan saya yang lain yang tadinya kerja di Singapura di perusahaan hard disk, terpaksa harus pulang ke Indonesia karena di-layoff. Soal takdir, tidak ada yang tahu. Seharusnya, saya tidak boleh takut.
Tepat di saat pengumuman Pak CEO itulah, sebuah pesan masuk di LinkedIn saya dari sebuah perusahaan yang saya cuma pernah dengar namanya ketika dulu mengerjakan Wimax. Hariff namanya. Saya menanggapi pesan ibu dari Hariff tersebut, dan saya mengikuti wawancara sebanyak dua kali. Satu kali melalui Zoom, yang kedua saya datang ke Bandung, di suatu hari di akhir bulan Januari. Hariff memberikan tawaran yang lebih baik daripada AccelByte. Bahkan setelah dipotong biaya tinggal di sini, istri saya masih bisa menabung untuk sekolah anak-anak kami dan main saham. Duapuluh Maret 2020 menjadi hari terakhir saya di AccelByte. Kantor sepi, karena wabah COVID-19 baru saja meledak dan mulai pekan itu, semua karyawan AccelByte kerja dari rumah.
Memburu Mimpi Ikigai
Sudah sejak lama saya menginginkan Ikigai. Tapi, dulu saya tidak punya kata yang tepat untuk ini. Sebelum ke AccelByte, saya punya empat keinginan. Saya ingin punya pekerjaan yang saya kuasai dengan baik. Saya ingin punya pekerjaan yang sekaligus bisa bermanfaat bagi orang banyak. Saya ingin punya pekerjaan yang saya tidak pernah merasa kekurangan dengan gaji yang saya dapatkan. Tentu saja, saya ingin mengerjakan sesuatu yang benar-benar saya cintai. AccelByte lumayan mendekati dari sisi “something you love”, “something you good at”, dan “something you can be paid for”.
Akan tetapi, untuk saya pribadi, Hariff lebih mendekati Ikigai. Latar belakang saya adalah embedded systems. Jika saya pindah ke Hariff maka saya kekuatan saya akan lebih termanfaatkan dengan baik. Barang-barang yang dikerjakan di Hariff adalah produk-produk riset dengan judul-judul yang asyik. Battlefield Management System, Command and Control System, Network Monitoring System, dan Waste Management System adalah beberapa di antaranya. Saya bisa menyentuh C#, C++, Java, Javascript, Backend, Frontend, Desktop, atau apapun yang saya mau. Produk-produk Hariff memang bukan produk-produk untuk kebutuhan primer, akan tetapi, keberadaannya jelas manfaatnya. Bahkan, kalau kita bicara soal industri pertahanan, sangat vital. Setidaknya, itu bayangan saya ketika akan bergabung dengan Hariff.
Keuangan yang seret di AccelByte waktu itu (sekarang katanya sudah lancar kembali) hanyalah alasan pemicu saja. Itulah yang mendorong saya berangkat ke Bandung untuk melakukan wawancara. Akan tetapi, setelah itu, saya punya banyak waktu berfikir. Saya punya kesempatan untuk berkonsultasi dengan orang tua saya dan istri saya. Tadinya saya sedikit berharap bahwa istri saya akan mengatakan, “Ayah tidak usah pergi”. Tapi ternyata dia bilang, “Nggak papa, kita jadi punya tabungan”. Saya hanya bisa mengelus dada. Jujur, selama menikah saya tidak pernah merasakan kekurangan. Mulai dari pertama menikah hingga di AccelByte, gaji saya berhasil naik hingga 4 kali lipat atau lebih sedikit. Saya tidak merasakan perubahan apa-apa. Istri saya yang merasakan. Saya dari dulu ya begitu-begitu saja. Jadi, uang bukan masalah paling penting di sini walaupun juga turut berperan.
Alasan sebenarnya, di AccelByte saya merasa produktif tapi juga merasa dibatasi. Saya bisa berpendapat, tapi tidak bisa mempengaruhi keputusan. Saya bekerja keras, tapi saya merasa bisa melakukan lebih dari ini. Ini kebalikan dari perusahaan saya sebelumnya. Di perusahaan sebelumnya, rasanya ibarat naik ke Kaliurang pake motor Honda C70. Mungkin, bisa saja dipaksakan, tapi dengan bau gosong yang menyeruak di sepanjang perjalanan. Di AccelByte, mungkin serasa naik motor digas habis tapi cuma boleh pakai gigi satu. Sebenarnya, di AccelByte saya melakukan kesalahan yang sama persis dengan di perusahaan sebelumnya. Saya terlalu lama bergelut dengan sesuatu yang nilainya sedikit bagi perusahaan. Saya menikmatinya, dan saya sebenarnya merasa produktif. Tapi, lagi-lagi tampaknya bukan itu yang diinginkan AccelByte. Itulah mungkin mengapa saya kembali dipindah ke tim yang tinggal ngegas saja. AccelByte memang menganggap kualitas itu hal penting, tapi penguasaan masalah mereka sudah cukup bagus sehingga berbisnis dengan mengedepankan development saja sudah cukup, tanpa harus bersusah-susah melakukan research ini itu. Atau, cara research saya lagi-lagi tidak disukai. The fundamental way is not for the impatients. Tapi nggak papa. Untuk ukuran motor yang digas habis pakai gigi satu, itungannya saya overpaid. Saya tidak keberatan. AccelByte terlalu baik untuk saya.
Gelombang Pembersihan Jiwa
Rangkaian perjalanan karir saya mengajarkan banyak hal. Ketika saya di Bandung pertama kali, pelajaran paling berkesan adalah bagaimana kita harus secara giat mendengarkan pendapat orang lain, sekalipun posisinya lebih rendah dari kita atau dia jauh lebih muda dari kita. Ketika beranjak dari Bandung, saya belajar dua hal penting, bahwa kerjasama lebih penting dari pencapaian individu dan bahwa semua prestasi kita itu sebenarnya semu, yang nyata adalah kerja keras kita dan bagaimana menghiasinya dengan hubungan yang baik dengan rekan kerja yang lain. Di AccelByte, saya belajar berhenti untuk menjadi orang lain dan mengenal arti gotong-royong yang sesungguhnya.
Di sini, saya jadi punya banyak waktu untuk berfikir. Betul bahwa kita harus berhenti untuk menjadi orang lain. Tapi, itu tidak berarti bahwa kita harus mengumbar hawa nafsu, seperti yang bebas saya lakukan di AccelByte. Mengumbar hawa nafsu, ibarat menghentikan kayuh sepeda di jalanan yang hanya menanjak tiga derajat. Lama kelamaan sepeda kita akan berhenti, dan kita akan terjatuh. Untuk mengeluarkan semua bakat dan kemampuan kita, kita harus terus mengayuh. Kita harus secara sadar dan giat mengendalikan diri dan mengarahkan hidup kita. Ini adalah perjuangan berat di mana saya harus terus menerus berusaha menyeimbangkan akal, jiwa, dan raga saya. Untuk itulah saya bertekad menjadi seorang digital minimalist.
Lalu, bagaimankah dengan Ikigai? Ketika berpindah ke Bandung, saya memang mendapatkan Ikigai yang saya inginkan, tapi saya juga mendapatkan lebih dari itu. Saya menemukan arti Ikigai yang sebenarnya, the true reason for being. Diagram di atas memang menggambarkan pandangan orang Jepang tentang alasan mereka “mengada”. Akan tetapi, saat ini alasan saya “mengada” lebih tinggi dari itu. Muluk-muluk memang, karena itu saya bilang hidup mengajarkan saya banyak hal. Soal apakah ajaran-ajaran itu kemudian menyatu dalam tindakan-tindakan saya, itu soal lain. Soal ini, saya memang harus banyak-banyak berlatih.
Mengapa Hariff Lebih Baik dari AccelByte
Inilah beberapa hal yang membuat saya lebih menikmati waktu saya di Hariff daripada di AccelByte:
-
Saya Tidak Suka WFH
Remote working bagi saya adalah hambatan produktivitas bagi tim. Bagi saya, jauh lebih banyak masalah yang bisa diselesaikan dengan komunikasi timbal balik tatap muka. Cepat dan efisien. Ketika saya tidak bisa bertatap muka dengan rekan kerja saya, maka saya merasa kehilangan setengah hari hanya untuk sekedar berkoordinasi dengan dia. Hariff tidak ada WFH. Saya hepi.
-
Saya Tidak Suka Slack
Slack sebenarnya cuma chatting platform biasa yang dibatasi oleh lingkungan kantor. Akibatnya, semua psikologi chatting jaman modern berlaku. Memang orang boleh bilang kalau Slack itu bisa saja dianggap sebagai email yang asinkron, tapi nyatanya bukan begitu cara orang biasa berurusan dengan chat. Katakanlah, ada teman dekat kita yang whatsapp. Ada notifikasi muncul, maka kita pasti tergerak untuk melihat dan membalas saat itu juga.
Kalaupun saya terpaksa harus memakai Slack, maka saya hanya akan menginstal di komputer kerja saja, dan akan saya matikan ketika saya selesai kerja (misal, ketika main FIFA). Kalaupun saya terpaksa menginstal Slack di HP saya, maka saya akan matikan semua notifikasinya ketika saya pulang kerja. Juga, kalau ada pesan whatsapp dari manajer saya di akhir pekan, saya tidak akan membalasnya hingga hari Senin pagi.
-
Saya Bebas Belajar Apa Saja
Selama enam bulan lebih di Hariff, saya belajar apa yang dulu tidak pernah sempat untuk saya pelajari. Saya belajar memakai Netty dan manual memory management-nya secara baik dan benar. Saya belajar untuk menerapkan Actor pattern ketika membangun backend service. Saya juga mendalami dan mempraktikkan MVVM ketika membangun aplikasi desktop. Bahkan saya juga sempat baca-baca sebentar materi-materi mobile ad-hoc network dan vehicular ad-hoc network. Saya hampir menyentuh materi mesh network, tapi belum sempat. Juga, saya akhirnya mengerti SNMP itu apa dan cara pakainya bagaimana. Bahkan, seandainya kapasitas otak saya memadai, saya hampir saja mengimplementasikan TDMA langsung dengan tangan saya.
-
Saya Bisa Mengasah Kemampuan Perancangan Saya
Di antara hal yang sering mengganggu saya di AccelByte adalah, seringkali demi mengejar fast delivery, API suatu backend service jadi menjengkelkan dan arsitekturnya bikin geregetan. Di AccelByte, saya cuma bisa berkoar-koar kalau API-nya busuk ataupun arsitekturnya berantakan, tanpa bisa berbuat apapun secara nyata. Di Hariff, orang-orang yang sakit kepala melihat arsitekturnya, karena saya yang merancangnya.
-
Saya Kembali Mengasah Kecerdasan Emosional Saya
Saya adalah orang yang tidak peka. Orang yang tidak peka itu tidak mungkin punya kecerdasan emosional yang tinggi. Ibaratnya, ingin jadi koki terkenal tapi lidahnya mati rasa. Akan tetapi sebodoh-bodohnya seseorang, kalau diasah pasti akan jadi lumayan lah. Lagi-lagi, sebagaimana orang Palembang yang sangat pemilih terhadap pempek atau sebagaimana orang Malang yang selalu bilang tidak ada bakso yang lebih enak dari bakso Malang. Bagi saya, kemampuan memahami orang lain adalah bagian dari life skill yang harus saya kuasai, betapapun bodohnya saya.
-
Saya Bisa Bertemu Langsung dengan Klien
Minggu lalu, saya bertemu dengan seorang klien. Dia menceritakan masalah-masalah apa saja yang dihadapi ketika menggunakan sistem yang lama. Teman saya juga saat ini tengah menyiapkan User Test Plan, untuk mewawancarai secara kualitatif kendala-kendala apa saja yang dihadapi mereka ketika menggunakan produk kita. Memahami permasalahan pengguna langsung dari sumbernya membuat saya menjadi lebih percaya diri ketika merancang solusi yang lebih kaya untuk mereka.
-
Saya Suka Gaya Riset Hariff
Saya berkesempatan beberapa kali bertemu dengan CTO Hariff (kalau di sini disebutnya Direktur Teknik). Beliau adalah orang yang benar-benar menyelesaikan masalah dengan mempelajari mulai dari akarnya. Karena itu, sebelum berdiskusi dengan beliau, pastikan bahwa kita memiliki pemahaman yang mendasar juga tentang hal yang akan kita bahas. Pemahaman apa adanya dan setengah matang akan membuat kita dikritisi habis-habisan, bahkan sebelum kita sempat minta pendapat ke beliau. Beliau juga adalah jenis engineer yang untuk merancang sistem bisa saja butuh sebulan, tapi untuk menuliskannya ke dalam program cukup seminggu saja. Saya akhirnya kembali punya teladan yang bisa jadikan alasan dan bisa saya tiru. Sekilas, metode beliau ini sangat waterfall. Tapi, buat apa agile kalo solusi yang kita hadirkan hampir selalu solusi jangka pendek yang dangkal dan tambal sulam?
-
Saya Bisa Membuat Perubahan
Banyak yang harus ditingkatkan dari Hariff. Contoh, di sini belum membudaya yang namanya TDD. Begitu juga dengan project management dan agile development, yang sebenarnya bisa diterapkan dalam konteks-konteks tertentu. CI / CD tentu saja juga belum ada sama sekali. Katalon? Binatang apa itu? Orang soal release process saja belum jelas mau bagaimana. Tapi, justru dengan begitulah saya bisa membuat perubahan, yah walaupun cuma bisa sedikit demi sedikit.
Mengapa semua poin-poinnya diawali dengan kata saya? Karena, walaupun secara subjektif bisa saja Hariff jelas-jelas lebih bagus untuk saya, tapi tidak demikian halnya untuk orang lain.
Hal-hal Lain Yang Saya Suka dari Hariff
-
Budaya Berterus Terang
Memang sejatinya bahwa terus terang itu bukan budaya yang Jawa banget, juga tidak Sunda banget. Karena itu, pada awalnya saya agak takut takut. Tapi, suatu siang saya diajak makan siang oleh atasan saya. Saya dinasihati karena kurang “speak up”. Begitu juga setiap kali bertemu dengan CTO, beliau selalu bilang, “Kalau soal teknik, boleh jadi anda yang benar dan saya yang salah. Karena itu, jangan takut untuk ngomong”. Dan, memang beginilah cara hariff berbeda pendapat. Kadang-kadang memang harus bertengkar dulu, tapi “no hurt feeling”.
-
Sangat Teknis
Di Hariff, semuanya adalah orang teknis, bahkan termasuk para manajernya. Manajer haruslah orang yang ahli ditambah dia harus juga menguasai kemampuan manajemen. Atasan saya bahkan hands on langsung ngoding Android untuk perangkat BMS Personil kita. Pak CTO langsung ngoding aplikasi C# untuk program Posko Brigade dan Posko Taktis. Bahkan, dia ngoding semuanya, termasuk untuk program yang ditanam di dalam unit kontrol BMS Personil. Tidak hanya software, mereka juga ngerti hardware. Saya cuma ngerti software saja. Saya kalah lengkap dibanding mereka.
-
Niche Market
Sepuluh tahun terakhir saya habiskan di perusahaan-perusahaan yang ceruknya sempit. Perusahaan-perusahaan ini tidak membangun bisnis yang mengerjakan hal yang banyak dikerjakan oleh orang lain. Gaming backend platform adalah ceruk yang tidak banyak dikerjakan orang, walaupun ngerinya adalah pemain-pemain besar mulai bermain di sana, termasuk Epic Games, Amazon, dan Microsoft. Industri pertahanan, utamanya di bidang jaringan komunikasi adalah pangsa pasar yang jarang digarap orang lain, tapi Hariff jadi salah satu pelopornya, yang kemudian meluas ke hal-hal lain.
Hal-hal Yang Tidak Enak di Hariff
Walaupun secara umum di Hariff itu enak, tapi ada beberapa hal yang tidak enak dan juga menyusahkan:
-
Saya harus bisa semuanya dan mengajari semuanya
Dari tidak mengerti SNMP, saya harus bisa membuat aplikasi SNMP agent. Dari tidak memahami command and control, saya harus merancang sebuah sistem command and control. Dari tidak mengerti TDMA, … oh itu belum jadi. Dan, sekonyong-konyong ada yang minta diajari PHP dan Javascript. Saya asal ceramah aja soal client-side, server-side, post back dan callback (kalau istilah ASP.NET jadul). Saya juga ceramah soal PHP single process yang butuh Apache atau NGINX untuk memicu penanganan request, sampai soal axios. Habisnya, saya tidak tahu apa-apa tiba-tiba ditanyain. Ada lagi yang minta diajari soal Android. Untungnya, kodenya cuma TCP connection handling. Itupun saya juga tidak ngerti. Saya lirik kodenya, bersarang sampai lima tingkat. Saya ceramahi dia supaya merapikan kodenya dengan state machine, supaya mudah dipahami. Kalau tidak, akan jadi sarang serangga. Itu alasan saja, padahal aslinya karena saya tidak mengerti Android sama sekali.
-
Saya harus memikirkan semuanya
Saya harus menjelaskan manfaat dan keuntungan kita punya release process. Itupun harus pelan-pelan. Saya harus merancang beberapa komponen dari sistem. Saya juga harus memulai mencontohkan apa itu TDD. Saya harus mengajari rekan-rekan tentang apa itu OAuth 2.0 dan mengapa kita harus menggunakannya. Selain itu, masih ada meeting dengan klien dan mitra. Merancang, mengimplementasikan, mencontohkan, mengarahkan, bahkan juga sekedar mengingatkan ataupun memberi pengertian, saya menyentuh hampir semua aspek pengembangan software di Hariff. Harus mulai dari mana dan harus bergerak ke mana, kadang saya masih kelimpungan.
-
Saya harus membangun tim
Hariff sering berhasil menggolkan proyek-proyek bernilai besar. Akan tetapi, sumber daya yang ada tidak memadai. Saya sudah susah payah membuat soal untuk calon karyawan. Akan tetapi, dari CV yang berhasil dijaring melalui LinkedIn, semuanya menolak untuk bahkan sekedar mengikuti proses rekrutmen. Saya bingung, mulai dari mana harus membuat produk kalau para pembuatnya tidak ada?
-
Saya harus bisa jadi moderator
Seperti biasa, yang namanya engineer dan manager selalu punya sudut pandang dan kepentingan yang berbeda. Kadang, bahkan manajer satu dengan yang lain punya kepentingan yang berbeda. Saya sering harus berganti-ganti sudut pandang, agar yang satu bisa mengerti yang lain. Di depan engineer membela manajer, sementara di dapan manajer membela engineer. Di depan manajer A membela manajer B, sementara di depan manajer B membela manajer A. Ini karena saya berprasangka baik bahwa semua orang pada dasarnya berniat baik dan punya tujuan akhir yang sama. Hanya saja, proses berpikir dan cara pengambilan keputusannya berbeda-beda. Ini memang melelahkan, dan tentu saja membingungkan.
Semua ini memang menyusahkan, tapi saya menganggapnya sebagai bagian dari proses bertumbuh saya. Kalau saya cuma main-main saja sebagaimana yang sudah-sudah, saya tidak bisa menjadi manusia yang lebih baik, bukan?
Hariff atau AccelByte?
Ya jelas Hariff lah. Sinih, kirim CV ke email saya. Kali ini saya tidak dapat komisi. Nasib, di AccelByte juga saya cuma sekali pernah dapat komisi, padahal harusnya bisa tiga kali.