Islam Ngawur
Suatu waktu, saya terusik oleh kata-kata, "ngapain bawa-bawa agama?". Gini ya, saya itu punya teman-teman non muslim. Maka, saya tidak suka mempertunjukkan ciri khas agama saya ketika bareng-bareng sama banyak orang. Saya cuman nggak mau mereka risih. Ya iyalah, pas lagi meeting penting, tiba-tiba denger adzan ashar dari hape, udah gitu kenceng banget lagi, kan risih? Jadi, saya lebih suka kata-kata, "tidak sopan sebut-sebut agama". Ya gimana, Islam itu di dada saya. Berak aja juga tetap masih di dada, apalagi pas ngoding. Cuman, jadi aneh kan kalo saya bilang, "sebenarnya, test driven development adalah salah satu ikhtiar dalam menerapkan prinsip ihsan dan taqwa". Atau, "psychological safety itu sebenarnya masih kurang sakti kalau dibandingkan dengan tawakkul".
Tapi, sopan terus itu capek. Sekali-kali saya pengen sebut-sebut Islam di blog ini. Mumpung bentar lagi mau Ramadhan. Tapi, cara berislam saya itu ngawur. Di antara kengawuran saya, saya berzikir pake lafadz dari Ustadz Bayu Al-Ishaqi yang mengarang kitab "Yo Wis Ben". Betul itu! Sebelum sholat jumat kemarin, saya nyetel zikir ini di yutub sambil melihat mbak Rini kemudian menirukan, "…nanging tresnane atiku tenanan…".
Karena itu, saya akan berbagi kengawuran-kengawuran saya yang lain dengan anda. Awas, ini nyerempet-nyerempet aqidah. Kalo nanti anda murtad dari agama anda atau justru keluar dari golongan yang lurus, saya tidak mau tanggung jawab. Lha wong anda menzalimi diri sendiri dengan ikut ngawur, kok saya yang suruh tanggung jawab, emoh. Kalo setelah membaca tulisan ini anda justru manggut-manggut dan sepenuhnya setuju, alhamdulillah, anda selamat. Ya iya, orang goblok kan bebas dari dosa. Soalnya kan, anda goblok kalo nggak ngerti tingkat kengawuran tulisan ini.
Ngawur dalam berlogika
Ingat-ingatlah ketika anda masih ABG. Anda baru mulai bisa mikir. Logikanya udah jalan. Terus, kemudian anda bertanya-tanya, sebenarnya agama saya yang diturunkan dari simbah-simbah saya itu bener nggak ya? Waktu saya ABG dulu, saya bahkan percaya wihdatul wujud. Mirip-mirp sama Gaia lah. Nah, baru setelah kuliah, baru saya memahami bahwa tidak bisa tidak, manusia harus bersujud terhadap logika. Maksudnya apa? Setiap manusia harus percaya kepada sebab akibat, modus Ponens, modus Tollens, kuantor eksistensial, kuantor universal, tautologi, dan kontradiksi. Kalau tidak percaya, cuma ada dua sebabnya. Antara nggak ngerti atau emang kafir sekafir-kafirnya. Kalau kata orang Islam, tidak meyakini kebenaran syahadat itu kafir. Nah, ini kafir di atas kafir, alias kafir kuadrat.
Ya gimana tidak? Wong sejak SD kita udah diajari matematika. Tiga ditambah dua ya hasilnya lima. Sudah belajar aljabar, x + 3 = 5, ya pastilah x cuma punya satu penyelesaian, yaitu 2. Terus, ada orang IPS nyeletuk, itu kan cuma kesepakatan. Tiga ditambah dua bisa bisa lima, bisa tujuh, bisa empat, tergantung kesepakatan orang-orang yang bikin bahasa bernama matematika. Ya sudah, ente emang kafir. Wong make ilmunya tiap hari buat beli rokok kok masih ngeyel. Ngeyelnya nggak esensial lagi. Cara anda menganalogikan IPS dengan menyanggah matematika menunjukkan bahwa layak kalo Tuhan agama apapun menghukum anda di lapisan neraka yang paling bawah.
Ngawur dalam berfisika
Saya pernah naik pesawat dan mengelilingi setengah dunia, "…gunung laut wis tak lampahi…". OK, maaf. Selama sekian puluh tahun, saya merasakan bahwa tiap hari ya kira-kira dua puluh empat jam. Di rumah ada kulkas. Karena itu, saya bersaksi bahwa ayat-ayat Fisika klasik itu benar. Saya juga percaya bahwa Fisika modern itu benar, cuma akal saya belum sampai memahaminya. Ayat-ayat fisika itu mutawatir. Milyaran orang selama ratusan tahun menyaksikan kebenarannya. Jauh lebih mutawatir daripada agama apapun, bahkan dari agama saya yang sekarang ini. Karena itu, bagi saya, mau agamanya apapun, harus beriman sama ayat-ayat Fisika.
Tapi, ayat-ayat Fisika ini sedikit beda dengan logika. Logika itu aturan sebab akibat yang tak terbantahkan. Keberadaannya melekat pada tiap-tiap manusia normal. Fisika itu, bagi saya adalah cuma fenomena kebiasaan yang entah kenapa tidak pernah teramati berubah selama ratusan tahun, atau bahkan ribuan hingga jutaan tahun. Coba, siapa yang tahu bahwa selama sepersekian detik, di depan saya hukum gravitasi berhenti bekerja sebelum akhirnya lanjut lagi. Tapi, kalau orang nggak percaya sama Fisika, nggak mungkin bisa bikin ratusan satelit supaya saya bisa mencari rumah kawan saya di Google Maps.
Mengapa Fisika sedikit lebih lemah dari logika? Waktu kecil, saya pernah menyaksikan sendiri beberapa keajaiban yang tidak bisa diterangkan dengan ilmu Fisika. Karena menyaksikan sendiri, maka saya percaya bahwa itu nyata. Mungkin mata saya tertipu, tapi penjelasan paling mungkin justru dengan menerima apa yang terlihat sebagai sebuah keajaiban. Saya menerima fenomena jika orang kesurupan tiba-tiba bisa berbahasa asing dengan baik padahal tidak pernah belajar, maka itu benar terjadi. Secara logika itu mungkin, secara pengamatan itu jelas fakta, tapi tak terjelaskan dengan ilmu-ilmu alam yang "cuma" kebiasaan tapi berlaku sangat masif dan selalu bisa diulang sampai kapan pun. Sementara, keajaiban-keajaiban kecil ini, walaupun ada dan nyata, bahkan sering, tidak bisa diulang. Maka, saya cuma menerima keberadaannya tanpa mau menerima penjelasan sebab akibatnya. Karena tidak bisa diulang!
Pernah nonton "Sleepy Hollow" arahan Tim Burton? Logika itu harus. Itulah pegangan constable Ichabod Crane dalam menyelediki kematian beberapa orang yang kehilangan kepalanya. Ilmu alam adalah pegangan utamanya. Itulah yang membuatnya istimewa dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya yang mendahulukan penjelasan berbau takhayul. Akan tetapi, ketika logika dan fakta mengharuskan keberadaan penunggang kuda tak berkepala, maka itulah saatnya kita harus percaya. Prinsip ini punya nama keren, "pisau cukur Ockham". Walaupun logika memungkinkan penjelasan akan fenomena yang bermacam-macam, penjelasan terbaik adalah penjelasan yang paling sederhana yang memadai.
Itulah mengapa Fisika klasik mudah difahami. Fenomena-fenomenanya mudah ditemukan, diamati, dan diukur. Ketika beranjak menuju Fisika modern, tidak banyak yang bisa mengamati dengan mudah. Bahkan, sangat mahal untuk mengamatinya. Untuk menabrakkan atom saja butuh penabrak yang melintasi beberapa kota. Dulu, waktu orang tidak berfikir di manakah elektron, menggambar proton dan elektron itu gampang sekali. Setelah orang mengamati bahwa elektron tidak bisa ditentukan posisinya, gambarnya jadi ribet. Tapi, tetap aja orang tiap hari bisa bikin Parasetamol. Dengan ditemukan data baru, maka penjelasannya makin diperbarui. Tapi, penjelasan lama tetap berlaku dan masih bermanfaat. Karena, itulah yang teramati sejak dulu kala.
Bingung? OK, saya coba sederhanakan ya apa maksud saya. Di atas logika, ada alam semesta yang teramati manusia. Pada alam semesta yang teramati manusia, ada yang selalu sama walau diulang berapa kali pun, sampai-sampai para ilmuwan membuat ramalan berdasar itu. Kumpulan ramalan inilah hukum-hukum fisika. Selain yang teramalkan, ada pula hal-hal yang tidak teramalkan tapi bisa teramati. Itulah anomali atau keajaiban. Jika bisa dijelaskan dan bisa diulang, maka bisa dibuat ramalannya. Jadilah hukum fisika baru. Tapi, mencari-cari penjelasan atas anomali dengan mengada-ada adalah pelanggaran terhadap prinsip "pisau cukur Ockham". Mengapa tidak boleh melanggar prinsip ini? Karena nanti tidak ada bedanya dengan berkhayal, dan khayalan-khayalan ini tidak didukung bukti. Jadi, hasil pengamatan harus diterima, tapi penjelasan sok ilmiah harus ditolak.
Ngawur dalam Biologi
Di bawah tingkatan Fisika, ada Biologi. Karena kita lagi membahas agama, langsung saja kita menjurus pada evolusi, biar cepet. Kenapa saya menempatkan Biologi di bawah Fisika? Karena Darwin itu berkhayal! Cuma modal jalan-jalan keliling dunia, dia menyimpulkan bahwa semua makhluk hidup berasal dari makhluk bersel satu. Ketika dikritik, dia mencari-cari bukti untuk mendukung teorinya. Ini sudah ada penjelasannya dulu, baru buktinya dicari-cari. Kayak gini pengen disejajarkan dengan Fisika. Mana bisa?
Tapi, teori evolusi itu nyata. Hasil pengamatannya ada dan banyak. Ada teori Mendelian soal pewarisan gen. Ada yang namanya mutasi genetik, perubahan makhluk hidup yang diwariskan melalui perubahan DNA orang tuanya. Ada pula yang namanya epigenetik, perubahan makhluk hidup yang diwariskan tanpa perubahan DNA orang tuanya! Begitulah, bukan berarti jika Darwin berkhayal, maka pengikut-pengikutnya jadi otomatis salah. Nah, teori evolusi baru ini disebut dengan neo-Darwinisme.
Eit, tunggu dulu. Menurut akal saya yang ngawur ini, iya, benar bahwa evolusi terbukti dalam skala kecil. Tapi, tidak demikian dengan skala besar. Soalnya kan gini, hanya karena saya lebih ganteng dan lebih pinter daripada mbah-mbah saya, bukan berarti kalo dulu saya itu hasil evolusi dari tikus. Mana buktinya? Nggak ada. Mau diulang? Nggak mungkin, butuh puluhan juta tahun. Nggak bisa dong, para ilmuwan itu cuma bilang, ya kan tinggal dipanjangin aja waktunya. Ya, kalo dipanjangin waktunya yang ada berkhayal. Terus, khayalan itu dibikin model komputernya. Terus disimulasikan. Ya iyalah terbukti! Terbukti bahwa makroevolusi memang masih dalam tahap khayalan.
Walaupun itu bukan berarti saya setuju sepenuhnya dengan intelligent design. Soalnya, kesannya mereka itu malas. Taruhlah bahwa makroevolusi itu salah, maka harus ada penjelasan tandingan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Oh, itu pasti ada divine intervention. Divine intervention itu apa? Alien? Tuhan? Iblis? Terus, caranya bagaimana? Misal, setiap Jumat Kliwon, seribu tahun sekali, si Alien datang melalui pesawatnya membawa cetak biru DNA makhluk baru, lalu diciptakan makhluk baru melalui molekul-molekul yang tak bernyawa? Terus, mana buktinya? Minimal, teori makroevolusi itu menyajikan penjelasan, walaupun belum terbukti. Lha ini intelligent design ngapain? Ya wajar lah, kalo ditolak di sekolah-sekolah.
Ngawur dalam Menolak Tuhan
Jujur, saya punya rasa hormat yang besar terhadap orang-orang ateis. Banyak dari mereka itu adalah orang-orang luar biasa, karena berani mendobrak tradisi kepercayaan keluarganya dengan berpikir kritis. Sekalipun tadinya mereka itu muslim. Mereka mengikuti kegelisahan hati mereka ketika berusaha memahami kejanggalan-kejanggalan beragama. Ini adalah fitrah. Manusia punya logika. Ketika logika itu bertabrakan dengan sistem kepercayaan yang ditanamkan kepadanya, muncullah kegelisahan. Ketika dia menutup diri terhadap kegelisahan tersebut, itulah yang namanya kafir.
Karena itu, seandainya seseorang beragama, agama apapun itu haruslah logis. Tapi, logis ini kriteria yang sangat ringan sebenarnya. Agnostisisme itu masih masuk logika. Begitu juga deisme. Panteisme itu masih masuk logika. Trinitas, nggak tahu. Saya harus belajar sama ahli filsafat dulu. Mbulet soalnya. Reinkarnasi itu masih masuk logika. Bahkan antropomorfisme Tuhan itu masih masuk logika.
Tapi, ya itu tadi, masuk logika belum tentu benar. Karena, masing-masing faham ini harus didukung dengan bukti. Sayangnya, tidak ada agama manapun yang segamblang dan seterang benderang Fisika dalam menjelaskan argumen ketuhanannya. Sampai saat ini, kita nggak bisa ngetes Tuhan berulang-ulang. Berdoa, nggak langsung dijawab. Karena, kalau ketuhanan itu sejelas Fisika, ya semua orang di dunia bakalan sepakat dengan satu agama saja. Nyatanya, agama di dunia ini banyak, ada ribuan. Bahkan, ada pula yang ateis.
Ngawur dalam Mengesakan Tuhan
Sekarang, kita balik lagi ke Fisika dan Biologi. Argumen saya menerima keberadaan Tuhan cuma sederhana. Itu adalah keteraturan dan keselarasan alam semesta. Dalam keberlakuan Fisika, ada keteraturan yang tak terbantahkan. Dalam makhluk bersel satu, ada keselarasan yang luar biasa. Dua kalimat ini aja sudah sangat memukau saya. Saya tidak butuh bukti lain keberadaan Tuhan. Orang-orang ateis mungkin tertawa kalau mereka membaca ini. Saya tidak peduli. Namanya juga ngawur. Akal saya emang cuma sampe segini.
Tapi, adanya jejak ketuhanan di seantero alam semesta bukan berarti tuhan cuma ada satu kan? Betul. Tapi, jelas bahwa Tuhan itu bentuknya nggak seperti manusia, dan nggak punya istri dan anak. Soalnya, jelas ini gejala-gejala khayalan manusia. Karena nggak bisa membayangkan wujud Tuhan, ya dibilanglah seperti manusia. Sifat-sifatnya juga mirip manusia, punya anak segala, kadang bahkan punya istri manusia. Yang jelas, Tuhan nggak suka selingkuh dan nggak punya istri cemburuan. Yakin bahwa Tuhan nggak berbentuk seperti manusia? Nggak juga sih, tapi jelas bahwa Tuhan nggak butuh berwujud manusia. Tuhan berwujud manusia itu cuma khayalan saja.
Lalu, mengapa Tuhan harus satu? Tidak pernah dalam hidup saya, saya melihat ada lebih dari satu orang bekerja dalam satu hal, mereka selalu sepakat dalam segala hal. Susah dibayangkan. Sementara, kalau kadang-kadang sepakat, kadang-kadang nggak, kok ya masih ada ini dunia. Harusnya dah hancur dari dulu-dulu. Lagipula, dilihat-lihat dari manapun, ada keseragaman yang berlaku di seluruh alam semesta. Kalo gitu, apa bedanya dong? Orang kembar aja ada bedanya, minimal mereka beda tempat, di kiri dan di kanan. Ini, Tuhan A dan Tuhan B yang menciptakan alam semesta, apa bedanya? Nggak ada! Terakhir, kok bisa dua? Kok bisa tiga? Satu saja sudah mencukupi, kalo kita menuruti prinsip pisau cukur Ockham.
Karena itu, berdasar intuisi dan juga berdasar alasan yang tegas, saya bilang, "Laa ilaaha illallah". Ya itu kalo bahasa Arab-nya. Bahasa Indonesia-nya, "Tiada tuhan kecuali Tuhan". Sama, mau dibolak-balik kayak gimana pun. Allah-nya orang Islam dan Tuhan-nya orang deis itu satu. Ya Tuhan yang itu. Kalo cuma berdasar intuisi saja, sudah selesai ini masalah dari tadi. Dalam sekejap mata, saya akan bilang, "Mana mungkin Tuhan lebih dari satu?". Tapi, saya kan harus kritis terhadap diri saya sendiri yang terkungkung kuat dalam dunia pemikiran Islam. Susah lepasnya tau, bahkan sampai sekarang. Kalau lepas, ya pasti saya ateis dong. Gara-gara Islam, kalaupun lepas dari Muhammad, tetap susah lepas dari Tuhannya Muhammad.
Ngawur dalam Memahami Al-Qur’an
Bagaimana tidak ngawur? Wong saya nggak bisa bahasa Arab kok. Tapi, katanya Al-Quran itu mukjizat terbesar. Dia harus bisa membuktikan dirinya dong. Ah, sebenarnya saya rada males nulis bagian ini. Jadinya kayak kaset rusak. Itu lagi, itu lagi. Bukan berarti yang sebelumnya nggak, tapi yang ini lebih parah. Masalahnya, urutannya emang jatahnya ke sini, mau gimana lagi?
Keindahan bahasa Al-Quran
Yang pertama klaim keindahan bahasa Al-Quran. Menurut saya, itu nonsense. Nggak bakal kerasa bagi yang bukan orang Arab. Percuma. Klaim ini jadi tidak berarti. Iya, saya tahu kalau nabi itu buta huruf. Saya juga tahu kalau bahasa Arab jaman dulu itu bahasa tutur. Orang Arab dulu, bikin huruf aja nggak lengkap. Huruf ya dan huruf ba nggak bisa dibedakan. Nggak ada titiknya, nggak ada harakatnya pula. Kalau mau kirim surat, harus pakai pengantar surat, dan pengantar suratnya harus hafal isi suratnya. Kalau tidak, artinya bisa kebalik-balik. Bangsa terbelakang itu memang bangsa Arab di abad ketujuh.
Apalagi jaman sekarang ini, gimana bisa kerasa keindahan bahasa Al-Quran? Bahasa Arab modern standar itu disederhanakan dari bahasa Al-Quran. Ilmu-ilmu grammar bahasa Arab, itu munculnya karena muslim non Arab pengen belajar bahasa Arab. Sama dengan munculnya ilmu tajwid. Karena bahkan orang gak bisa bahasa Arab pun pengen bisa melafadzkan Al-Quran. Sesuatu yang jadi standar, bagaimana mungkin ada tandingannya? Wong standar itu artinya yang lain harus ngikut sama dia. Saya gak bisa terima klaim keindahan bahasa Quran. Saya cuma tahu kalo munculnya Al-Quran mendorong kemajuan bahasa Arab.
Ada memang pendakwah yang berfokus pada keindahan bahasa Al-Quran, seperti Nouman Ali Khan misalnya. Tapi, saya nggak ngerti bahasa Arab sama sekali! Bagaimana saya tahu bahwa yang dia katakan itu benar? Jangan-jangan, dia cuma mengada-ada saja. Kalau memang dia benar, kok nggak banyak yang mengangkat tafsir Quran dengan gaya yang mirip-mirip dia? Harusnya banyak dong.
Al-Quran memajukan ilmu pengetahuan
Tahu nggak, Tuhan-nya orang Islam itu arogan sekali. Al-Quran itu sering sekali nantangin manusia dengan isyarat-isyarat fenomena alam semesta. Sebenarnya ya, saya itu aslinya malas baca terjemah Quran. Tapi, karena pengen menjadi muslim yang lebih baik, saya mulai agak rajin melafadzkan Quran sambil baca terjemahnya. Gara-gara sering ketemu ayat-ayat jumawa di Al-Quran, kan akhirnya jadi terusik. Makin banyak baca, jadi makin terusik. Di depan ada, di belakang ada lagi. Random baca dari tengah, ada juga. Ini gimana, makin banyak baca terjemah, saya kok jadi makin liberal. Kemenag RI harus tanggung jawab! Hasilnya liberal, ya tulisan di atas itu tadi.
Wajarlah kalo orang-orang Islam abad belasan jadi maju dalam ilmu pengetahuan. Lha gimana nggak maju, ditantang terus-menerus sama kitab sucinya sendiri. Kalo ilmu Fisika dan Biologi disebut-sebut terus dalam Al-Quran, berarti ilmu-ilmu ini harusnya punya kedudukan tinggi dalam agama. Tapi, entah kenapa orang-orang Islam dari sisi ilmu alam dan ilmu agama saat ini canggung dalam berhubungan.
Ini, saya kasih fatwa ngawur saya ya. Kalau ilmu biologi yang berkembang saat ini justru dengan mudahnya mengguncang iman umat, maka wajib ada yang memberi penjelasan yang gamblang soal hakikat ilmu biologi yang berkembang saat ini berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Bukan dengan kaidah yang penting ilmu alam dan ilmu agama bisa rukun. Nggak bisa. Itu nggak jujur pada diri sendiri. Ngapain? Tinggal aja salah satunya yang tidak meyakinkan.
Contohnya tadi evolusi manusia. Saya baca-baca, beberapa ilmuwan muslim sudah mulai menerima teori evolusi apa adanya. Mereka mencoba mengkompromikan Islam dan ilmu-ilmu alam agar mereka tidak bertentangan. Masalahnya begini, evolusi manusia itu, mau bagaimanapun, secara jelas dan tegas bertentangan dengan Al-Quran. Kalo maksain, udah tafsir Quran jadi terlalu bengkok. Udah tafsirnya bengkok, sepuluh tahun lagi eh ternyata evolusi manusia runtuh. Ini kan sudah jatuh tertimpa tangga? Setelah saya teliti dan saya pikirkan ulang, ini kok makroevolusi rada aneh ya? Kok serasa seperti penjelasan yang ngotot mencari bukti? Selama ratusan tahun lagi.
Saya memang nggak ngerti tafsir sama sekali. Tapi, dibolak-balik sampai berkali-kali itu terjemah Quran, tidak ada yang secara tegas bermasalah. Kalo Quran secara tegas ngomong umur bumi 6000 tahun atau bumi itu datar tanpa kecuali, saya sudah buang itu Quran. Itu pasti bukan agama dari Tuhan. Tuhan dengan ayat-ayat Fisika-nya sudah mempertunjukkan bahwa bumi itu bulat dan umur bumi itu lebih dari ribuan tahun. Kalo saya maksa-maksain itu ibarat saya punya dinding antara kamar ilmu alam dan kamar ilmu agama. Logika nggak boleh masuk ke kamar agama. Kok nggak boleh masuk, mana yang lebih benar, agama atau ilmu alam? Pastilah ilmu alam. Ilmu agama itu banyak ngomong hal-hal yang gaib, hal-hal yang tidak bisa terus-menerus berulangkali dipertunjukkan kebenarannya. Bahkan diamati saja nggak bisa.
Al-Quran itu terjaga keasliannya
Kalo ini, semua orang mengakui. Al-Quran itu mutawatir. Artinya, saking banyaknya saksi yang menyatakan hal yang sama persis sehingga tidak mungkin mereka semua berbohong. Dan, itu semua bersambung dari Muhammad hingga kita hari ini. Hanya saja, Al-Quran sekali lagi saya bilang kalah mutawatir dengan ilmu alam. Ilmu alam sampai saat ini bisa diuji berulangkali untuk dikonfirmasi kebenarannya. Rasulullah SAW sudah meninggal. Mau ditanya bagaimana?
Tapi memang, tradisi lisan umat Islam ini rada janggal kalau didengar sama orang kebanyakan. Orang kebanyakan yang terpengaruh tradisi keilmuan barat sudah terbiasa dengan tradisi tulisan. Cuma, umat Islam memang kurang percaya penuh dengan tradisi tulisan. Soalnya, bisa saja beredar buku yang diklaim karangan ustadz terkenal tapi ternyata hoax. Akhirnya, baik tulisan dan lisan dua-duanya dipakai. Guru dan murid harus pernah bertemu. Dan, si murid setelah selesai belajar dari gurunya, akan mendapat ijazah yang berupa pengakuan dari guru bahwa si murid belajarnya udah bener. Unik kan? Kalau tertarik, silakan belajar sendiri soal tradisi lisan ilmu Islam ini.
Kalo memang agama yang kita anut itu benar dan agama kita mempunyai kitab suci, maka kitab suci ini harus terjaga kemurniannya dari awal hingga akhir. Agama dari Tuhan kok ada salah tulis segala. Nggak ada salah tulis. Yang ada, dua-duanya sudah ditakdirkan Tuhan untuk benar. Dua-duanya tidak boleh berkontradiksi. Nggak usah babibu lagi. Kontradiksi yang tegas artinya itu artinya jelas salah.
Ngobrol sama Al-Quran
Ini bagian paling serunya. Kalo tadi dibilang Allah itu jumawa, maka saya adalah hamba Allah yang termasuk kurang ajar. Saking kurang ajarnya, saya itu sering ngetes Gusti Allah. Loh, katanya kalau mencari jalan kepada Allah, bakalan dikasih petunjuk, mana buktinya? Katanya bukti keesaan Allah ada di segala penjuru, mana buktinya? Loh, katanya yang benar itu jelas, jelas yang kayak gimana maksudnya? Katanya Allah itu sayang sama hamba-hamba-Nya, masa saya beneran minta petunjuk nggak dikasih?
Sampai suatu saat, saya beneran ngetes Gusti Allah. Saya berdoa dalam hati, kalau itu dikabulkan maka saya akan sepenuhnya menjadi muslim. Sayangnya, Gusti Allah tidak mau dites. Doa saya tidak dikabuilkan. Saya kecewa. Sampai-sampai saya berfikir, saya yakin kamu ada ya Allah, tapi apa kamu tahu saya ada dan kamu benar-benar sayang sama saya?
Akhirnya, saya menggunakan pendekatan yang lain, yaitu ngobrol dengan Al-Quran. Berulang-ulang saya mempertanyakan tesis-tesis Al-Quran. Al-Quran saya baca secara urut dari depan ke belakang. Saya menduga, ini emang Quran ini disajikan supaya enak untuk diajak ngobrol. Seringkali, saya punya pertanyaan menggelitik. Kemudian, saya buka Al-Quran, saya lanjutkan tadarus hingga dapat 3 - 4 halaman. Tiba-tiba, bam. Pertanyaan di hati saya itu mendapat jawaban yang menyeluruh pada sekelompok ayat yang saya baca. Ini terjadi berkali-kali. Kadang, saya jadi tenang. Kapan lagi, penasaran lagi. Lama-lama saya jadi dongkol. Iya, Quran tidak bertentangan dengan ilmu alam. Iya, konsep ketuhanannya sederhana dan sangat intuitif. Iya, di antara agama-agama yang pernah saya kenal, Islam yang paling plausible. Tapi, masa iya sih?
Saya kalo baca terjemah Quran itu kadang sambil protes dan marah sama Allah. Ngambek. Karena, kalo memang Quran itu benar, kok kebenarannya nggak dijadikan gamblang dan universal kayak Fisika. Karena punya sudut pandang lagi bicara sama Allah, saya lupa pada siapa yang membawa Al-Quran. Tiba-tiba, saya ingat. Yang membawa Quran ini, buta huruf yang nggak ngerti apa-apa lho. Kamu kalo ngomong sama dia langsung ketika Quran ini diturunkan, kamu ngajak debat ilmu alam sama orang buta huruf. Orang buta huruf yang tadinya nggak ngerti apa-apa, terus tiba-tiba jadi pinter dan jumawa menantang semua manusia dengan fenomena-fenomena alam. Ketika ingat itu, saya tersentak. Saya berucap dalam hati, Muhammadur-Rasulullah.
Sampai saat ini, saya merasa aneh dengan jalan hidayah saudara-saudara saya. Ada yang murtad, bahkan sampai pergi ke tempat-tempat ibadah agama lain, tiba-tiba jadi muslim hanya gara-gara mendengar suara azan setelah berdoa minta petunjuk dengan amat tulus. Banyak juga yang mirip saya, dengan menantang Al-Quran. Ada juga yang dari lahir selalu yakin dan imannya tidak pernah goyah sedari kecil. Hidayah itu ajaib dan sangat personal. Karena itu, boleh jadi sinar hidayah sangat kuat menerangi orang yang menerimanya, tapi gelap gulita bagi orang yang tidak menerimanya. Saya tidak mengerti. Boleh jadi, memang Islam itu mistis dan personal, dan bukannya ilmiah dan universal.
Ngawur ketika memilih edisi Quran
Saya baru tahu beberapa tahun ini, kalau ternyata Quran itu diturunkan Allah dalam 7 edisi. Semuanya benar. Rasulullah sendirilah yang minta kalau Quran itu tidak hanya satu edisi, tapi banyak. Sahih ini. Di jaman sekarang, kita susah menemukan secara utuh 7 edisi ini. Ada ulama berpendapat, bahwa jaman khalifah Usman, edisi lain dibakar, yang disisakan tinggal edisi Quraisy aja. Ada juga pendapat lain bahwa khalifah Usman mempertahankan perbedaan edisi ini. Ketika Usman mengirim masing-masing mushaf ke daerah-daerah lain, tiap mushaf-nya itulah satu edisi.
Saat ini, kita tidak bisa melihat secara utuh 7 edisi sebagaimana diturunkannya jaman dulu. Dua ratusan tahun kemudian, seorang ulama Ibnu Mujahid mengumpulkan perbedaan bacaan-bacaan Quran yang semuanya bersambung ke Rasulullah, yang dia namakan dengan 7 qira’at. Tujuh qira’at inilah bekas-bekas dari tujuh edisi Quran di jaman Rasulullah.
Ada yang baru tahu? Gimana perasaan anda? Kaget? Terguncang? Marah? Itu wajar. Umar aja ngamuk pas pertama kali denger ada sahabat lain baca Quran-nya beda. Ubay bin Ka’ab bahkan hampir murtad karena susah menerima Allah menurunkan 7 edisi. Tapi, Rasulullah sendiri bilang begitu, mau gimana lagi? Cuman, memang 7 edisi ini bedanya tipis-tipis banget. Iya, emang kadang mengubah makna ayat. Tapi, nggak kemudian satu edisi jadi menegasikan edisi lain. Saya males mikir. Saya ngawur aja pake qira’at Hafs. Kok nggak pake edisi lain? Katanya sama-sama dari Allah? Ya karena kalo beli di toko buku, adanya cuman itu.
Masih nggak bisa nerima ada banyak versi Quran? Saya kasih penjelasan sederhana. Gini ya, itu jelas-jelas dari Rasulullah sudah ngomong begitu. Lagipula, suka-suka Allah mau ngeluarin berapa edisi. Kalaupun ada edisi-edisi yang hilang dari muka bumi, itu sudah kehendak Allah. Kalaupun edisi lain dibakar, padahal benar, itu juga kehendak Allah. Berapapun edisi yang tersisa, itu terserah Allah.
Ngawur dalam memahami ilmu sosial
Yang IPS mana suaranya? Nah, sekarang baru kalian boleh ngomong. Jangan mensabotase diri dengan analogi Matematika dong. Itu yang membuat IPS dijauhi sama orang-orang pinter. Jadi rugi sendiri kan? Nah, sebenarnya, kita udah rada ngobrol ilmu sosial di agak atas tadi sih, tapi paling relevan justru di sini.
Ini saya bukan menganggap bahwa ilmu sosial kalah penting dibanding ilmu alam lho. Cuman kalah ilmiah aja. Ya gimana nggak? Ilmu sosial itu mengkaji perilaku manusia. Manusia itu bisa mikir. Nggak kayak apel jatuh-nya Newton. Tiap manusia itu beda-beda, nggak kayak air yang di mana-mana sama. Direbus ya mendidih. Kalo manusia, nggak bisa gitu. Ada dua manusia, yang satu dari Malang, satu lagi dari Surabaya. Mereka dimasukin ke ruangan ber-AC. Yang dari Malang ngomong, "Sueger yo". Yang dari Surabaya ngomong, "Jancuk, uadem tenan" sambil menutupkan hoodie-nya ke kepalanya.
Tapi, bukan berarti ilmu sosial itu nggak penting. Justru penting banget. Wong kita ini manusia yang berhubungan sama manusia lainnya. Apalagi kalo dikaitkan dengan agama. Agama itu buat apa toh? Kan agama itu beramal shalih dengan akhlaq yang mulia. Kalo nggak ada manusia lain, beramal shalih sama siapa? Yang ada paling sholat, tidur, sholat, tidur, makan, tidur lagi.
Tapi, harus hati-hati ya kalau mencomot ilmu sosial. Banyak yang dhaif. Misal, diperintahkan dalam Al-Quran bahwa manusia itu harus bersyukur. Dikatakan, bersyukur itu untuk diri kita sendiri. Kita bisa mengutip ilmu psikologi dengan bilang, bahwa di antara hikmah bersyukur itu adalah kita jadi lebih bahagia. Tapi hati-hati, Saat ini, psikologi sedang dalam krisis replikasi. Banyak penelitian dari jurnal-jurnal ternama tidak bisa diuji ulang.
Ngawur dalam memahami ilmu bahasa
Orang yang minimal belajar dua bahasa tentu tahu bahwa ada yang namanya lost in translation. Sampai saat ini, saya kesusahan menerjemahkan kata-kata integrity. Kemenyatuan? Aneh banget gak sih? Atau kata-kata align dalam konteks beberapa tim bekerja sama. Meluruskan barisan? Tambah aneh kan? Isolated test, jadinya "tes terpencil"? Artinya begini, terjemahan apapun dari Arab ke bahasa lain, bakalan mengalami kehilangan makna.
Hah, capek juga njelasin macem-macem. Kali ini, saya mau ngutip youtube aja deh…
Nggak ngerti bahasa Inggris? Aduh, maaf. Kalau saya kasih contoh dalam bahasa Indonesia, susah nyarinya. Kalau bahasa Arab, sayanya yang nggak ngerti. Pokoknya gini aja deh. Itu, si mas Ismo udah tahunan belajar bahasa Inggris. Begitu dateng ke Amerika, ternyata dia kaget. Beberapa kata dalam bahasa Inggris yang dimaklumi maknanya, ternyata berbeda jauh artinya ketika digunakan dalam percakapan.
Inilah masalah yang kedua. Sekalipun makna masing-masing kata diketahui, makna keseluruhan dari suatu kalimat tergantung konteks-nya. Konteks ini macem-macem, kalo dari video di atas, ya konteks budaya orang Amerika tentunya. Makanya menafsirkan Quran itu nggak gampang. Mentang-mentang sudah bisa bahasa Arab, nggak bisa sembarangan menafsirkan artinya.
Untuk ngerti apa maksud Quran, kita harus kembali ke jaman nabi. Terus, kita harus tahu budaya orang-orang yang diajak omong sama Quran. Inipun masih bisa salah. Sahabat saja kadang-kadang salah menafsir Quran kok. Susah memang, tapi nggak sesusah itu kok.
Saat ini, kita mengenal beberapa tafsir Quran terkenal. Ada tafsir Ibnu Katsir, Jalalain, Qurthubi, Yusuf Ali, dan lain-lain. Masing-masing punya pendapat yang berbeda-beda, padahal Quran-nya satu. Terus ini gimana? Mana yang benar? Kalo saya bilang, semuanya benar! Ngawur? Ya memang.
Mulai dari Quran-nya aja, yang resmi ada beberapa versi. Para sahabat sendiri, bahkan untuk ayat yang sama persis, kadang berbeda pendapat. Ketika sahabat berbeda pendapat, nabi menunjukkan pendapat yang lebih tepat, tapi tetap tidak menyalahkan pendapat yang lain.
Contoh-nya waktu "menafsirkan" kata-kata nabi soal shalat di Bani Quraizhah.
لَا يُصَلِّيَنَّ اَحَدُكُمْ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِى قُرَيْظَة
“Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Nah, ada yang menafsirkan berarti harus cepat-cepat sampai di Bani Quraizah sebelum ashar-nya habis. Ada juga yang menafsirkan kalau ashar-nya habis ndak papa, tetap aja nanti sholat-nya nunggu sampai Bani Quraizhah.
Ah, saya kejauhan, kita sendiri kalo ngomong sama orang lain sering salah faham kok. Ini nabi juga disalahfahami. Tapi, sama nabi nggak disalahkan dua-duanya. Padahal mereka ini sama-sama orang Arab yang ketemu nabi.
Karenanya, susah kerjaan ahli tafsir itu. Mangkanya saya ngawur aja, saya nggak mau susah. Kalo di atas, saya ngawur banget karena cuma pake terjemah. Sampai saat ini juga masih begitu. Kalo pas lagi nggak ngawur, ya saya baca juga terjemahan tafsir-tafsir terkenal itu, supaya imajinasi saya tidak liar belak belok seenaknya kalo pake terjemah Kemenag.
Tapi, prinsip saya jelas. Begitu ketemu sama manusia, saya menolak adanya kebenaran tunggal. Mau beragama model apapun, kalau orang itu jelas ngikut ustadz yang mana, ya sudah. Saya benar, dia benar. Ustadz-nya aja yang beda. Dengan prinsip yang sama, saya juga menolak adanya golongan-golongan yang gampang mengkafirkan dan menuduh sesat golongan-golongan Islam yang lain. Ini tidak sesuai fitrah manusia. Perbedaan itu bukan rahmat, tapi fitrah. Memaksakan kebenaran tunggal artinya melanggar fitrah manusia sendiri.
Mangkanya, sampai hari ini kadang saya juga segan untuk mengkafirkan yang belum muslim. Bagaimanakah seandainya argumen keislaman itu belum sampai kepada mereka? Bagaimanakah seandainya memang Allah membiarkan seseorang hanya sampai pada Laa ilaaha illallah dan berbuat baik kemudian memasukkan mereka ke surga? Walaupun, tetap saya condong kepada bahwa Allah akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari petunjuk. Kalo orang kafir hedonis yang ternyata cuma pengen main-main di dunia, itu beda lagi ceritanya.
Ngawur dalam bermadzhab
Tertolaknya kebenaran tunggal ini makin jelas lagi ketika kita pengen beramal sesuai dengan madzhab fiqh klasik. Fiqh klasik itu kalo bagi saya sudah ratusan tahun dibahas dan digeluti. Yang sampai kepada kita, tinggal empat madzhab. Sebenarnya masih ada madzhab-madzhab yang lain.
Kalau kita ngotot sama prinsip kebenaran tunggal, maka kalau Imam Syafi’i benar, imam yang lain salah. Kalau salah artinya sesat. Amalan-amalannya tidak sah. Masalahnya begini. Saya ini orang awam, apa hak saya menyalah-nyalahkan ulama mujtahid mutlak? Perangkat keilmuan apa yang saya miliki untuk menunjukkan kesalahan mereka? Masing-masing memiliki argumen-nya, dan masing-masing asing buat saya. Yang saya tahu, bangunan keilmuan empat madzhab ini sudah kuat sekali. Yah, sebagaimana saya taklid sama Hawking, walaupun saya nggak ngerti secuil pun dari apa yang disampaikan beliau. Bahkan, membaca "A Brief History of Time" karangan beliau yang ditujukan untuk orang awam pun saya tidak faham. Mungkin saya harus baca seri buku monyet astronot.
Lalu, apa yang terjadi jika ada seruan untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah? Apa yang terjadi jika kita dibilang untuk kembali ke kemurnian Islam dengan memahami Al-Quran dan As-Sunnah secara langsung? Ya boleh saja, tapi konsekuensinya jadi lebih liar. Ya iya kan, wong cuma modal bahasa Arab, gak punya pegangan kitab apa-apa kecuali kitab-kitab hadits yang sahih. Ada sih, satu cara supaya tidak liar, yaitu dengan memaknai semuanya secara tertulis apa adanya. Tapi, ini pun terbukti bermasalah. Lihat kuliah bahasa Inggris dari Ismo tadi. Nggak liar, tapi jadi pusing sendiri. Dan, justru malah sering salah.
Tapi ya tapi, itu bukan berarti saya menyalahkan mereka yang memang pengen langsung memahami Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka hafal Quran, mereka bisa bahasa Arab, sedangkan saya ini apa? Cuma, saya nggak akan ikut mereka. Saya lebih percaya sama reputasi empat imam besar madzhab.
Nah, kan nggak mungkin 4 madzhab ini diamalkan barengan, walaupun katanya semuanya benar. Kalo ini, saya milih madzhab Hanafi saja. Soalnya, pas saya baca-baca buku fiqh, yang paling gampang amalannya itu madzhab Hanafi. Yang paling banyak pengikutnya juga madzhab Hanafi. Ya iya dong pilih yang gampang, kan katanya Allah itu Maha Pemurah.
Itu kan tadi soal fiqh klasik. Kalo fiqh modern gimana? Ini, saya juga bingung. Bank haram atau nggak, saya juga bingung. Produk-produk bank yang mana yang haram yang mana yang halal saya juga bingung. Imam Hanafi nggak pernah ngomong haramnya deposito soalnya. Jujur, kalo ini saya masih taraf ikut-ikutan. Saya berbaik sangka sama Bank Syariah itu tidak curang, dan karena itu saya hanya memilih produk-produk syariah saja. Begitu juga dengan fiqh-fiqh modern yang lain. Soal hak cipta misalnya. Ada ustadz Ahmad Sarwat nyeletuk soal mengkritik soal orang-orang yang tidak mengakui hak cipta, saya taklid aja. Pembajakan itu mamakan harta orang lain dengan cara yang batil. Apalagi kalau ini diakui sama hukum negara. Mau bilang nggak haram, tetap aja tetap dipelototin sama orang yang punya hak cipta.
Ngawur dalam beramal
Agama itu intinya untuk apa toh? Kan supaya kita bisa beriman dan beramal shalih tho? Kalo udah iman dan amal shalih, baru kita saling memberi nasihat sama orang lain. Dan, sayangnya cuma sebatas memberi nasihat saja. Mereka menzalimi diri sendiri, ya terserah mereka. Giliran mereka mencelakai orang lain, baru tangan kita ikut bergerak. Ya udah, cuma itu thok.
Mangkanya, segala kengawuran-kengawuran di atas tidak ada artinya kalau tidak digunakan untuk beramal. Dan, amal itu harus didasari hati yang jujur dan lurus. Kalau nggak lurus, ya nanti jadi belak-belok ke mana-mana, sebanyak apapun ilmunya dan sedalam apapun pemahamannya. Kalau menginginkan pemahaman yang benar, hilangkan arogansi dan kemunafikan. Arogansi membawa kekafiran yang menutup akal. Kemunafikan membawa kesesatan yang didorong oleh hawa nafsu. Begitulah pengalaman saya mengenal dua makhluk ini.
Segala jerih payah ahli tafsir dan ahli fiqh itu semua maksudnya cuma satu. Berusaha memahami dan mengamalkan Islam sebagaimana diamalkan oleh generasi terbaik. Jalan apapun yang ditempuh, kalau niatnya lurus, maka akan kembali kepada Allah. Allah Maha Pemurah. Mudah-mudahan ada yang bisa mengambil manfaat dari sekian banyak kengawuran saya dalam tulisan ini. Mudah-mudahan saya selalu ditunjuki ke jalan yang lurus.