Berhenti Berharap, Yowis Ben, dan Jalan Menuju Takwa

Akhirnya, dengan berat hati, saya harus rela menjalani takdir termudah di antara pilihan-pilihan yang ada di hadapan saya. Maklum lah, saya adalah seorang oportunis. Bahkan beribadah pun saya tetap oportunis. Saya tidak pede untuk menapaki jalan yang sukar dan mendaki, selagi ada pilihan lain yang lebih mudah. Setelah beristikharah dan yakin akan keputusan-Nya, dan setelah satu persatu pintu demi pintu kemungkinan tertutup, hanya tersisa satu jalan yang termudah. Saya akan kembali ke Jogjakarta bersama dengan AccelByte.

Aku pulang, tanpa dendam, kuterima kekalahanku

Tadinya saya berfikir bahwa mungkin memang saya harus mendapat tantangan yang berat untuk bisa menjadi manusia yang terbaik. Tadinya, kalau saya berhasil menjalani tanggung jawab saya di perusahaan ini, saya bagaikan keluar dari kawah Candradimuka dalam keadaan jauh lebih perkasa. Akan tetapi, sedari awal saya tidak pernah mencapai harapan itu. Dan, saya setengah berpura-pura tidak tahu bahwa saya tidak mampu memenuhi harapan atasan-atasan saya.

Saya pada dasarnya adalah seorang developer. Atau, bahasa kerennya, seorang individual contributor. Beginilah setiap software engineer memulai karirnya. Ketika beranjak senior, ada dua pilihan. Tetap menjadi seorang individual contributor, atau berubah menjadi Tech Lead. Dan, di sinilah rahasianya. Jangan dikira menjadi tech lead itu gampang. Antara menjadi tech lead atau menjadi individual contributor, hanya pengetahuan dasarnya yang sama. Sama-sama harus mengerti teknologi. Akan tetapi, menjadi seorang tech lead membutuhkan kemampuan yang benar-benar lain. Pekerjaannya juga lain. Ukuran kesuksesannya pun sangat jauh berbeda. Jika individual contributor mengukur diri dengan pencapaian pribadi, seorang tech lead hanya bisa mengandalkan pencapaian rekan-rekan kerjanya, baru dia bisa dianggap sebagai tech lead yang berhasil. Saya bukanlah tech lead yang baik.

Saya datang dari latar budaya kerja yang berbeda. Itu artinya, antara saya harus menyesuaikan diri, atau saya membangun budaya baru. Dua-duanya gagal saya lakukan. Saya harus menciptakan sistem rekrutmen yang bagus. Belum sempat saya merekrut satu orang pun, perusahaan saya kesulitan keuangan dan menghentikan semua proses rekrutmennya. Saya harus merancang sistem kerja yang meningkatkan produktivitas sekaligus bisa meningkatkan moral karyawan. Tapi, mereka menikmati sistem kerja yang sekarang. Saya jadi seperti orang yang ribut sendiri tanpa alasan, baik di hadapan manajemen maupun para staf engineer. Saya jadi tempat bertanya untuk hal-hal yang saya sendiri tidak pernah sentuh, mulai dari frontend development hingga embedded linux. Ya, mana mungkin bisa saya jawab? Saya harus merancang sistem yang saya sendiri tidak pernah tahu apapun soalnya. Yang terakhir ini, baru saya berhasil. Artinya apa? Paling banter saya itu cuma software architect dan bukannya tech lead.

Saya gagal, dan saya burnout untuk kedua kalinya. Selama dua minggu, saya bekerja bagaikan mayat hidup. Datang kerja, duduk, diam, pulang, nonton drakor, begitu terus. Akhirnya, pukulan demi pukulan mental saya terima. Gaji saya tertunda selama dua pekan. Saya tidak kuat lagi. Saya kembali burnout setelah tiga atau empat tahun yang lalu.

Ini bukan tentang Cak Jim dan Cak Jon

Memang saya itu kalau beragama agak gimana gitu. Seringnya mendapat hidayah bukan kalau membaca Quran atau menyimak kajian ustadz yang alim, tapi kalo pas lagi nonton film. Film-nya pun seringnya bukan film agama. Lha film agama setahun dua kali nongol pun sudah bagus. Apalagi film agama yang penuh hikmah dan memicu saya mendapatkan hidayah. Ya sudah, saya mendapat hidayah dari film sekuler bin liberal berjudul Yowis Ben. Yowis Ben yang pertama dan kedua. Dua-duanya saya nonton bajakan, sehabis saya membayar 15 ribu rupiah untuk menonton series-nya.

Ceritanya Yowis Ben memilih meninggalkan Cak Jon, manajernya di Malang dan mengadu nasib di Bandung bersama manajer barunya, Cak Jim. Sesampainya di Bandung, mereka cuma ditempatkan di kos-kosan sederhana. Mereka tampil sebagai band pendamping untuk seorang penyanyi dangdut. Mereka disuruh bergabung dengan duo rapper yang sama sekali nggak peduli sama filosofi Yowis Ben. Suatu malam, bahkan mereka dilabrak sekumpulan preman tetangga mereka. Akhirnya, mereka semua bersama-sama kembali ke kampung halaman. Di saat itulah, saya juga merindukan kampung halaman. Saya rindu sama “Cak Jon”.

Tapi, itu bukan berarti saat ini saya bersama Cak Jim. Di sini, saya bertemu dengan orang-orang baik dalam situasi yang tidak tepat. Saya belum bisa menyatu dengan keluarga besar perusahaan ini, sehingga akhirnya saya memilih pergi. Maaf bapak-bapak, tapi saya bukan orang yang anda cari.

Jalan Menuju Takwa?

Kalaulah ada yang saya pelajari selama di sini, maka itu adalah soal takwa. Tapi, ini jelas bukan takwa yang artinya “menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya”. Sudah dibilang, saya itu beragamanya agak gimana gitu. Jadi, harap maklum kalo saya meniti jalan menuju takwa itu jadi agak-agak berbau sekuler.

Takwa yang saya maksud itu adalah lawannya menuruti keinginan sendiri. Pengen yutupan, ya yutupan sepanjang hari. Pengen sholat tahajud, ya sholat tahajud sepanjang malam. Pengen kerja, ya kerja terus sampai kantor ditutup pun nggak pulang-pulang. Nah, orang-orang yang masih sering kayak gini dinamakan sebagai orang yang tidak bertakwa. Orang bertakwa itu, intinya adalah pengendalian diri.

Maksudnya bagaimana? Orang bertakwa itu ibarat naik sepeda motor pakai helm. Selalu punya perlindungan diri. Orang bertakwa itu kalau di jalan berkendara nggak suka mepet-mepet. Orang bertakwa itu, kalau tahu bisa selesai 3 hari, dia bilang 5 hari. Orang bertakwa itu, ketika menghadapi kegagalan, sedari awal sudah menyiapkan jalan keluar. Orang bertakwa itu selalu berhati-hati, melindungi diri, dan bersiap-siap. Orang bertakwa, melakukan semuanya dengan penuh kesadaran.

Nah, suatu saat saya diajak ngobrol dengan atasan saya. Ketika kami berdiskusi, pandangan saya ini ternyata kurang sesuai dengan budaya perusahaan yang berbau enterpreneur. Begitu kita bilang bisa, maka separuh masalah sudah selesai. Akan tetapi, ini kemudian diwujudkan dalam banyaknya sesi-sesi Sangkuriang yang mental saya sudah tidak kuat menghadapinya. Baru tadi malam saya faham, bahwa mungkin bapak-bapak di sini mencontoh kisah perang Badar, di mana golongan yang sedikit dipaksa oleh perintah Allah untuk menghadapi golongan yang jauh lebih besar dengan senjata lengkap. Di sinilah saya tidak setuju. Apakah begitu yakinnya bahwa kita selalu disayang Allah sehingga kita boleh terus menerus berharap keajaiban dari-Nya?

Tidak, bukan begitu pandangan saya. Apapun yang saya lakukan, idealnya harus selalu diawali dari sikap takwa. Jika suatu Allah menghendaki saya berada di posisi yang tidak masuk akal dan saya tidak punya jalan keluar, barulah saya bertawakkal sepenuhnya terhadap Allah. Walaupun begitu inginnya saya terus menerus disayang Allah supaya hidup saya di dunia enak selamanya tanpa perlu berbuat dosa, tapi saya sadar kalo saya cuman begini begini aja. Saya sadar ujian yang harusnya ringan-ringan saja tapi sering bikin stres ini supaya saya tetap berada dalam kebaikan dan barokah dari Allah. Sekali lagi, saya itu orangnya oportunis. Asalkan bukan dosa, saya pasti akan selalu memilih yang paling mudah. Saya nggak mau lagi cari masalah, kecuali jika Allah memang menghendakinya untuk saya.

Menguak Masa Depan Penuh Misteri

Sebelum mengambil keputusan besar, begini-begini saya masih sering ingat untuk sholat istikharah. Sebelum saya pergi dari AccelByte, saya juga sudah sholat istikharah. Apakah itu berarti keputusan Allah yang dipilihkan untuk saya adalah salah? Ataukah itu karena saya salah mengenali tanda dari Allah? Yang jelas, apapun yang saya pilih, saya yakin Allah sudah mengabulkan doa saya ketika saya sholat istikharah. “Faqdurhulii, wa yassirhulii, tsumma baarik lifiih”. Itulah ukuran saya memilih ketika sudah menjalani shalat istikharah. Mana yang termudah, mana pintu kemungkinan yang masih terbuka, mana yang lebih baik secara agama. Saya pergi ke Bandung adalah pilihan yang baik. Saya pulang juga insya Allah adalah pilihan yang baik. Mohon doakan saya.