Terperosok ke Jurang Keberhasilan
Saya tidak ingat kapan saya mendengar istilah jurang keberhasilan untuk pertama kali, tapi dua nama yang saya ingat adalah Kate Gregory dan Jeff Atwood. Uniknya mereka berdua ini “bermusuhan”. Kate Gregory adalah pecinta C++, sementara Jeff Atwood adalah pembencinya. Sementara itu, saya adalah pembenci C++ yang sepuluh tahun lebih digaji karena kemampuan saya memprogram dalam C++. Tapi, bukan itu intinya. Mereka berdua mengutip perkataan seorang Rico Mariani salah satu pengembang platform .NET dari Microsoft. “Jurang Keberhasilan” adalah sebuah konsep utopia yang indah bagi mereka para ahli pengembang perangkat lunak. Rico Mariani jelas seorang ahli, begitu pula Kate Gregory dan Jeff Atwood. Saya memang bukan seorang ahli, tapi kecenderungan watak saya menarik saya kepada konsep indah ini.
Konsep ini menyatakan, ketika seorang ahli membangun sebuah framework, library, merancang suatu API, ataupun sekedar menulis kode biasa saja, dia harus berpandangan bahwa mereka yang akan memakainya akan “terperosok” untuk melakukan hal yang baik dan benar ketika memakai atau membacanya. Apa yang kita hasilkan haruslah menjadi sesuatu yang mudah dipakai, dan ketika sesuatu dipakai dengan agak sembarangan maka mereka tetap saja terhindar dari kesalahan fatal. Bahkan ketika mereka tidak tahu apa-apa dan sekedar ingin perkejaannya cepat selesai, mereka melakukan hal yang baik dan benar hanya dengan mencontoh pola yang sudah berlaku. Bagi saya, seorang ahli yang bisa mencapai derajat seperti ini adalah seorang ahli yang pintar kuadrat. Pintar pertama karena dia menyelesaikan masalah yang susah diselesaikan oleh orang lain. Pintar kedua adalah karena dia mengolahnya menjadi sesuatu yang mudah dipakai oleh orang lain. Sekarang, semua orang jadi “semakin pintar”. Tapi, harap diingat bahwa untuk mencapai keadaan seperti ini, seseorang harus bekerja sangat keras. Bisa jadi, usahanya pun harus kuadrat. Banyak orang tidak mau repot melangkah ke sini, karena sesuatu yang sederhana dan mudah dipakai oleh orang lain adalah sesuatu yang mudah dipamerkan. “Cuman begitu doang?” adalah perkataan yang sering muncul dari perkataan orang yang dua derajat di bawah tingkatan mereka.
Tapi, hari ini sebenarnya tidak ingin membahas soal itu. Saya ingin membahas soal “makin kaya seseorang, makin mudah bagi dia untuk jauh lebih kaya”. Setidaknya, itulah yang saya amati dan saya alami sendiri. Tidak, kekayaan yang saya maksud tidak hanya soal uang, tapi juga jenis kekayaan yang lain. Yang akan saya bahas, dengan istilah membumbung tinggi di awan, adalah soal kekayaan jiwa. Lalu mengapa antara judul dan isi artikel berbeda jauh? Itu karena ada kemiripan di antara keduanya. Untuk membangun jurang keberhasilan, seseorang butuh bekerja keras. Begitu juga untuk memperkaya jiwa seseorang butuh bekerja keras. Makin kaya jiwanya, makin mudah bagi dia untuk lebih kaya lagi.
Tidak ada Jalan Pintas
Saya percaya bahwa di dunia ini tidak ada jalan pintas. Mau kaya mendadak? OK, katakanlah kita bisa main saham. Tidak ada uang, bisa pinjam. Tapi, main saham tanpa ilmu? Bisa saja berhasil sekali kalau beruntung. Untuk tetap bisa meningkatkan kekayaan dengan menjadi investor amatir? Tetap saja tetap harus ada kerja keras. Mau badan kurus dalam waktu singkat? Bisa sih, sedot lemak. Tapi, orang kegemukan tidak boleh sedot lemak. Mau lembur tiap hari tapi tidak mau badan capek? Bisa, minum doping energy drink. Rasakan sendiri badan anda rusak satu dekade kemudian. Tidak ada jalan pintas yang tidak memakan korban. Karena itu, sudah menjadi prinsip hidup saya untuk menolak jalan-jalan pintas ini. Mereka ini berbahaya. Kalaupun anda suatu saat terpaksa melangkah melewati jalan pintas, langkahilah dengan hati-hati. Waspada dengan jebakan-jebakan yang menghadang di setiap langkah anda.
Lalu, konkretnya apa? Ya, sudah jelas dong. Kalau mau pintar, belajar. Kalau mau sehat, olahraga. Kalau mau jadi orang baik, ya beramal. Kalau mau jadi orang yang rendah hati, dengarkanlah dengan seksama apa yang dikatakan orang lain. Kalau mau dapat uang banyak, tidak, caranya bukan bekerja. Sampai saat ini saya masih tidak mengerti apa kaitan antara uang banyak dan kerja keras. Sepertinya tidak ada. Kalau mau cari suami yang setia dengan penghasilan bagus, nikahilah programmer, tapi jangan berharap kalau dia romantis. Terakhir, kalau mau hidup dalam keberkahan, jangan sedetik pun lupa dari mana keberkahan itu berasal.
Less Is More
Mana yang lebih baik, diskusi politik beracun di media sosial dengan kenalan yang hanya numpang lewat, atau ngopi bareng sama teman dekat? Mana yang lebih asyik, menarik layar ke bawah berkali-kali menunggu-nunggu pesan baru muncul di linimasa, atau ngobrol seru di warung bakmi goreng? Saya bisa dengan pasti mengatakan, hubungan-hubungan dangkal dengan orang-orang “tidak dikenal” di media sosial adalah sampah jika dibandingkan teman-teman asli yang ada di samping kita. Boleh jadi jumlahnya jauh lebih sedikit, tapi hubungan yang terjalin lebih mendalam dan lebih nyata. Dan, percayalah bahwa kita tidak butuh-butuh amat sama media sosial kok. Mereka yang butuh kita. Mereka butuh kita untuk tertambat di media mereka, meraup untung dari setiap detik tambahan yang kita habiskan di sana.
Mana yang lebih baik, menghabiskan satu jam di reddit setiap hari mengikuti perkembangan berita teknologi perangkat lunak terkini, atau menghabiskan satu jam setiap hari belajar Kotlin, MVI, dan Jetpack Compose? Sudah jelas kan? Berita reddit adalah banyak dan sangat menarik. Akan tetapi, konsumsi terhadapnya tidak membawa manfaat apa-apa bagi kita. Dua pekan lagi juga kita lupa apa isinya. Kalaupun sekedar ingin mengetahui perkembangan teknologi terbaru, satu jam sepekan sudah cukup.
Mana yang lebih baik, menghabiskan setiap malam dua jam kadang begadang nonton drama Cina dan Korea yang tidak jelas, atau hanya nonton drama berkualitas saja seminggu dua episode saja? Percayalah, saya penggemar drama Korea dan juga Cina. Dalam setahun, paling-paling hanya satu atau dua drama yang benar-benar bagus. Katakanlah dua drama korea dan dua drama Cina. Katakanlah panjang drama Cina standar baru adalah 36 episode, sementara Korea kembali ke standar lama 16 episode. Total cuma 104 episode saja. Dibagi dengan 52 minggu, maka seminggu kita cuma perlu nonton 2 episode saja. Dan itu sudah pasti bagus, sebagai sebuah hiburan. Yang lain, lupakan saja. Kurang kerjaan sekali kita menghabiskan waktu mengotori otak kita dengan drama jelek nggak penting setiap harinya. Jadi, harap diingat saya tidak anti hiburan ya. Begitu juga dengan ngegame. Kalau bisa main FIFA langsung di depan PS serta bersumpah serapah langsung di hadapan teman-teman kita, itu lebih bagus daripada main DoTA dengan orang yang tidak dikenal. Kalau memang lebih suka main DoTA, ya jangan jauh-jauh mainnya, sama teman sekantor saja, biar tetap bisa bersumpah serapah ria.
Keuletan Berakar dari Kesegaran
Orang itu dikatakan ulet kalau dia bisa bertahan dalam mengatasi tekanan dan tarikan. Jadi begini, bahkan yang namanya logam saja bisa lelah, apalagi manusia. Karena itu, saya percaya bahwa orang yang paling bisa mengatasi tekanan bukan orang yang bekerja tanpa kenal lelah, tapi orang yang bisa beristirahat dengan cukup. Bagaimana mungkin kita bisa melawan balik tantangan yang akan kita hadapi keesokan hari, jika kita tidak membiarkan otak kita beristirahat dan tubuh kita memulihkan keadaannya? Karena itu, bagi saya “teng-go” adalah suatu keharusan, bukan karena saya membenci pekerjaan saya, tapi karena saya selalu ingin dalam puncak kehebatan saya ketika bekerja.
Keseimbangan adalah Saling Menguatkan
Beberapa orang berfikir bahwa hidup seimbang itu bagus dan ideal, tapi kadang kita harus mengorbankan satu hal untuk mendapatkan hal lainnya. Ini benar jika kita membahas manajemen sumber daya, tapi salah besar jika membahas soal diri kita. Untuk mendapatkan hasil terbaik dari salah satu aspek, kita harus menyeimbangkan semuanya. Ketiga aspek dari diri kita itu adalah, aspek jiwa, aspek raga, dan aspek akal.
Sebagai contoh, sebagai seseorang yang kurang aktif secara fisik sejak kecil, saya tidak merasa membutuhkannya. Beberapa tahun terakhir saya mencoba memulai merutinkan olahraga, walaupun selalu gagal untuk bertahan lama. Ketika saya berhasil beberapa bulan selalu berolahraga, saya merasakan bahwa saya bisa berkonsentrasi lebih lama dan lebih baik, walaupun saya menghabiskan waktu yang sama. Biasanya, dalam keseharian lembur saya, setelah melewati jam 6 malam, saya sudah susah berkonsentrasi dan kesulitan untuk memikirkan hal-hal yang rumit. Ternyata, anekdot saya ini terbukti secara ilmiah. Olah raga teratur, terutama olah raga kardio, telah membantu mengembangkan akal dan jiwa saya.
Begitu juga dengan olah jiwa. Saya baru saja mulai membaca “Lead Yourself First”. Di situ dikatakan, bahwa seorang pemimpin sebaiknya menyediakan waktu untuk bermeditasi dan merenung sendiri, sebelum dia keluar ke hadapan orang banyak untuk memimpin mereka. Olah jiwa akan membantu kita untuk bersikap tenang terhadap tantangan apapun yang akan kita hadapi. Dan, tentu saja orang kalau jiwanya tenang maka tubuhnya akan terhindar dari penyakit-penyakit tidak jelas.
Work Hard, Play Hard
Menurut Cal Newport dalam bukunya “Deep Work”, otak kita itu sangat aktif. Setelah selesai bekerja, maka otak kita itu sebenarnya tidak butuh istirahat. Dia cuma butuh beralih melakukan kegiatan yang lain. Inilah mengapa saya tidak mau lembur. Awalnya, saya mengisi pengalihan perhatian tersebut dengan bermain game atau menonton drama. Atau, lebih sering lagi dengan membaca-baca artikel pemrograman. Akan tetapi, kegiatan konsumsi ini ternyata malah membuat saya semakin lelah mental. Kemudian, saya mencoba resep dari Carl untuk menekuni hobi yang serius. Dan, memang ternyata berhasil. Entah ini placebo effect atau bukan, “play hard” telah membantu saya lebih kreatif. Kalau dulu, saya selalu mengagumi Rich Hickey dengan pendekatan “Hammock Driven Development"-nya. Ini sejalan dengan itu. Bahwa solusi kreatif itu akan kita dapatkan jika kita membiarkan otak kita berpikir di belakang. Kalau tidak memaksanya dengan menyibukkannya dengan kegiatan lain, bagaimana kita bisa berhasil? Ya pastinya kita akan nyangkut di situ lagi, di situ lagi.
Intinya adalah Pengendalian Diri
Bagaimanakah cara paling efektif untuk menyelesaikan pekerjaan kita? Kita para engineer tidak suka diatur-atur terlalu jauh oleh para manajer. Kita ingin diberi kebebasan. Beberapa orang yang belum tercerahkan oleh agama agile akan berfikir, kasih saya deadline. saya akan selesaikan pada waktunya. Habis itu, dia menghilang sampai saatnya mengumpulkan tugas. Bagi dia, yang penting pekerjaan beres, apa sih pentingnya pengawasan melekat nggak jelas seperti itu? Cara seperti ini tidak pernah berhasil dengan baik untuk diri saya. Saya adalah orang yang mudah tersesat dalam lamunan engineering saya, masuk ke lorong-lorong gelap gang kelinci, mengejar sesuatu yang tidak pasti.
Manajemen diri merupakan salah satu titik lemah saya, karena itu saya menerapkan sebuah cara sederhana untuk membuat diri saya tetap di dalam jalur. Saya memiliki roadmap untuk hal yang akan saya kerjakan. Sebut saja ini rencana jangka panjang. Rencana jangka panjang ini kemudian saya jalankan dengan siklus harian PDCA, atau plan-do-check-adjust. Setiap pagi, saya akan membuat check list apa yang harus saya kerjakan hari itu. Kemudian, saya gas habis untuk melaksanakan apa yang ada dalam task list. Sebelum pulang, saya lihat apa yang bisa selesai, apa yang tidak. Kemudian, saya lakukan penyesuaian dan pengaturan prioritas. Kemudian saya pulang dan melupakan semuanya. Paginya, saya lihat catatan saya, lalu saya membuat checklist baru berdasar catatan dari hari sebelumnya. Cara sederhana ini ternyata lumayan efektif untuk orang yang manajemen dirinya lemah seperti saya.
Begitu juga dengan jadwal kegiatan hidup saya keseluruhan. Kapan harus kerja, kapan harus tidur, kapan harus bersenang-senang, kapan harus mengembangkan hobi saya, semuanya tercantum dalam jadwal mingguan saya. Jadwalnya lumayan sederhana dan mudah dihafalkan dan diikuti, sehingga saya juga mudah untuk melaksanakannya. Dengan demikian, seluruh kehidupan saya sudah direncanakan dengan baik, walaupun tidak sampai ke hitungan menit.
Inilah cara terbaik jika kita ingin meraih mimpi kita, yaitu dengan pengendalian diri. Hanya dengan pengendalian diri saja kita bisa semakin dekat dengan hal yang kita idam-idamkan. Begitu kita mulai belajar mengendalikan diri, tiba-tiba saja kita merasa punya banyak waktu luang. Ibarat kita ingin pulang ke rumah kita naik kuda melewati jalan yang lurus. Kalau kita tidak mengendalikan kuda kita, bisa jadi dia akan berhenti di tengah jalan, atau balik lagi, atau muter-muter gak jelas, atau masuk gang sempit mengejar kuda betina. Baru setengah jam yang lalu makan, dia ingin makan lagi begitu bertemu padang rumput. Kemudian dia tidur di sana. Harusnya kita sampai di rumah bisa dua jam, gara-gara kudanya tidak dikendalikan dengan baik, 10 jam kemudian baru sampai.
Lalu, Selanjutnya Apa?
Semua hal yang saya sebutkan tadi butuh perjuangan keras. Akan tetapi, saya merasa tidak punya pilihan lain. Karena, hanya dengan melakukan hal-hal tersebut maka saya menjadi versi terbaik dari diri saya. Melakukan hal-hal ini memang susah, tapi akan jauh lebih susah bagi saya untuk meninggalkannya. Kadang-kadang, tidak berbuat apa-apa adalah hal yang paling susah dalam hidup kita. Kadang-kadang, terombang-ambing tanpa makna lebih membuat depresi daripada mengatasi tantangan yang ada di hadapan kita. Most of the times, the easiest way is to go up. Menuju ke puncak memang sulit, tapi itu lebih mudah daripada berhenti atau turun ke bawah.