Ngawur yang Tidak Sesat

Banyak di antara kita yang baru dapat hidayah tertegun. Ini kok Islam banyak modelnya? Harusnya, ngikut yang mana ya? Kalo dari kengawuran yang lalu, jelas bahwa asalkan ngikut ulama yang banyak, itu sudah lumayan aman. Justru kalo ngikut ulama lokal yang suka beda dari banyak ulama berkaliber internasional, itu harus dipertanyakan. Eh, tapi banyak juga ulama internasional yang gelarnya doktor-doktor itu berbeda dari ulama-ulama internasional yang lain. Nah, inilah yang kemudian membuat kemudian kita jadi sedikit pusing. Ingat ya, tujuan di sini adalah gimana caranya bisa ngawur dengan gampang tapi (insya Allah) tidak sesat. Namanya orang awam kan cuma bisa begitu.

Bukan hanya masalah itu saja. Namanya orang beramal itu harus ada dasarnya. Kalo kebetulan kita mengamalkan sesuatu yang kuno dan primitif, bagus lah. Artinya, pasti sudah dibahas sama ulama-ulama terdahulu. Tapi, kalo ternyata ada perkembangan baru, bagaimana? Misal, soal penentuan awal Ramadhan. Mau bagaimanapun, pokoknya mau hisab atau rukyat dua-duanya benar. Tapi, hisab jaman dulu atau sekarang itu jelas beda. Lagi, soal zakat profesi. Yang namanya siti’o yunikron aiti pasti gajinya guede. Masa gak ada zakatnya sama sekali. Tapi, kalo mau pake nishab zakat profesi, kok kerasanya jauh ya. Gajian kok disamain dengan bertani. Ulama modern sudah bahas, dan tentu saja kita bisa ikut. Tapi, yang bahas baru sedikit sekali.

Itu baru soal fiqh. Tapi, yang namanya beramal itu kan butuh motivasi. Butuh laku tertentu agar kita selalu bergerak kepada hal-hal yang baik. Untuk itu, butuh ngaji yang banyak. Bukan saja ngaji ilmu saja, tapi juga ngaji supaya terus menerus mengingatkan diri agar tetap di jalan yang lurus. Karena itulah, walopun kita-kita ini banyak yang cuma santri yutup, tapi setidaknya kalo nonton ceramah-ceramah ustadz, ketemunya ustadz-ustadz yang bener.

Di sinilah kemudian kita ketemu dengan bermacam-macam jamaah dan organisasi Islam. Beragama kalo serba sendirian itu nggak enak. Adanya nanti malah ditemenin jin setan. Selalu mikir yang enggak-enggak, bukannya bener malah jadi sesat sendirian. Lebih mendhing kalo kita berislam bareng-bareng. Minimal, ikut kelompok kajian pekanan. Atau, ikut kegiatan-kegiatan keislaman di dekat rumah. Nah, paling tidak, kan kalo kesasar bareng-bareng. Ya, daripada ditemenin sama jin setan, kan mending ditemenin sama …​ manusia-manusia setan?

Itulah mengapa saya terusik. Ada nggak ya, kiat-kiat ngawur memilih ulama dan jamaah supaya kita tidak sesat?

Ngawur dalam memilih ulama

Ulama itu jelas orang yang banyak ilmu agamanya. Tapi, itu kan bagi kita relatif. Kalo kita nggak ngerti sholat, maka ulama itu adalah orang yang bisa mengajarkan kita sholat. Walopun dia cuma membaca buku panduan shalat. Itupun nggak jelas dasarnya dari siapa. Kalo kita sudah tahu dengan fiqh imam madzhab, maka ulama berubah menjadi kitab-kitab fiqh berbahasa Indonesia yang mengaku merangkum dari kitab-kitab fiqh dari bahasa Arab. Ini saya banget ini. Ngaku-ngaku madzhab Hanafi, tapi cuma punya satu sumber fiqh, dari "Seri Fiqih Kehidupan". Kalo bisa bahasa Arab dan juga nyantri, bisa jadi rujukannya sudah berubah jadi "Kifayatul Akhyar" atau apa gitu. Ya pokoknya gitu.

Memang jadi orang bodoh itu gampang-gampang susah. Kata orang englis, "You don’t know what you don’t know". Bayangkanlah ada orang tuli disuruh menilai keindahan musik Beethoven. Nggak bisa kan? Nah, bagaimana kalo orang itu tidak tuli, tapi disuruh mendengarkan dari speaker rusak yang cuma bisa mengeluarkan suara brr…​ brr.. ngoook…​ . Kedengeran, tapi jelek banget kan? Kalo speakernya bagusan dikit, baru bisa deh kedengeran nada yang beda-beda. Lebih bagus lagi speaker-nya, bisa membedakan nada yang lembut dan yang keras. Bayangkanlah bahwa speaker itulah telinga anda, sementara anda adalah seorang pemain musik.

Begitulah yang namanya bodoh itu. Yang bisa tahu sebodoh apa kita cuma orang pintar. Dan, kadangkala ini nggak seperti main bola. Nggak bisa nendang ya berarti nggak bisa main bola. Kalo nggak bisa mikir, adanya cuma ngeyel, ngotot, dan ngawur. Mangkanya, kalo anda orang pinter, jangan kebanyakan main sama saya. Buang-buang waktu. Masalahnya, sebodoh apapun kita, tetaplah kita harus beragama dengan sebaik mungkin. Kalo gitu, kira-kira ciri-ciri ulama yang bisa diikuti itu yang kayak gimana ya?

Tidak boleh lebih bodoh dari kita

Ini yang paling kelihatan. Kalo kita tidak bisa sholat, yang lebih berilmu adalah yang bisa sholat. Kalo kita bisa sholat, yang lebih berilmu adalah yang tahu bahwa tiap-tiap lafadz dan gerakan sholat itu asalnya dari hadits nabi yang mana. Kalo kita sudah tahu dasar dari sholat kita, maka yang lebih berilmu adalah yang faham soal fiqh sholat menurut masing-masing madzhab, mana doa dan gerakan yang wajib, mana yang sunnah.

Begitu juga soal memahami Al-Quran. Kalo kita tidak bisa bahasa Arab, maka yang lebih berilmu adalah yang mengerti bahasa Arab. Kalo kita mengerti bahasa Arab, yang lebih berilmu adalah yang mempelajari ulumul Qur’an dan tafsir. Di atasnya lagi, ada para ahli tafsir yang sudah pasti hafal Al-Quran.

Ini sebenarnya sudah otomatis. Masa ada orang ngaji sama orang yang lebih bodoh dari dia? Makanya, dulu saya heran ada cerita lulusan ilmu syariah ngaji sama orang yang baca Quran-nya masih terbata-bata. Ngawur itu. Kalo sekedar jadi panitia kegiatan atau berada dalam organisasi keislaman yang sama gak masalah. Pemimpin nggak harus orang yang paling ahli kan?

Logikanya bagus

Ini…​ jelas. Tapi, ya tidak sejelas itu juga. Yang guoblok banget tapi fantastis itu, misalnya ada ulama yang menolak hukum alam yang bahkan ada di hadapannya. Misal, ngaji pake youtube tapi bilang kalo bumi itu datar. Apalagi kalo dia ngaku lulusan sarjana dari universitas ternama. Goblok kuadrat itu namanya. Bahkan, sekedar bilang bahwa bumi datar atau bulat itu khilafiyah gak boleh. Kalo yang bilang begitu itu ulama yang nggak lulus SD, masih dimaafkan lah. Tapi, biasanya emang kita gengsi ngaji sama orang yang nggak lulus SD. Pendidikan dasar aja 9 tahun.

Ini soalnya saya lulusan komputer, mangkanya dikit-dikit bisa ngomong kayak gini. Contohnya ustadz bumi datar tadi. Beneran saya dendam sama mereka-mereka ini. Tidak bersyukur, sudah menghabiskan puluhan juta rupiah utk bersekolah, eh disia-siakan begitu saja. Mau ilmunya banyak kalo nggak punya logika ya tertolak. Pastilah hasil pemikirannya rusak. Dengan demikian, nanti kita yang ilmunya dikit ini jadi tersesat. Apalagi kalau ada yang ngaku ulama tapi menolak logika. Katanya belajar logika itu sesat. Logika itu ilmu dari Yunani, katanya. Udah, nggak usah didengerin. Mereka ini jelas aliran sesat. Mereka bikin goblok umat Islam Indonesia. Kalau perlu, mereka dilarang pemerintah saja.

Menjunjung tinggi kejujuran Ilmiah

Mengapa kejujuran ilmiah itu penting? Karena setan itu menyelinap di hati semua orang, termasuk di hati ulama. Ulama yang layak diikuti adalah ulama yang lebih cinta pada kebenaran dan ilmu ketimbang egonya sendiri atau kemasyhurannya sendiri. Karena itu, sesalah-salahnya mereka, mereka selalu mengarahkan diri mereka pada ilmu dan kebenaran, bukan karena pengen cari menang ketika berdebat atau pengen merayu ummat untuk mengikuti pendapat mereka.

Ini sebenarnya ada cara gampangnya sih untuk mengetahuinya. Coba aja liat para da’i-da’i seleb itu. Ketika mereka salah, apa yang mereka lakukan? Kalo mereka ringan dalam mengakui kesalahan dan meminta maaf, itu adalah pertanda yang bagus. Kalo mereka meminta maaf, tapi masih setengah membela diri sambil ngedumel, kita harus hati-hati. Kalo sudah jelas salah bahkan dalam penilaian orang-orang yang lebih nggak faham tapi masih ngeyel, sudah tinggalkan saja. Untung kita bisa tahu dia pas lagi salah. Kalo pas lagi nggak tahu? Bahaya memang ulama curang seperti ini.

Ciri-ciri ulama curang yang kedua adalah tidak menghargai ulama-ulama lain yang lebih ahli. Ingat ya, menghargai itu tidak harus mengikuti. Tapi, kalau orang yang lebih ahli tidak didengarkan tapi malah dibentak-bentak, bisa dibayangkan bukan betapa sombongnya orang ini? Boleh saja berpendapat berbeda dengan yang lebih ahli, wong pendapat kita juga cuma berusaha mengikuti ulama lain kok. Yang ulama beneran belum tentu menyalah-nyalahkan kok, maka apa hak seseorang yang ngakunya ulama tapi baik dari ilmu maupun penalaran kalah untuk menyepelekan orang yang lebih ahli?

Ulama yang tidak curang itu adil. OK, maaf. Tapi, maksudnya begini. Dia tidak segan-segan menyampaikan dan menyebutkan pendapat-pendapat lain yang tidak dia ikuti. Walopun jika pada akhirnya dia berfatwa dengan pendapat tertentu ketika ditanya seseorang, tetaplah dia menyampaikan ilmu itu apa adanya. Tanpa ditutup-tutupi. Era internet kok mau menutup-nutupi kebenaran. Ada-ada saja. Apalagi sampe memalsu kitab. Ini sudah kelas parah banget. Sesat menyesatkan itu. Ulama yang benar pasti tahu bahwa perbedaan pendapat itu fitrah. Karena itulah, mereka menghargai perbedaan pendapat dan tidak buru-buru menyalahkan pendapat lain.

Tidak Meminta Imbalan

Ini rada sensitif. Awalnya saya ragu mau nulis ini. Tapi, godaan dunia paling kuat itu menurut pengalaman pribadi saya ada dua, godaan jumawa dan godaan kenikmatan dunia. Godaan jumawa itu gampang menjangkiti ulama, dan yang terdampak adalah kejujuran ilmiah. Godaan kenikmatan dunia, siapa orang yang tidak lemah di hadapannya? Karena itu ilmu yang lurus itu memancar dari orang yang tidak diperbudak oleh kenikmatan dunia.

Ya, gampangnya gini aja deh. Saya nggak suka dan nggak pernah merokok. Seandainya saya ulama, maka saya dengan gampang akan mengharamkan rokok. Apalagi, setelah sering melihat poster bahaya merokok di puskesmas-puskesmas. Sementara itu, ustadz Kosim sejak remaja sebelum rajin belajar agama sudah merokok. Bagi dia, rokok itu halal. Paling banter ya makruh. Nggak ada manusia yang kebal dari bias-bias lingkungaan kayak begini. Tapi, sebagai ulama nggak boleh punya sikap begini. Sekalipun nggak bisa berhenti merokok, kalo secara ilmiah jatuhnya haram, ya tetap haram. Sekalipun nggak suka merokok, kalau ternyata bahayanya nggak sebesar orang diabetes yang minum teh manis tiga kali sehari, ya nggak jadi haram

Karena itulah, soal imbalan ini jadi sesuatu yang pelik. Banyak mubaligh yang menetapkan tarif. Berapa menit tampil, sebanding itulah bayarannya. Makin tinggi tarifnya, makin bagus penampilannya. Bukan soal boleh atau nggak boleh. Kalo berdakwah itu pake tarif, mana ada rasul yang bakalan diterima sama umatnya? Nggak dibayar aja udah ditolak, bahkan diancam mau dibunuh. Kalo mau jadi ulama pewaris nabi, maka harusnya memiliki mental yang sama dalam berdakwah. Bahkan, mencegah kemungkaran itu wajib. Kalo cuma diam gara-gara nggak dibayar, jadinya malah berdosa. Bahkan katanya, punya ilmu tapi nggak diajarkan itu sudah dosa.

Agak lain dengan soal politik. Intuisi orang awam memang ada benarnya. Mereka langsung hilang hormat terhadap ulama yang masuk ke politik praktis. Memang politik ini banyak busuknya. Tapi, kalo nggak ada orang shalih yang menahan bahaya orang-orang berhati busuk di politik, yang celaka ya kita-kita ini. Masalahnya, ulama yang masuk ke politik praktis kemerdekaan keilmuannya hilang. Dia sudah susah berbicara sesuai kadar keilmuannya, karena berada dalam lingkup kekuasaan yang jauh lebih kuat. Boleh jadi, dia masih shalih, tapi tetap saja akan susah baginya untuk berbicara setegas ketika masih merdeka.

Ngawur dalam Memilih Jamaah

Sejak dari SMA, di kampus, bahkan hingga ketika saya bekerja, saya bersentuhan dengan beberapa jamaah dan organisasi keislaman. Harusnya kan ya, jamaah itu nggak harus punya madzhab atau pemahaman agama tertentu. Nyatanya, tiap-tiap jamaah punya ciri khas tersendiri dalam mengamalkan agama. Kayak NU misalnya. Dibilang mengakui empat madzhab, nyatanya Syafi’i. Dibilang Syafi’i, nyatanya yang perempuan jarang yang bercadar. Jadi, pada akhirnya jamaah apapun secara alamiah akan punya "aliran" mereka sendiri. Walaupun ya, kadang ini cuma corak beragama saja yang tidak menabrak keilmuan Islam. Kadang ada juga yang lain. Kayak Muhammadiyah yang tidak bermadzhab misalnya. Akhirnya, jadilah madzhab Muhammadiyah. Atau kayak orang-orang PKS, yang sehabis hafal Arba’in An-Nawawiyah langsung lompat ke "Halal wal Haram"-nya Eyang Qardhawi.

Saya tidak akan menyebut manakah di antara jamaah ini yang harus dijauhi ataupun mana yang boleh diikuti. Jamaah apapun itu sifatnya dinamis. Bisa jadi jamaah yang tadinya diisi orang-orang berilmu yang tawadhu', berubah menjadi jamaah yang takabur dan dipimpin oleh orang-orang bodoh. Atau, ada juga jamaah yang dijaga oleh orang-orang alim yang lurus, tapi di sebagiannya digerogoti oleh hamba hawa nafsu yang menyesatkan umat. Jadi, kalo kebetulan kita merasa perlu untuk bergabung dengan jamaah tertentu untuk memperbaiki amal shalih kita dan supaya bisa punya banyak teman untuk berlomba berbuat kebaikan, maka kita tahu harus mengikuti yang seperti apa.

Bukan yang Paling Benar

Jamaah apapun yang menyatakan diri bahwa hanya mereka yang benar sementara yang lain menyimpang adalah jamaah yang menyimpang itu sendiri. Jamaah lho, bukan agama. Hal ini karena perbedaan pendapat itu sudah diakui Rasulullah sejak jaman awal Islam. Menafikan perbedaan itu hanya menandakan satu hal, jamaah ini arogan. Kalo jamaah ini arogan, sekalipun suatu saat mereka berada dalam kebenaran, pada saat yang lain dia akan susah menerima kebenaran yang tidak sesuai pendapatnya. Inilah akar penyimpangannya.

Yang lebih aman ya kita ikut jamaah yang mendakwakan dirinya seperti organisasi biasa. Kalo masuk bukan berarti tobat, keluar bukan berarti fasiq, dan di dalam jamaah bukan berarti lebih beriman. Cuman, kalo berislam rame-rame kan syiarnya bisa jauh lebih kuat. Ya tapi, kalo jamaah itu terlanjur lama berdiri, biasanya rasa kepemilikan orang-orang di dalamnya jadi terlampau kuat. Yang penting, jangan sampai pemimpin-pemimpinnya ikutan fanatik juga. Biasa itu, nggak ada jamaah yang sempurna.

Tidak Suka Mengkafirkan

Ini hampir sama dengan sebelumnya, tapi butuh ditegaskan lagi karena penting. Mengkafirkan orang yang bersyahadat itu berat. Kalo kata Rasulullah, "ucapan itu akan kembali kepadanya". Karena itu, tidak usah berpanjang lebar lagi. Jamaah apapun yang berpendapat di luar jamaahnya adalah kafir jangan diikuti. Mereka ini jelas sesat.

Tidak Merasa Lebih Baik

Mungkin memang alam bawah sadar saya menganggap hal ini penting sehingga saya mengulang-ulang masalah serupa hingga tiga kali. Saya mengenang masa muda saya ketika berada di dalam suatu jamaah. Sebutan untuk orang yang taat beragama tapi belum masuk ke dalam jamaah kita adalah "hanif". Baru setelah dia masuk, kita menyebut dia sebagai "ikhwan". Memang jamaah ini arogan, tapi halus. Dan fenomena seperti ini merata. Yang seperti ini bahaya. Lulusan pesantren kok cuma dibilang "hanif".

Tidak Sedang Perang

Kita ini sekarang di Indonesia. Saat ini, kita dalam keadaan damai. Masa-masa orde baru sudah lewat. Orang-orang bebas berislam sesuka hati. Karena itulah, jangan mengikuti jamaah apapun yang mengkondisikan anggotanya selalu dalam keadaan perang. Mental yang dibentuk adalah mental berkelahi dengan orang di luar jamaahnya.

Apalagi jika ada banyak ulama di luar jamaahnya. Mereka mungkin tidak menganggap ulama-ulama itu sesat, tapi menganggap mereka semuanya orang-orang yang menuruti hawa nafsu dan kepentingan politik yang hina. Apalagi jika jamaahnya sendiri juga politis. Ini masalah, karena seakan-akan Islam cuma milik jamaah mereka saja.

Yah, yang namanya pergesekan antara organisasi yang berbeda itu biasa. Tapi, itu bukan berarti saudara-saudara kita fasiq sementara cuman kita sendiri yang mu’min. Di sini banyak orang mu’min, di sana juga banyak. Di sana banyak orang fasiq, di sini juga banyak. Harusnya, jamaah-jamaah ini jangan bermusuhan, tapi berlomba-lomba dalam kebaikan. Walaupun pada akhirnya berbeda kepentingan politik dan bergesekan, tidak masalah. Itu cuma politik. Mereka harusnya tetap jadi saudara kita.

Jamaah Ngawur dan Bodoh

Dua puluh tahun lalu, saya adalah anggota jamaah ngawur dan bodoh yang bernama…​ Si ROHIS. Ya iyalah ngawur dan bodoh. Orang masih SMA. Karena hegemoni jamaah ini, maka warga sekolah yang tadinya tahu Islam cuma "sangat sedikit", jadi tinggal "sedikit saja". Beberapa tahun setelah teman-teman saya beramai-ramai keluar dari jamaah ini, banyak fenomena menarik terjadi. Yang tadinya tidak berjilbab menjadi berjilbab. Yang tadinya dicap sebagai "musuh dakwah" kemudian menerima hidayah. Ada juga yang sebaliknya. Tapi, yang terjadi pada orang kebanyakan tidak begitu. Mereka-mereka ini hatinya baik dan mau menerima nasihat yang baik. Islam jadi bagian penting dari kehidupan mereka.

Miris memang kalau yang membimbing kita-kita yang bodoh ini sama-sama orang bodoh juga. Tapi, tanpa adanya orang-orang bodoh yang gemar berdakwah ini, mungkin saat ini muslimah berjilbab tidak akan sebanyak ini. Bahkan kadang saya sampai kaget. Ada yang tidak pernah sholat, tapi tetap konsisten berjilbab. Bagi saya yang generasi milenial awal, ini aneh luar biasa tentu saja. Ini kemudian membuat saya bertanya-tanya, jamaah orang-orang bodoh ini melakukan perbaikan atau kerusakan? Karena kebodohan kami dulu, celana cingkrang, jenggot, jilbab panjang, dan tidak pacaran jadi kelihatan lebih penting dari mengenal dan mencintai Allah. Tapi, justru dengan berjumpa jamaah bodoh inilah saya menemukan jalan untuk menyembah-Nya. Walaupun, masih tetap bodoh juga. Tapi, ya jelas nggak sebodoh dulu.

Kebodohan itu merusak. Karena itu kita harus terus menerus belajar dan mengikuti ulama yang benar. Fanatisme itu menutup kebenaran. Karena itu saya tidak sebut nama dan hanya sebut kriteria. Ulama-ulama dan jamaah-jamaah yang memenuhi kriteria-kriteria ini datang dan pergi. Apakah kriteria ini benar? Silakan dinilai sendiri. Saya cuma yakin satu hal. Kalau kita punya niat tulus menjadi orang baik, Allah akan menunjukkan jalannya di manapun kita berada. Mau ngaji di mana pun, itu urusan nomer dua. Yang penting, pastikan kita ngaji dengan Quran yang sama, hadits-hadits Rasulullah yang sama, dan dengan ulama-ulama yang tidak menyimpang dari apa yang dilakukan dan diajarkan nabi, sahabat-sahabatnya, dan ulama-ulama terdahulu. Yang juga tidak kalah penting adalah akhlaq para ulama ini terhadap ilmu. Dan, saya punya sedikit keyakinan bahwa kita bisa melihat akhlaq ustadz-ustadz kita terhadap ilmu untuk menerka bahwa kita benar-benar belajar pada ustadz yang adil dan benar-benar mencintai ilmu.

Jadi, Kamu Ikut Jamaah Apa?

Saya lagi nggak ikut jamaah apapun. Saya lagi fokus sama diri sendiri dan keluarga saya dulu. Lagipula, biasanya kalo ikut jamaah tertentu biasanya jadi ketiban tanggung jawab aneh-aneh. Saya nggak mau. Lagi seneng-senengnya kerja. Saya ikut jamaah Isya dan Subuh di masjid dekat rumah saya saja.