Antara Paguyuban dan Perusahaan

Saya keturunan orang Jawa dan dibesarkan di Yogyakarta. Tapi, hingga setua ini, entah mengapa saya selalu canggung untuk menyatu benar-benar ke dalam budaya Jawa. Mungkin karena budaya Jawa kental oleh bahasa-bahasa rahasia yang hanya bisa saya kenali dari permukaannya saja. Bahkan, untuk sekedar melangkah masuk ke dalamnya sebentar saja, saya berkeringat dingin. Apalagi jika harus beredar di dalamnya untuk waktu yang lama.

Tapi, itu bukan berarti saya tidak terpengaruh sama sekali oleh budaya Jawa. Yang pertama, jelas logat saya yang medhok ini susah sekali untuk dihilangkan. Yang kedua, indoktrinasi selama lebih dari dua puluh tahun membuat sebagian dari norma-normanya tertanam sebagai rasa tidak enak dalam hati jika melanggarnya. Boleh dibilang ibarat mobil, body Jawa, mesin entah dari mana.

Selama sepuluh bulan saya melarikan diri dari kenyataan hidup dan menyepi di sebuah dataran tinggi. Kemiripan tempat tinggal ini dengan tempat lahir saya, membuat saya makin memahami arti hubungan antar manusia. Untungnya, ini adalah tempat kerja. Malangnya, saya sama sekali tidak bisa menguasai bahasa daerahnya. Dua hal ini membuat saya bisa berinteraksi dan belajar menjadi manusia tulen, sebagaimana layaknya manusia-manusia yang lain. Saya tidak perlu takut salah berbahasa halus, karena memang tidak bisa sama sekali. Saya tidak pernah kehabisan bahan untuk dibahas, karena yang dibahas adalah software engineering, dan bukannya cara mengusir garangan dari sawah. Saya tidak akan absen dari pertemuan, karena itu adalah tugas utama saya, dan bukannya karena wajib setor muka dengan alasan loyalitas terhadap paguyuban.

Sebuah Paguyuban

Kalau kita membayangkan suatu perusahaan, maka kita membayangkan sebuah lembaga dengan tujuan utama untuk mencari untung sebesar-besarnya. Caranya bisa macam-macam, dan ini tergantung ego, pengalaman, dan kemampuan pengendali-pengendalinya, mulai dari jualan beras, jualan sabun bikinan sendiri, hingga jualan (tenaga) orang. Semua cara dipikirkan dan diusahakan agar perusahaan lestari, bahkan berkembang besar.

Tapi, ternyata bukan itu satu-satunya orang mendirikan perusahaan. Ada yang mendirikan perusahaan karena sebuah cita-cita besar membangun bangsa ke arah yang lebih maju. Ada yang mendirikan perusahaan untuk memberi lapangan pekerjaan bagi putera puteri terbaik bangsa. Ada juga yang mendirikan perusahaan karena alasan sederhana, yaitu ego tidak mau bekerja untuk orang lain. Alasan-alasan non teknis inilah di antaranya yang membentuk budaya kerja suatu perusahaan.

Tersebutlah suatu perusahaan dengan budaya kerja yang sangat asing bagi saya, padahal ini perusahaan pribumi. Teman saya menyebut budaya ini sebagai budaya paguyuban, berkaca dari kemiripannya dengan budaya kerja ASN. Prinsip utama budaya paguyuban adalah gotong royong. Tidak ada yang namanya sikut-sikutan di sini. Semuanya saling membantu, walaupun itu bukan bagiannya dan tidak berkaitan dengan pekerjaannya. Prinsip yang lain lagi, adalah kesetiaan. Jika perusahaan membutuhkan, maka harus siap sedia berjuang demi kesuksesan bersama. Kalau perusahaan sukses, maka karyawan akan ikut menerima hasilnya. Jika perusahaan dalam kesulitan, maka karyawan diharapkan turut bersabar mengarunginya bersama perusahaan. Ada juga prinsip menghormati pimpinan. Pimpinan bertugas mengayomi dan mengarahkan karyawan lain yang dipimpinnya. Karena itu, karyawan yang dipimpin harus menghargai apa yang mereka lakukan dengan memperhatikan betul masukan dan arahan pimpinan supaya tercipta keselarasan kerja yang baik. Semua ini adalah prinsip-prinsip yang baik, yang kalau dilaksanakan secara benar akan menghasilkan hal-hal yang baik juga. Setidaknya, begitulah niatnya.

Mesin Pencetak Uang

Perusahaan sejatinya adalah mesin pencetak uang. Karyawan direkrut sebagai alat produksi. Atau, bukan alat produksi, melainkan dianggap sebagai aset. Kehilangan karyawan adalah kerugian bagi perusahaan. Ini adalah prinsip klasik yang saya fahami dan saya ketahui sejak sehabis lulus.

Yang namanya aset, ya harus dipelihara. Walaupun memang memelihara aset itu susah, wong asetnya bisa jalan-jalan sendiri, malah kadang bisa nangis bahkan bunuh diri. Cara memelihara aset utamanya adalah dengan gaji. Si aset ini akan terus menghasilkan selama dia terus digaji. Terus, si aset ini tidak boleh sakit. Kalau sakit, maka perusahaan rugi. Makanya, ada perusahaan yang menerapkan kalau sakit melebihi batas jumlah hari sakit, maka karyawan tidak dibayar. Kalau aset itu sudah tidak menghasilkan, ya dibuang alias dipecat. Apalagi kalau aset itu malah justru menghambat jalannya roda perusahaan, tidak peduli seberapa pintar si aset.

Makanya, kalau bertemu perusahaan seperti ini, hal yang paling sia-sia dilakukan adalah menunggu dan berharap atasan melihat kerja keras kita lalu menaikkan gaji kita dengan sendirinya. Kita bekerja lembur, itu artinya perusahaan untung, makanya dibiarkan. Kita naik gaji, maka perusahaan rugi. Makanya kalau tidak minta, tidak akan dinaikkan. Perusahaan seperti ini biasanya membenci serikat pekerja, karena dengan adanya serikat pekerja, ada kekuatan yang bisa menawar gaji secara bersama-sama. Hal ini akan merusak harga yang telah terbentuk dengan baik melalui mekanisme harga pasar dan tawar menawar.

Ada sedikit baiknya perusahaan ini. Perusahaan ini sangat membenci yang namanya konflik, karena konflik dianggap mengganggu kelancaran jalannya perusahaan. Tentunya, konflik yang bersifat dan bertujuan meningkatkan kualitas produk perusahaan tidak termasuk. Konflik yang didasari oleh perbedaan kepentingan dan perebutan kekuasaan, hal seperti inilah yang dianggap sebagai inefisiensi perusahaan. Dalam perusahaan teknologi, mereka membenci office politics, karena itu mereka mengabaikannya dan menganggapnya tidak ada. Maklum, namanya juga insinyur, mereka sukanya sok teknis dan berpura-pura semua perdebatan seru hanyalah soal teknis biasa saja.

Gegar Budaya Kerja

Kalau disuruh memilih, kira-kira anda akan memilih yang mana? Kalau dari cara saya menjelaskan, maka saya menduga keras banyak orang akan memilih paguyuban. Tapi, anehnya saya lebih cocok dengan mesin pencetak uang. Sulit difahami memang, bahkan untuk saya sendiri yang ngakunya religius ini. Ternyata, perusahaan sekuler lebih cocok untuk saya. Mungkin, karena dalam lubuk hati yang paling dalam, saya ini sebenarnya hamba dunia. Mudah-mudahan bukan! Na’udzubillahi min dzalik.

Saya bisa jelaskan. Kedua budaya ini punya tuntutan yang berbeda. Budaya paguyuban berprinsip pada susah senang dipikul bersama. Budaya ini memerlukan kecerdasan sosial yang tinggi. Sementara itu, walaupun budaya mesin pencetak uang itu kejam dan tidak berperasaan, tapi ternyata sangat logis dan efisien. Sebagai seorang geek yang jarang kumpul-kumpul sama manusia, tentu saja prinsip perusahaan sekuler inilah yang bisa saya selami dengan jauh lebih mudah. Semua kerumitan-kerumitannya bisa dianalisis dengan mudah, karena prinsip-prinsip yang dipakai juga jelas.

Maka, ketika saya masuk di paguyuban, saya mengalami gegar budaya. Dan, gegar budayanya sangat parah. Karena saya direkrut sebagai leader. Leader dengan kecerdasan sosial yang rendah disambut dengan budaya yang sama sekali berlainan, tahu sendiri kira-kira jadinya seperti apa. Saya menabrakkan nilai-nilai yang saya yakini sebagai nilai yang baik untuk menjadi seorang software engineer yang efektif dengan budaya perusahaan yang sangat jauh berbeda. Saya berfikir, saya diharapkan melakukan perubahan semacam ini. Ternyata, bukan itu maksudnya. Ternyata, saya disuruh masuk ke paguyuban, dan membuang nilai-nilai lama, menggantinya dengan nilai-nilai yang baru, lalu memakai kemampuan teknis saya sesuai dengan budaya yang sudah berjalan. Mana bisa begitu? Nilai-nilai yang saya anut itu saya dapatkan selama lebih dari 10 tahun. Bangunan-bangunan logika yang membangun nilai-nilai itu sudah terlampau kuat. Ya jelas tidak akan mencapai hasil yang diinginkan.

Akhirnya, saya harus mementalkan diri. Sedari awal, saya sudah berpinsip bahwa loyalitas itu adalah hal yang absurd di dalam dunia kerja. Saya selalu membayangkan perusahaan sebagai kekuatan besar bermodal besar yang tidak seimbang dengan seorang manusia bernama karyawan. Konsep berbuat baik dan bersyukur terhadap perusahaan yang telah memberi kita rejeki dan tempat bernaung sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. Ketika loyalitas saya diuji dengan harus bertahan di kala perusahaan sedang susah, jelas saya tidak lulus. Wong saya tidak punya loyalitas sama sekali kok.

Lagipula, saya juga melakukan kesalahan dengan keberadaan saya di sana, dan lumayan parah. Sebagai seorang yang bawel dan pandai menyusun kata, saya menyebar nilai-nilai budaya saya ke paguyuban. Nah, orang kan tahunya yang diambil yang enak-enak saja, tanpa mau memperhatikan bahwa di balik yang enak-enak itu harus ada kerja keras. Ya rusaklah mereka terpapar budaya yang hanya setengah setengah itu. Memang sih, itu baru asumsi saya saja. Tapi, bisa jadi benar.

Utopia Mesin Pencetak Uang

Saya berfikir, harusnya ada yang lebih baik dari kedua budaya ini. Saya berfikir, bahwa bekerja atau bahkan berbisnis seharusnya tidak semata-mata mencari uang. Saya suka dan cocok dengan prinsip mesin pencetak uang. Tapi, ini harus disempurnakan lagi. Bahwa, bekerja atau berbisnis tidak boleh menghilangkan kemanusiaan kita. Kejujuran, kerendahan hati, gotong-royong, rasa terima kasih, kesungguhan, kesabaran, berbuat lebih dari seharusnya, ketenangan menghadapi masalah, kehati-hatian, dan kekonsistenan, nilai-nilai inilah yang harus meliputi kita dalam bekerja. Dan, sebanyak apapun uang yang ingin kita dapatkan, tidak boleh menggerogoti kebaikan diri kita dan kebaikan orang lain, termasuk rekan kerja kita, atasan kita, klien kita, dan juga orang-orang yang memanfaatkan hasil kerja kita.

Tapi, tidak menggerogoti itu baru syarat minimal saja. Bekerja, bertetangga, berteman, berhobi, dan juga berumah tangga semuanya adalah latihan-latihan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Bekerja ataupun berbisnis adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan dunia. Bagaimana kita melakukannya adalah apa yang membedakan kita dengan manusia-manusia lainnya.

Sebuah impian yang manis bukan? Ya, dan ini adalah impian yang mungkin tidak akan pernah tercapai dalam hidup saya. Yang penting bagi saya adalah saya akan menikmati dan menghayati setiap langkah dalam perjalanan mencapai mimpi ini. Karena, perjalanannya jauh lebih berarti daripada pencapaiannya.