Superhero-superhero Favorit Saya

Saya mempunyai banyak sekali superhero favorit. Tidak ada satu superhero yang benar-benar saya sukai jauh melebihi yang lain. Oke, dua bolehlah, karena dua itu jadi nama pena saya untuk blog ini. Walaupun sebenarnya, tidak juga. Masih ada jagoan-jagoan sakti yang lebih saya sukai daripada dua ini. Hanya saja, dua orang inilah yang saya majukan untuk menjadi topeng saya di dunia nyata. Saya yang sebenarnya, adalah seorang yang romantis, melankolis, sensitif, filosofis, dan yang paling nyata adalah … eskapis. Superhero-superhero ini adalah mimpi-mimpi saya. Kumpulan hasrat, harapan, dan doa untuk menumbuhkan saya yang semakin menua namun masih tetap kerdil ini.

Dugu Qiubai

Namanya memang terkesan arogan, karena berarti “Seorang Dugu yang sendirian mencari kekalahan”. Saking tidak adanya yang bisa mengalahkan dia, sampai-sampai dia kesepian. Tapi, tidak bolehkah orang terkaya di kampung Sukamaju bilang, “Saya orang paling kaya di Sukamaju”? Bagi Dugu Qiubai, namanya adalah kenyataan sebuah kesendirian. Tidak ada yang tahu persis kisah hidupnya, tapi, catatan kecil dari dirinya mengenai pedang-pedangnya cukup menjadi gambaran kecil dari perjalanan hidupnya.

“The “Sword Devil” Dugu Qiubai has become the invincible and unchallenged swordsman under Heaven, hence he buried his swords here. The heroes of the realm bow before me. Now, my Long Sword is of no use anymore. The agony!”

  • The first sword (present)

    “My first sword was so sharp, strong and fierce that none could withstand it. With it in hand, I strive for mastery by challenging all the heroes of the Northern Plains in my teenage years.”

  • The second sword (not present, represented by a wooden tablet)

    “My second sword was violet in hue and flexible in motion. I used it in my 20s. With it, I have mistakenly wounded righteous men. It turned out to be a weapon of doom that caused me to feel remorseful endlessly. I cast it into a deep canyon.”

  • The third sword (present)

    “My third sword was heavy and blunt. The uttermost cunning is based on simplicity. With it, I roamed all lands under Heaven unopposed in my 30s.”

  • The fourth sword (represented by a wooden sword)

    “After the age of 40, I was no longer hampered by any weapon. Grass, trees, bamboos and rocks can all be my swords. Since then, I have developed my skills further, such that gradually I can win battles without reaching for weapons.”

Seorang Dugu Qiubai bertumbuh dengan berbagai macam jenis pedang dan gaya bertarung, sampai akhirnya dia bisa lepas dari itu semua dan memenangkan pertarungan hanya dengan ranting pohon dan bambu. Inspirasi yang saya ambil di sini adalah, untuk menguasai seni apapun baik itu seni perkodingan maupun seni pertarungan, harus mau mencoba berbagai macam alat, bahasa, dan teknologi, sampai akhirnya bukan alat dan teknologinya yang penting, melainkan pemecahan masalahnya yang penting. Kecuali Jetbrains IDE. Itu wajib dimiliki dan digunakan. Saya nggak yakin anda lebih pintar dari saya, jadi kalo anda nggak pake Jetbrains IDE, sudah pasti kodingan anda jelek, sering ngecrash, dan banyak errornya. Cintailah ploduk-ploduk Jetbrains.

Orang yang juga dijuluki setan pedang ini menciptakan sebuah ilmu yang dinamakan “Sembilan Jurus Pedang Dugu”. Ilmunya sudah mencapai tingkatan jurus tanpa jurus, mengapa dia justru kembali menciptakan jurus baru? Dugu Qiubai adalah seorang jenius. Yang dia lakukan dengan ilmu pedang adalah menaikkan tingkat abstraksi pemahamannya. Tapi, dia ternyata tidak mau pintar sendirian. Karena itulah dia menciptakan ilmu pedang ini. Ketika orang yang tidak sepintar dia mempelajari jurus ini, maka orang itu bisa mendekati apa yang Dugu Qiubai lakukan: menaklukkan serangan senjata apapun, membongkar kelemahan ilmu silat apa saja.

Hanya saja, betapapun dia ingin mempermudah apa yang dia fahami untuk orang lain, dia tetaplah seorang jenius. Tidak sembarangan orang bisa memahami ilmu pedangnya. Itulah mengapa Dongfang Bubai bisa menang melawan Linghu Cong. Latihan bertahun-tahun dan pengalaman mendalami ilmu yang tingkat abstraksinya lebih rendah mengalahkan kerumitan dan kecanggihan Sembilan Jurus Pedang Dugu. Ini mengingatkan saya pada komik Kenji Goh, ketika seorang pemuda yang tidak secerdas kawan-kawannya hanya belajar satu jurus saja. Suatu saat dia bertanding dengan kawan-kawan seperguruannya, dan dia menang hanya dengan satu jurus saja. Dia menguasai satu jurus ini dengan sangat baik, sementara kawan-kawannya hanya sekedar bisa.

Jack-jack

Jack-jack

Adakah sisi yang bisa dijadikan teladan dari tokoh yang tidak berakal ini? Tentu saja ada! Yaitu, karena dia tidak berakal. Orang-orang yang terpaksa beranjak dewasa seperti saya, akan selalu merindukan masa kanak-kanak, masa tanpa beban yang penuh kegembiraan. Tidak ada yang mengharapkan anda untuk mengambil peran dalam sesuatu. Nama Jack-jack kemungkinan berasal dari “Jack of All Trades”. Artinya, dia adalah bayi dengan banyak kekuatan super, namun tanpa ada satupun yang menonjol.

Plot armor melekat sangat kuat pada anak ini. SPOILER ALERT. Dalam kedua film Incredibles, justru anak bayi underdog inilah yang menyelamatkan dunia. Yang pertama, ketika dia dianggap sebagai liabilitas, dia justru menjadi sebab kekalahan Syndrome. Yang kedua, dia terpaksa dibawa karena tidak bisa dititipkan pada siapa siapa. Tapi, justru anak bayi inilah pemicu kegagalan rencana Screenslaver. Senang rasanya menjadi orang yang selalu bisa under promise, over deliver.

Zhou Botong

Zhou Botong

Maaf, tapi memang saya penggemar cerita-cerita Jinyong. Jadi, yang gak paham tolong bersabar sedikit ya. Zhou Botong adalah adik seperguruan dari Wang Chong Yang, pendiri dari perguruan Quanzhen yang merupakan perguruan silat paling terkemuka di daratan Cina. Wang Chong Yang sendiri boleh dianggap sebagai pesilat terhebat di zamannya, dia disebut sebagai Dewa Tengah bersama keempat petarung lain di keempat penjuru, menjadi 5 orang terhebat di daratan Cina. Setelah Wang Chong Yang meninggal, secara urutan perguruan harusnya dia menjadi ketua perguruan. Tapi dia memilih melanglang buana, bermain-main menuruti kata hati. Ketika murid-murid Wang Chong Yang bertemu dengannya, tamatlah nasib mereka, karena mereka bakal diisengi habis-habisan oleh si paman guru nakal ini.

Zhou Botong adalah seorang yang kreatif. Dia menciptakan ilmu penangkal 18 tapak penakluk naga, salah satu ilmu terhebat di jamannya. Dia juga menciptakan ilmu silat dua tangan, di mana tangan satu memainkan satu ilmu silat sedangkan tangan yang lain memainkan ilmu silat yang lain lagi. Dia juga sangat polos. Dia ditipu habis-habisan oleh istri si racun timur. Mau gimana lagi, namanya juga bocah tua. Seakan-akan, bagi dia tidak ada yang penting di dunia ini. Dunia hanya sekedar senda gurau dan main-main saja.

Tapi, bukan berarti kakek tua kekanak-kanakan ini selamanya murni seperti bayi dalam hidupnya. Dia punya kekasih, bahkan sampai punya anak dengan kekasihnya. Celakanya, kekasihnya ini adalah seorang perempuan bersuami. Bahkan, dia adalah permaisuri negeri Dali! Begitulah, sekali Zhou Botong tetap Zhou Botong. Dia tetap menjalani hari-harinya bagaikan anak kecil yang tanpa masalah dan beban dosa.

Hanuman

Hanuman

Walaupun saya tidak pernah faham apapun ketika menonton wayang, bukan berarti saya tidak tertarik dengan ceritanya. Saya penonton setia Ramayana ketika jaman SD dulu kala, dan waktu itu saya merasa biasa saja dengan superhero ini. Sampai suatu saat ayah saya kembali mengangkat ceritanya di hadapan saya. Ketika ayah saya pulang ke Jogja setelah pensiun jadi manajer sebuah pabrik genteng, dia membawa pulang dua buah wayang kulit. Yang pertama adalah Hanuman ini, yang kedua adalah Antasena. Pangkal kekaguman ayah saya ada pada kecerdikan dan keberanian Hanuman dalam menjalankan tugas-tugas dari rajanya, Rama.

Namun, saya kagum bukan karena itu. Setelah saya baca ulang kisah Hanuman ini, sifat dia yang paling utama adalah ketulusannya. Dan, dari situlah saya faham istilah “belahlah dadaku” jaman pacaran dua puluh lima tahun lalu berasal dari Hanuman ini. Ketika Hanuman diragukan kemurnian hatinya, dia membelah dadanya untuk menunjukkan bahwa Rama dan Sinta bersemayam merajai hatinya.

Antasena

Antasena

Inilah wayang kedua yang dibawa ayah saya pulang ke rumah ketika baru saja pulang dari Tangerang, tempat kerjanya selama belasan tahun. Jika Hanuman memang benar-benar ada dalam cerita Ramayana, maka Antasena hanyalah karangan pujangga Jawa belaka. Ayah saya mengidolakan wayang ini karena sifatnya yang blak-blakan dan karena kesaktiannya yang juga luar biasa. Gatutkaca tidak ada apa-apanya. Dia bisa terbang, bisa amblas bumi, dan tentu saja bisa berenang tanpa masalah. Kalau gamer bilang, IMBA.

Ayah saya menggemari Antasena bukan hanya karena kesaktiannya, namun juga karena wataknya. Antasena mempunyai watak polos dan lugu. Sebagaimana ayahnya, dia juga mungkak krama. Dia idak menggunakan bahasa halus ketika berbicara dengan yang lebih tua. Mungkin kemunafikan begitu mendarah daging dalam budaya Jawa, bahkan semenjak Jawa kuno. Akibatnya, tidak cukup hanya Bima, harus ada Antasena yang menyegarkan suasana.

Wisanggeni

Wisanggeni

Ayah saya penggemar cerita wayang sejati, sementara saya bukan. Saya cuma betah menikmati komik karya A. Kosasih, atau menonton serial televisi-nya saja. Maklum, saya nggak ngerti bahasa halus yang digunakan di pertunjukan wayang kulit. Kalopun ada yang saya ngerti, ya segmen goro-goro. Yah, tapi sebelum sampai ke situ, sudah pasti saya ketiduran duluan. Memang kadang orang susah lepas dari bayang-bayang ayahnya. Dan, saya menyadari dan menerima itu. Banyak nilai-nilai kebaikan dan gaya hidup yang bisa kita ambil dari orang tua kita. Ketika kita memungutnya dan menyebarkan ulang kepada orang lain, itu juga berarti menumbuhkan dan mengembangkan kebaikan-kebaikan orang tua kita. Sebagai orang yang terlalu banyak mementingkan diri sendiri, setidaknya itulah yang bisa saya lakukan untuk mereka.

Di antara semua karakter wayang, Wisanggeni adalah tokoh yang paling saya sukai. Wisanggeni adalah sepupu dari Antasena. Tidak hanya sepupu, dia juga sahabat karibnya. Mereka selalu kemana-mana berdua, baik ketika berbuat kekacauan ataupun ketika menolong orang. Walaupun sama-sama mungkak krama, Antasena polos dan lugu, sementara Wisanggeni lebih cerdik. Dia cerdas dan diplomatis. Itulah mungkin mengapa namanya adalah wisa-nggeni. Ucapannya tajam dan panas. Dia juga weruh sakdurunge winarah. Dia tahu apa yang akan terjadi dengan melihat tanda-tanda yang mengawali kejadian tersebut. Mungkin, istilah Jawa-nya adalah waskita. Kadang, bahkan dia disandingkan dengan Sri Kresna untuk kemampuannya ini.

Kesaktian Wisanggeni dan Antasena ini luar biasa. Konon katanya, sebelum Perang Barata Yudha dilangsungkan, mereka berdua mengobrak-abrik Astina. Duryodana dan saudara-saudaranya kabur entah ke mana. Seandainya perang Barata Yudha ada dua orang ini, maka Kurawa pasti sudah luluh lantak duluan sebelum perang. Korban prajurit bisa dihindari. Apa daya, para dewata di kayangan berkata lain. Mereka mengharuskan perang. Para dewata beralasan mereka berdua adalah manusia setengah dewa, sehingga tidak adil untuk peperangan yang akan berlangsung. Mereka dipaksa bunuh diri / moksa di kayangan oleh para dewa. Di sinilah saya merasa sedih. Kemampuannya luar biasa, ketulusannya tidak diragukan, tapi sumbangsihnya dan niat baiknya tidak dihargai. Ketika masa reformasi dulu, beberapa sastrawan Indonesia memakai karakter Wisanggeni sebagai tokoh perlawanan. Sampai-sampai Sena Gumira Ajidarma berkata, saking banyaknya Wisanggeni, sampai-sampai bermunculanlah tokoh-tokoh Wisanggeni kesiangan.

Mei Chang Su

MeiChangSu

Sebenarnya, saya membenci tipu daya Mei Chang Su, sebagaimana juga saya tidak suka dengan berbagai tipu daya Sri Kresna ketika memuluskan jalan Pandawa memenangkan Barata Yudha. Sri Kresna telah memaksa seorang yang murni seperti Yudhistira untuk berbohong. Bagaimanapun, bohong putih tetaplah sebuah kebohongan. Kereta kencana yang melayang di atas tanah karena kemuliaan Yudhistira, menjadi turun dan menapak tanah. Akan tetapi, keberadaan Mei Chang Su dibutuhkan agar Xiao Jing Yan, si pemimpin yang adil bisa muncul ke permukaan dan memimpin rakyatnya dengan baik.

Xiao Jing Yan adalah seorang pangeran yang jujur dan hanya tunduk kepada kebenaran. Sayangnya, dia seorang yang keras kepala dan tidak bisa mengalah bahkan kepada ayahnya sendiri, sekalipun ayahnya seorang kaisar. Akibatnya, di awal cerita, dia ditunjukkan sebagai seorang yang tidak disukai ayahnya. Dia dianggap tidak punya rasa hormat dan tidak akan mungkin mendapat peluang meraih tongkat kepemimpinan. Namun, akibat dari bantuan tulus dari Mei Chang Su, yang dibumbui dengan segala tipu daya jahat untuk menyingkirkan orang-orang yang lebih jahat, dia berakhir sebagai seorang kaisar yang adil.

Mei Chang Su sendiri? Tubuhnya yang penyakitan tidak mampu untuk membuatnya bertahan hidup lebih dua tahun. Tujuan hidupnya semata-mata hanya untuk mencari keadilan dan membawa sahabat karibnya ke tempat yang layak untuk dirinya. Cara-caranya mungkin bukan favorit saya, tapi pengorbanan dan ketulusannya patut diteladani. Oh ya, maaf, judul cerita yang saya paparkan ini ada Langya Bang, atau Nirvana in Fire untuk judul Inggrisnya. Tersedia secara gratis untuk ditonton di viki.com.

Linghu Chong

Sebenarnya, Linghu Chong masih terhitung terlalu lurus kalo mau disebut sebagai seorang antihero, sebagaimana kebanyakan superhero-superhero yang ada di sini. Kalau mau menyebut tokoh antihero dari Jin Yong, ya harusnya Wei Xiao Bao. Akan tetapi, Linghu Chong hidup dalam alam kritik sosial yang dibangun oleh Jin Yong, yang membuatnya tampak sebagai seorang pemberontak berhati emas dalam cerita tersebut.

Sebagaimana kisah Jinyong yang lain, selalu ada kisah cinta yang menjadi bumbu manis petualangan tokoh utama kita. Namun, cerita cinta Linghu Chong dan Ren Yingying serasa hambar dibandingkan dinamika hubungan “terlarang” Xiaolongnu dan Yang Guo, atau aksi memohon restu calon mertua Guo Jing ketika meminang Huang Rong, atau bahkan cinta yang melawan patriotisme antara Zhang Wuji dan Zhao Min. Saking hambarnya, sampai-sampai serial adaptasi tahun 2018 yang dimainkan Wallace Guo membutuhkan Chen Qiao En untuk meramaikan suasana.

Novel ini seakan lebih suka untuk menyorot hal lain. Novel ini sangat kental dengan aroma melawan kemunafikan. Kisah patah hati Linghu Chong di awal cerita adalah sebuah perlawanan terhadap kemunafikan. Kisah hubungan Linghu Chong dan gurunya adalah perlawanan terhadap kemunafikan. Bahkan peperangan antara golongan lurus dan golongan sesat adalah perlawanan terhadap kemunafikan. Ini adalah sebuah sindiran tajam menusuk hati. Ketika serombongan orang beramai-ramai dan bergaduh-gaduh mengaku sebagai orang baik, maka berhati-hatilah. Karena, boleh jadi mereka adalah orang yang merasa dirinya lebih besar dari orang-orang lain. Ketika rombongan ini rapi berbaris mengutuk dan menyerbu orang-orang jahat, maka berhati-hatilah. Karena, boleh jadi telinga mereka tuli terhadap suara-suara tulus orang yang mereka lawan. Arogansi mereka berpasangan erat dengan kemunafikan mereka.

Jiang Xiaoyu

Kalo bicara soal antihero, tidak lengkap kalo tidak menyebut Jiang Xiaoyu. Tidak seekstrem Wei Xiao Bao, Jiang Xiaoyu ini pada akhirnya bisa menguasai ilmu silat yang menjadikannya pendekar tangguh. Tidak semata keranjang Wei Xiao Bao, isterinya cuma satu. Dan, isterinya ini bahkan lebih segala-galanya kalo dibandingkan dengan Jiang Xiaoyu. Su Ying pandai soal obat, juga lebih cerdik, dan dia sangat memahami isi hati Jiang Xiaoyu. Akibatnya, hanya Su Ying yang bisa mengendalikan Jiang Xiaoyu. Tapi, saya gak akan bicara panjang-panjang soal mereka, karena mereka terlalu normal juga untuk ukuran antihero. Antihero memang seperti itu. Mendhing anda semua baca novelnya sendiri saja, karena banyak kisah-kisah menarik yang terjadi di sana. Juga, sebagai sebuah tokoh antihero, Jiang Xiaoyu ini tidak mencoba melawan siapa-siapa. Saudaranya Hua Wuque tetap menjadi pahlawan yang lurus-lurus saja serta baik hatinya. Apa itu aliran baik dan aliran sesat juga tidak secara jelas ditunjukkan pertentangannya. Semuanya ya mengalir begitu saja. Mungkin karena Gu Long tidak terlalu filosofis, jadi ya begitu deh.