Tasawuf adalah Inti Agama

Ini adalah tulisan yang paling berat di antara tulisan-tulisan ngawur saya soal agama. Karena itulah saya nggak pake judul "ngawur". Memang ini adalah tulisan yang paling hati-hati di antara tulisan-tulisan sebelumnya. Tapi, ibarat memanah, mungkin justru ini yang melesetnya paling jauh. Ngomong logika dan fisika jauh lebih gampang daripada ngomong tasawuf. Nggak papa lah, namanya juga usaha.

Tasawuf adalah Tujuan Beragama

Beragama itu buat apa toh? Kalau kita ingat-ingat pelajaran agama jaman sekolah, maka jawabannya ada banyak. Selama puluhan tahun, saya terngiang-ngiang oleh dua tujuan utama penciptaan manusia, yaitu sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai hamba Allah. Terpatri juga dalam benak saya, bahwa Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Di banyak sekali ayat dalam Al-Quran, kita diperintahkan untuk beriman dan amal shalih. Yang juga tidak kalah banyaknya, adalah perintah untuk bertaqwa. Surat favorit saya dalam Al-Quran menyatakan, "tawashau bil-haqqi wa tawasahu bish-shabr". Saling menasihati tentang dalam kebenaran, dan, kalau sudah memahaminya, saling menasihati supaya sabar dalam kebenaran tersebut. Yang terakhir, saya terkesan oleh ayat Al-Quran yang menyatakan, "Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur".

Duh, maaf, tapi memang paragraf di atas berjubel sekali. Tapi, saya pengen mencoba menarik benang merah di sini. Bahwa, perwujudan dari menghamba Allah yang sebenar-benarnya adalah berbuat baik kepada diri sendiri dan orang lain. Garis akhirnya adalah kita kembali kepada Allah dalam keadaan yang suci. Ibarat logam mulia, kita dilebur dan dilelehkan untuk membuang semua kotoran-kotoran yang ada di dalam diri kita, untuk kemudian menjadi diri kita yang lebih murni.

Inilah makna tasawuf bagi saya. Hadits sahih Rasulullah menyebutkan tiga hal, Islam, Iman dan Ihsan. Entah mengapa di SD cuma Rukun Islam dan Rukun Iman yang terkenal. Padahal Ihsan ini juga luar biasa. Ihsan inilah tasawuf. Segala yang kita lakukan, Allah bersama kita. Dulu, ketika baru hijrah hingga beberapa waktu lalu, saya alergi dengan tasawuf. Zuhud? Saya programmer, mana mungkin saya doyan dengan makanan begituan. Meninggalkan dunia? Dunia ini ladang amal, masa ditinggal kemudian menyepi di hutan, kapan ngamalnya? Berzikir hingga mendapat keajaiban dari Allah? Nabi saya itu giginya rompal ketika perang dan isterinya ada sembilan. Kadang-kadang ada keajaiban, ya tapi seringnya nggak. Maaf, nggak tertarik.

Kalau mau menyempurnakan agama kita, cara paling baik adalah mengikuti Rasulullah S.A.W. Itu sudah cukup, nggak perlu aneh-aneh. Tapi, Rasulullah itu kekasih Allah. Sahabat-sahabatnya diridhai Allah. Kalau ini adalah definisi dari seorang wali, maka sudah selayaknya kita semua menginginkan menjadi wali. Tidak ada mukmin yang tidak pengen masuk surga. Tidak ada wali yang tidak masuk surga. Pengen masuk surga dan pengen jadi wali menghadapkan kita ke arah yang sama. Wali itu disayang Allah. Siapa yang tidak mau disayang Allah baik di dunia maupun di akhirat?

Tahu nggak apa yang membuat saya alergi sama sufi? Karena saya ini cuma orang biasa yang sering salah dan kadang maksiat. Membaca tingkatan-tingkatan kesufian, mulai dari taubat, sabar, dan seterusnya hingga ridha, saya gamang. Ini saya jadi semacam membaca cerita xianxia dengan berbagai tingkat kesaktian dari tingkat manusia biasa hingga menjadi dewa. Imajinasi saya nggak cocok. Orang kalau sudah sakti, mana ada ceritanya terjungkal ke dasar gara-gara maksiat. Begitu juga dengan adanya model murid, mursyid, dan sebagainya. Saya ini orangnya egaliter. Masa berpuluh tahun orang-orang itu nggak kepeleset terus turun derajat? Nggak suka saya.

Saya aliran yang suka dengan jalan pintas. Mungkin karena iman saya masih cetek. Yo wis ben. Saya suka cerita pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing. Saya suka cerita penjahat yang membunuh banyak orang kemudian dalam perjalanan taubat mati husnul khotimah. Bagi saya, yang penting Allah ridha dan sayang sama saya. Kalo sudah begini, saya tidak butuh yang lain.

Satu lagi. Saya itu punya kecenderungan untuk mudah sombong. Melatih diri bertakwa dengan mengukur-ukur sejauh mana pencapaian saya itu nggak cocok sama sekali dengan watak saya. Oh, tahun 2000 saya sudah level taubat. Oh, tahun 2018, saya sudah masuk tingkatan zuhud. Tahun 2022, saya sudah masuk tingkatan sabar. Hahahaha. Yang benar saja. Yang ada malah saya jadi takabur. Wong, baru merutinkan sholat jamaah seminggu saja saya sudah memandang rendah sama yang nggak pernah datang sama sekali. Padahal, baru dua minggu lalu saya itu sama dengan dia. Kayaknya, potongan saya nggak pantes mendalami thariqah. Programmer gitu loh.

Syari’ah, Thariqah, dan Haqiqah

Hubungan syari’ah, thariqah, dan haqiah itu bisa dengan gampang digambarkan seperti ini

mbuh

Syari’ah itu gampangnya apa-apa yang sudah ditetapkan dalam fiqh, macam shalat, puasa, zakat, dan larangan-larangan seperti mencuri, berzina, dan sebagainya. Thariqah adalah menempuh jalan untuk menuju Haqiqah. Haqiqah adalah memahami kebenaran yang sejati. Di tahap ini, seseorang tidak lagi berbicara halal dan haram, tapi sudah mengerti betul apa yang dimaksudkan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Saya tidak akan bicara soal ma’rifat. Tidak ada satu definisi ma’rifat pun yang berhasil nyangkut di otak saya.

Kalau melihat gambar itu, tidak bisa tidak bahwa jadi sufi itu memang ada tingkatan-tingkatannya. Lha gimana tidak, wong surga juga ada kelas-kelasnya. Tapi, lagi-lagi saya itu orangnya egaliter dan suka jalan pintas. Saya meyakini bahwa kita bisa lompat kelas. Karena itu, saya suka tingkatan-tingkatan yang nggak terlalu banyak dan sederhana. Biar tidak gampang putus asa.

Tingkatan Pertama: Islam

Alkisah ada sekelompok orang Arab pedalaman yang masuk Islam. Tapi, mereka dilarang untuk menyatakan diri beriman. Mereka hanya boleh menyebut diri sebagai muslim. Ketika wilayah kekuasaan Islam membesar, banyak suku yang tunduk dan bersyahadat. Di antara mereka, banyak yang tidak menghayati arti syahadat yang sebenarnya dan hanya mengikuti kepala suku mereka.

Muslim di dunia ada 1.5 milyar, bahkan lebih. Tapi, betapa banyak di antara kita yang sebenarnya hanya mengikuti agama orang tua kita? Betapa banyak di antara kita puasa sebulan penuh tapi tidak pernah sholat wajib? Seberapa sering kita melihat muslimah yang berjilbab tapi tidak sholat? Mereka tidak mengerti apa arti iman, tapi mereka bersyahadat.

Begitu pun, syahadat itu bagi saya sesuatu yang sakral. Dengan syahadat, seseorang terhindar dari bahaya. Sahabat Resulullah disalahkan karena membunuh musuh yang bersyahadat, walaupun dia diduga keras berbohong. Itulah mengapa saya enggan menyebut kafir. Risikonya berat. Bisa-bisa ucapan itu berbalik kepada saya.

Tingkatan Kedua: Iman

Di atas Islam, ada iman. Pada tingkatan ini, seseorang benar-benar yakin pada syahadat yang diucapkannya. Keyakinan ini kemudian diwujudkan dalam perkataan dan perbuatannya. Baik ketika bersama orang banyak ataupun ketika sendirian, orang yang beriman akan menyesal ketika berbuat dosa.

Tapi, orang beriman sering belum bisa menguasai hawa nafsunya. Ketika terdesak, dia bermaksiat. Ketika aman, kembali beriman. Atau sebaliknya, ketika bencana dia berdoa, ketika aman dia sembarangan. Yang kayak begini dinamakan dengan munafik. Tapi, tingkat munafiknya nggak kaya Abdullah bin Saba' yang beneran cuma pura-pura berislam lho ya.

Orang munafik inilah yang sering bermain di pinggiran syari’ah. Mereka punya isteri simpanan karena beralasan tidak wajibnya memberi tahu isteri yang terang-terangan. Mereka berzakat, tapi sangat pelit terhadap karyawannya dan jarang bersedekah. Mereka berbisnis dengan menyuap, dengan alasan hanya dengan menyuap keadilan bisa terjaga. Mereka takut berdosa, tapi tidak mau melepaskan diri dari cengkeraman hawa nafsu.

Saya ada di tingkatan ini. Tapi, itupun sudah membuat saya deg-degan. Setiap orang yang mengaku beriman akan diuji. Nggak tahu apa ujiannya, tapi kayaknya susah dan serem. Satu demi satu saya berusaha menghadapi ujian-ujian itu, nggak tahu lulus apa nggak. Yang jelas ujiannya susah semua. Setiap kali ujian itu datang, saya tersentak sadar bahwa jiwa ini memang masih lemah sekali. Setiap kali saya gagal dan jatuh pada maksiat, saya diingatkan bahwa tidak ada gunanya berbangga diri.

Tingkatan Ketiga: Taqwa

Para sufi sering menyebut-nyebut ilmu haqiqah. Bagi saya, ilmu haqiqah itu memahami agama dengan membebaskan diri dari penyakit-penyakit hati. Kalau orang hatinya sakit, maka dia akan menafsirkan Al-Quran seenak jidatnya. Bahkan, sekalipun dia itu ulama. Karena itu, wajib bagi seorang sufi untuk mengenali macam-macam penyakit hati supaya bisa mengelolanya.

Orang yang tahu kalau dirinya serakah, mengobati dirinya dengan banyak bersedekah. Orang yang pemarah, mengobati dirinya dengan banyak memaafkan. Orang yang dengki mengobati dirinya dengan banyak bersyukur. Orang yang suka perempuan, mengobati dirinya dengan …​ nikah lagi. OK, maaf, jujur saya nggak tahu apa obatnya kalau yang ini. Mungkin dia harus mulai merutinkan puasa Daud. Orang yang takabur, duh, ini yang paling susah. Ini teman akrab saya, tapi juga sampai saat ini yang paling sering menipu saya. Obatnya empati kali ya? Jadi, tiap kali ngomong sama orang, saya harus sering-sering membayangkan kalau saya yang jadi dia. Ya soalnya, orang takabur itu kalau ketemu orang takabur lain ngamuk. Masing-masing merasa lebih benar dan lebih baik dari yang lain.

Inilah yang kemudian bisa menjauhkan dirinya dari pinggiran syari’ah. Karena, taqwa itu sendiri artinya hati-hati. Orang yang suka melipir-melipir itu artinya tidak bertakwa. Fujur itu artinya mengumbar hawa nafsu. Orang yang mengumbar hawa nafsu artinya tidak bertakwa. Orang bertakwa itu suka main aman. Maksudnya, ya aman dari dosa. Ini tidak berarti orang bertakwa bebas dari dosa lho ya. Cuman, kalau kepeleset dia lekas istighfar. Tidak lantas berlarut-larut dan bernikmat-nikmat.

Kalo ada yang bilang soal wali, maka bagi saya wali itu ya orang bertakwa. Jelas dong, orang bertakwa itu masuk surga. Orang masuk surga kok nggak dicintai sama Allah. Nggak logis kan? Makanya, punya cita-cita jadi wali itu harus. Ya kalo nggak jadi wali, kan celaka sendiri. Ya bisa sih, orang yang imannya biasa saja masuk surga. Tapi, awas, kalau sering main ke pinggir, nanti jatuh. Nyesel lho.

Tingkatan Keempat: Ridha

Kalau ada orang yang paling tinggi iman dan takwa-nya, maka tentu saja itu adalah Rasulullah SAW. Di bawah itu, ya pastilah para sahabat utama. Kenapa saya katakan ridha? Karena katanya Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha terhadap Allah.

Apa sih ciri-ciri tingkatan ini? Konon kabarnya, kalo orang yang imannya biasa-biasa aja itu masih suka dikasih harta sama Rasulullah. Bagi orang yang ridha, Allah dan Rasul-Nya sudah cukup. Dicintai dan mencintai Allah dan Rasul-Nya itu sudah kebahagiaan paling besar buat mereka. Ini, sekali lagi bukan mereka nggak punya hawa nafsu lho ya. Masih, masih ada. Tapi, mereka menikmati dunia sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah. Kepuasan terbesar adalah ketika nanti mereka bertemu dengan Allah di surga.

Ini sudah tingkatan tertinggi kalau menurut saya. Kalau sudah menjadi kekasih Allah, emang mau butuh apa lagi? Rezeki dijamin. Hidup mau gimana pun, berkah dari Allah meliputinya. Mau mati, justru bahagia karena bisa terlepas dari penjara dunia. Wali yang kayak begini, emang masih perlu ada yang lebih tinggi darinya?

Sufi dan Duniawi

Ini, …​, beneran kayaknya saya harus belajar open minded sama mereka thariqah-thariqah yang banyak bertebaran dan katanya tidak bertentangan dengan syari’ah. Tapi, Al-Imam Google berkata kalo mau masuk thariqah, mandi dulu, baiat, terus kemudian harus merutinkan wirid-wirid tertentu. Jadinya saya nggak nafsu. Apalagi, ditambah dengan mitos sufi yang suka memiskinkan diri dan mengasingkan diri. Makin saya jadi nggak nafsu. Kesannya jadi kayak punya dunia sendiri gitu. Padahal harusnya sufi-sufi tertinggi itu kayak Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Ini kok nggak mirip. Mungkin karena syaikh Google cuma ingat sama thariqah-thariqah mistis saja, dan bukan thariqah-thariqah yang mirip Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.

Soalnya begini. Dunia itu ladang amal. Kita bertemu banyak manusia, kita bisa banyak berdakwah dan bermuamalah. Sufi yang mengasingkan diri dan menjauhi manusia itu seakan-akan mengingkari tujuan penciptaannya. Ibadah itu gampang kalo sendirian. Gak ketemu orang yang marah-marah, bermewah-mewah, ataupun berfoya-foya. Tiga sahabat utama adalah penguasa, apalagi Usman adalah orang kaya. Ibadah kok harus ngungsi, ibadah itu sama orang-orang di sini. Apalagi ibadah bersama orang-orang durhaka, baru itu luar biasa.

Ya, walopun saya bisa ngerti sama orang-orang yang menghindari gemerlap dunia. Tarikan-tarikannya kuat luar biasa. Tidak bisa disangkal lagi itu. OK lah, mengendalikan syahwat itu memang harus. Tapi, tidak kemudian terus menjauh dari orang-orang. Membatasi bergaul dengan orang-orang yang fasiq-nya luar biasa itu baik. Tapi, bukan berarti tidak berinteraksi dengan manusia sama sekali.

Wirid, Karomah dan Mukasyafah

Lagi-lagi, saya akan menyalahkan Google dan Wikipedia dalam hal ini. Antara saya memang nggak ngerti ilmu hakikat, atau Google sesat. Katanya, kalau seorang sufi khusyu' dalam menjalani wirid, maka mata batin kita akan dibuka. Selain mata batin dibuka, maka kita juga akan mendapatkan karomah yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu alam. Di titik inilah kita akan sering melihat hal-hal gaib yang tadinya tertutup, yang disebut dengan mukasyafah. Ada yang bisa melihat masa depan, ada yang bisa menjenguk isi hati orang. Kita bahkan bisa bertemu dengan nabi-nabi dan wali-wali yang sudah meninggal.

Walau ternyata, mimpi bertemu Rasulullah dan bertemu Rasulullah itu ada dalilnya. Dikatakan, Rasulullah itu masih menjaga umatnya. Hanya Rasulullah yang tidak bisa diserupai oleh setan. OK lah, saya sebut ini sebagai sebuah perkecualian. OK lah, sudah banyak cerita-cerita sahabat Rasulullah yang "weruh sakdurunge winarah". Ada Umar yang menyuruh jenderal-nya untuk lari ke gunung ketika terdesak dalam perang. Ada yang bermimpi ditampakkan isteri bidadarinya di surga. Di samping sahabat, adapula ulama-ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Ghozali. Jelas, saya tidak menolak cerita-cerita ini.

Tapi, …​, lagi-lagi saya ini programmer yang pinter. Saya tahu persis gimana rasanya punya kelebihan dibanding orang-orang biasa. Kalau tujuan utama menjadi sufi adalah untuk mendapatkan hal-hal semacam ini, maka tidak ada bedanya dengan petarung yang berkelahi adu kekuatan atau ulama yang suka debat bertanding kepintaran. Menjadi sufi kok pengen mencari kesaktian. Kesasar itu namanya. Kalau dia sadar syari’ah, masih untung. Palingan cuman nggak nyampe-nyampe aja.

Saya itu sukanya ilmu yang jelas dan terang benderang. Bertemu Rasulullah itu mungkin, misal di mana ketika orang-orang bershalawat dan ruh-nya hadir. Walaupun begitu, ini zaman akhir. Orang bisa dengan mudah berbohong. Ngapain kita nyari ilmu dengan jalan yang aneh-aneh kalau jalan yang jelas aja belum dijalani dengan baik. Iya kalo itu benar ilmu dari Rasulullah atau mata batin yang dibukakan oleh Allah. Kalo ternyata ngaku aja mimpi ketemu Rasulullah padahal nggak? Kalo ternyata bukan mata batin tapi disihir jin?

Saya tidak anti wirid. Dosa kalo sampe anti wirid. Wong wirid itu diajarkan sama Rasulullah SAW. Saya cuma malas aja. Tasawuf itu mengelola hati. Wirid dan sholat malam adalah di antara cara-cara kita mengelola hati untuk kembali mengingat Allah. Kalau ingin mendekat kepada Allah, ya kan harus banyak-banyak ingat Allah tho ya? Tapi, kalo wirad-wirid terus, kapan ngamalnya? Zikir itu ada waktunya, entar aja pas malem-malem. Pas waktunya orang istirahat. Istirahat dari kelelahan fisik karena bekerja, dan kelelahan mental karena bersabar.

Rasulullah sendiri sholat malem hingga kakinya bengkak. Nah itu, Rasulullah kakinya bengkak. Kita jadi sufi malah pengen sakti. Apa itu maksudnya coba? Karomah itu ya sekali dua kali saja. Sebagai tanda Allah sayang sama kita. Yang selainnya, ya kita berhubungan dengan Allah dengan cara yang biasa-biasa saja. Tidak dapat karomah sama sekali pun nggak masalah. Kalau sudah dapat ridha-nya Allah, emang butuh apa lagi? Karomah itu cuma hadiah.

Seandainya saja, seandainya memang Allah mengijinkan dan menakdirkan, maka saya akan memilih minta diberi akal yang sehat dan ilmu yang benar. Allah sudah menghadiahkan saya pinter sejak lahir. Tapi, saya serakah. Saya sangat ingin bisa memahami agama supaya saya bisa menjalankannya dengan sebenar-benarnya. Entah gimana caranya pokoknya. Dengan akal sehat, memahami ajaran-ajaran agama dari ujung ke ujung nyambung semua. Hal-hal yang remang-remang itu nggak lagi bikin bingung dan nggak lagi dijadikan ajang menyelewengkan agama untuk kepentingan nafsu semata. Bagi saya sekarang, akal sehat dan ilmu yang benar lebih penting dari mata batin. Dua hal itulah yang akan menunjukkan saya ke jalan yang lurus.

Menjalani Tingkatan-tingkatan kesufian

Belajar Ilmu Agama

Kalo mau menjalani tasawuf, tentu saja harus dimulai dari pagarnya terlebih dahulu, yaitu syari’ah. Sebelum bisa bertakwa, orang harus tahu mana yang halal dan mana yang haram. Orang harus faham apa-apa saja yang wajib, yang sunnah, yang mubah, yang makruh, maupun yang haram. Ini supaya kita faham mana yang pokok dalam beragama dan mana yang merupakan tambahan-tambahan yang bisa disesuaikan. Syari’ah inilah pagarnya, supaya para sufi tidak kesasar dan malah justru bermaksiat kepada Allah.

Tapi, ilmu agama tidak hanya itu saja. Ada perintah untuk berakhlaq yang mulia. Ada perintah untuk menggunakan retorika terbaik ketika berdakwah. Ada perintah untuk berjihad dan bersabar. Ada perintah untuk beristiqomah. Ini semua tidak saklek sebagaimana syari’ah dan fiqh, tapi justru di sinilah terletak rahasia takwa kepada Allah. Karena itu, tidak mungkin seseorang bisa bertakwa kalau tidak punya ilmunya. Dan, ilmu ini didapat dari terus menerus mengaji.

Ada lagi ilmu yang sering dilupakan, yaitu ilmu soal diri sendiri. Ada ruh yang merindukan Tuhannya. Ada hawa nafsu yang liar minta dipuaskan. Dan, ada pula bisikan-bisikan setan yang menyesatkan. Setan itu musuh yang nyata bagi kita. Jika kita tidak bisa memisahkan mana bisikan nafsu, mana bisikan setan, dan mana fitrah yang menghamba kepada Allah, maka kita akan mudah tertipu.

Ini rada rumit. Saya akan coba jelaskan. Kita mendongkol karena ada ulama-ulama yang tidak mau menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah di alam semesta. Hampir saja kita bersumpah serapah karena kebodohan mereka. Coba kita tengok ke dalam diri. Ketika kita menulis di media sosial dan menjelaskan kesalahan-kesalahan mereka, apakah kita sedang berusaha menangkal pengaruh buruk mereka, atau kita merasa jumawa karena lebih pintar dari mereka?

Kita berkurban sepertujuh sapi. Ketika melihat sebagian besar tetangga kita melakukan hal yang sama, kita mengubahnya menjadi sepertujuh sapi untuk setiap anggota keluarga kita. Lihatlah ke dalam diri kita, apakah ini karena berlomba-lomba dalam kebaikan atau karena ingin menonjol di hadapan banyak orang?

Kita sedang bekerja. Karena stres pekerjaan menumpuk, kita beristirahat dengan menonton ceramah ustadz. Apakah benar ini ibadah? Ini sebenarnya maksiat karena kita melanggar hak pemberi kerja.

Kepekaan kita akan hal-hal semacam ini adalah bagian dari ilmu agama. Tanpa memahami ilmu ini, tentu saja orang tetap bisa menjalankan agama dengan baik. Tapi, ini menurut saya ya, akan jauh lebih efektif kalo orang faham juga ilmu tentang manusia. Orang jadi lebih jelas mengenal jalan takwa.

Mengamalkan Ilmu Agama

Untuk mengamalkan ilmu agama, kita harus punya pola pikir yang benar. Setiap orang pada dasarnya akan membawa amalnya masing-masing di akhirat. Karena itu, kita harus berfokus pada diri sendiri. Ini bukan soal egois, jangan salah. Maksudnya begini. Ketika kita berdakwah dan saudara kita mendapat hidayah, itu bukan berarti dakwah kita berhasil. Hidayah itu dari Allah dan seseorang mendapat hidayah lebih tergantung kepada dirinya sendiri daripada orang lain. Kita itu cuma jadi jalan saja. Karena itu, wujud dari usaha terbaik kita adalah kata-kata yang lembut yang didasari pemahaman yang kuat.

Satu contoh lagi. Kita marah karena isteri kita tidak mau bangun memasak untuk sahur. Padahal, isteri yang membangkang itu adalah ujian dari Allah. Kitalah yang harus bersabar. Soal isteri yang tidak mau taat suami, itu urusan dia. Bagus lagi kalo kita ridha, sehingga isteri terlepas dari beban. Inilah yang dimaksud berfokus pada diri sendiri. Apa yang kita hadapi adalah ketentuan Allah. Bagaimana kita menyikapinya, itu yang akan ditanyakan Allah kepada kita.

Ketika kita berfokus pada diri sendiri, maka amalan-amalan kita akan jadi relatif. Apa yang dikatakan ahli fiqh hanya jadi pengingat keutamaannya saja. Maksudnya begini, mana yang lebih utama, sholat tahajud di rumah atau sholat tarawih di masjid? Itu tergantung. Jika sholat tarawih di masjid menjadikan kita jadi banyak berburuk sangka pada imamnya, maka sholat tahajud di rumah jadi lebih utama.

Karena itu, seorang sufi kadang meminta fatwa kepada hatinya. Di antara amalan-amalan utama, dia memilih mana yang lebih baik baginya secara agama. Dia menghindari memperbanyak amal, karena berbanyak-banyak dalam amal bisa jadi memperturutkan hawa nafsu.

Berzikir

Seorang sufi itu banyak berzikir. Tentu saja, jangan dibayangkan bahwa berzikir itu cuma wiridan saja. Seorang sufi berzikir ketika dia bekerja. Dia juga dia berzikir ketika bersedekah. Ketika dia nonton youtube, dia juga masih berzikir. Bahkan, berhubungan suami isteri pun dia tetap berzikir. Ya kan namanya juga ihsan. Mau ngapain aja tetap dong ingat sama Allah.

Seorang sufi juga banyak membaca Quran. Banyak membaca Quran ini juga dikatakan berzikir. Dengan mengulang-ulang bacaan Al-Quran, dia menanamkan kepada dirinya kebaikan-kebaikan yang diperintahkan Allah kepadanya. Ketika di siang hari bertemu manusia, dia mengamalkannya. Bahkan kadang merekapun berzikir berjamaah, hingga malaikat menaungi mereka.

Dulu saya berpikir kalo berzikir itu membosankan dan justru rawan menimbulkan kelelahan mental karena kebanyakan beribadah. Tapi, itu gara-gara saya hanya mengartikan zikir sebagai ibadah mahdhah yang mendapat pahala. Tapi, kekuatan zikir justru bukan di situ. Zikir itu memberi energi bagi kita supaya kita dimudahkan menghadapi ujian-ujian Allah. Zikir itu justru paling pas dilakukan kalo kita mengalami kelelahan mental, dan justru bukan kalo pas lagi semangat-semangatnya beramal. Saya pikir, inilah di antara hikmah sholat malam.

Beristighfar

Namanya manusia, siapa sih yang tidak berbuat salah? Tidak ada yang ma’shum kecuali nabi. Ketika kita berbuat salah, maka kita harus lekas-lekas beristighfar kemudian bertaawudz. Ketika beristighfar, kita harus yakin bahwa Allah Maha Pemaaf. Orang yang menyangkakan dirinya bergelimang dosa itu bahaya. Justru dengan begitulah dia gampang putus asa. Itulah was-was dari setan. Kita salah itu biasa. Makanya, kita harus segera move on. Mungkin, kita sudah mulai lengah dengan banyaknya ibadah. Ego kita naik, dan Allah yang Maha Penyayang mengingatkan kita.

Bersabar

Taat kepada Allah itu mudah kalau belum saatnya datang ujian. Orang bisa saja dengan mudahnya mencemooh bahwa nonton sinetron dan drakor itu membuat orang jadi fasiq. Tapi, apa jadinya jika anda ditawari pekerjaan dengan gaji dua kali lipat di stasiun televisi yang menyiarkan sinetron-sinetron fasik? Kalo itu saya, jelas saya akan depresi hingga berminggu-minggu. Padahal, itu "cuma" gaji dua kali lipat. Mangkanya, saya nggak lagi demen mencaci pejabat korupsi. Mereka itu ditawari bermilyar-milyar uang haram. Ketika kemarin ada siaran pejabat korup yang bertobat, saya berpaling. Saya jadi pengen ikut nangis.

Setiap orang memiliki ujiannya sendiri-sendiri. Tahapannya pun bakalan beda-beda tiap orang. Karena itu, tidak penting bagi kita untuk menilai orang lain dari luar. Jika mereka berbuat zalim kepada orang lain, kita wajib mencegah. Jika mereka menzalimi diri sendiri, kita mengingatkan. Tapi, tidak sekalipun kita berhak menilai iman mereka. Seandainya kita di posisi mereka, belum tentu kita kuat menjalani ujiannya.

Kelo menilik diri sendiri, maka saya ini apa? Hidup saya itu sudah enak sekali di banding banyak orang lain. Apalagi kalo mendengar cerita-cerita masa muda bapak saya. Ingin saya punya mental baja seperti dia. Tapi, saya cepat-cepat memutus keinginan itu. Kalo Allah benar-benar memberikan ujian yang sama, mungkin saya akan terjungkal keras sekali. Ngeri. Sudahlah, apapun saya ini, saya yakin Allah Maha Pemurah dan nggak mungkin ngasih ujian melebihi kemampuan saya. Saya nggak akan muluk-muluk pengen punya mental baja. Asalkan saya bisa hidup enak, mati bisa masuk surga, dan nggak usah mampir ke neraka, itu sudah cukup.

Bertakwa

Tapi, kita juga jangan berpikir bahwa menjadi sufi itu harus melalui tahapan yang panjang dan melelahkan. Banyak jalan pintas. Ada pengantin baru yang berjihad kemudian mati dimandikan malaikat, karena tidak sempat mandi junub. Ada yang bermimpi bertemu bidadari, keesokan harinya berjihad dan mati syahid. Ada yang cukup mengucap Laa ilaaha illallah, lalu mati masuk surga setelah disiksa karena menolak kembali kepada kekafirannya. Ada perempuan berzina yang bertobat dan dirajam, yang tobatnya tidak habis dibagikan kepada seluruh penduduk Madinah.

Apakah jalan mereka lebih enak? Hanya Allah yang tahu. Lagi-lagi saya ngomong, kita tidak usah terlalu peduli ngurusi jalan orang lain. Cukuplah kita tahu bahwa jalan ke surga itu berbeda-beda. Ada yang cepat, ada yang lambat. Ada yang penuh ujian kenikmatan, ada yang bertabur ujian kesulitan. Yang jelas, saya suka cara pandang tasawuf seperti ini. Soalnya, egaliter. Kalaupun ada wali-wali yang tingkatannya jauh lebih tinggi, peduli amat. Yang penting kan bertakwa.

Mulai Belajar dari Mana?

Hahaha, sudah nulis sepanjang ini, baru mulai membahas mulai belajar tasawuf dari mana. Padahal, sudah jelas kan arahnya ke mana? Saya kasih satu perumpamaan. Misalkan kita dari Yogyakarta mau pergi ke kota Salatiga. Salatiga adalah tujuan agama. Syari’ah itu petanya. Sementara itu, tasawuf adalah jalannya dan diri kita adalah kendaraannya. Yang penting kan sampai, tapi kan bisa lewat Jatinom, Magelang, atau Solo. Kalo kendaraannya mobil, bisa lewat Solo, lalu masuk tol langsung tancap gas ke Salatiga. Tapi jauh dan harus mbayar. Kalau punyanya motor, bisa lewat Jatinom, Boyolali, lalu Salatiga. Gratis, cuma modal bensin. Kalau ternyata kita berangkatnya dari UGM, maka lewat Magelang lebih enak.

Saya belum belajar apa-apa soal thariqah-thariqah tasawuf. Tapi, saya menghindari tasawuf-tasawuf yang jualan karomah dan ilmu laduni, sekalipun itu katanya tasawuf yang mu’tabar dan tidak ada ajarannya yang menyimpang dari syari’ah. Saya gak suka tasawuf yang rada remang-remang. Saya beberapa kali denger soal Ihya 'Ulumuddin dan dan Al-Hikam. Saya baca sedikit Al-Hikam, ternyata ada banyak yang susah saya pahami. Mungkin, karena konteks keilmuan saya tidak mencukupi.

Tapi ya, tapi, jadi wali kan nggak ada bedanya sama takwa. Jadi sufi itu kan artinya berusaha mengamalkan ihsan. Lalu, potongan saya ini emang nggak cocok sama istilah-istilah tasawuf. Saya nggak mau jadi sufi ah. Saya ini orang biasa. Fikih sholat saja masih sering salah, kena masalah sedikit marah-marah, mending saya tinggalkan persufian sekalian. Walaupun, tentu saja saya nggak akan berhenti berusaha menggapai takwa. Sampai ketemu di surga, kawan!